Better No Deal for a Better World !
oleh: Bonnie Setiawan
Pada tanggal 3 Desember 2013 Konperensi WTO (World Trade Organization) ke-9 dibuka di Bali oleh presiden Indonesia. Ini menandai kembalinya WTO dalam mesin ekonomi global. WTO sebenarnya sudah lama terhenti, terutama semenjak paket Juli 2008, karena perundingan-perundingan didalamnya buntu dan tidak dapat menghasilkan suatu kemajuan yang berarti. Putaran Doha, yang adalah agenda perundingan utama WTO yang dimulai semenjak konperensi WTO ke-4 tahun 2001 di Doha, sampai kini tidak juga membuahkan hasil, padahal mengagendakan sebanyak 22 kesepakatan di atas meja. Artinya Putaran Doha sudah macet sampai 12 tahun lamanya tanpa ada kemungkinan untuk berhasil menyelesaikan agenda-agendanya. Padahal rencananya putaran Doha akan diselesaikan dalam waktu 6 tahun. Sebagai gambaran, Putaran Uruguay sebelumnya, diadakan tahun 1986, diagendakan selesai tahun 1990, tetapi baru selesai tahun 1994 (8 tahun lamanya). Sementara Putaran Doha sampai 12 tahun tetap tidak kunjung selesai.
Kini pemerintah Indonesia mencoba menjadi penyelamat dengan menjadi tuan rumah Konperensi yang prestisius ini, di tengah-tengah kebuntuan dan kegalauan perundingan yang macet. Masalahnya apakah Indonesia sadar akan rumitnya tingkat perundingan WTO saat ini, dimana tidak ada lagi pilihan yang baik bagi Negara-negara berkembang/miskin. Apakah menyelamatkan proses Putaran Doha akan menyelamatkan Negara berkembang/miskin dari situasi keterbelakangannya?
Masalah utama di WTO saat ini bisa diibaratkan sebagai pilihan “masuk mulut buaya atau masuk mulut harimau”. Saat ini alotnya proses perundingan WTO mengerucut menjadi tiga isu utama, yaitu: pertanian (ketahanan pangan), fasilitasi perdagangan, dan fleksibilitas bagi Negara-negara paling miskin (Least Developed Countries/LDCs). Isu dalam pertanian mengerucut pada isu cadangan pangan (public food stockholding) dalam sebuah jangka waktu tertentu (peace-clause, dalam hal ini 4 tahun). Masalahnya cadangan pangan dianggap WTO sebagai mendistorsi perdagangan, meskipun di lain pihak subsidi pangan di Negara-negara maju tetap dibolehkan. Isu fasilitasi perdagangan (trade facilitation) adalah isu milik Negara-negara maju, yang mendesak dibangunnya fasilitas-fasilitas yang memperlancar perdagangan di Negara-negara berkembang/miskin bagi lancarnya perdagangan rantai pasokan global. Masalahnya pembiayaan fasilitas-fasilitas perdagangan dianggap memboroskan anggaran pembangunan yang seharusnya bisa dipakai untuk membiayai hal-hal yang lebih mendesak bagi Negara berkembang/miskin, seperti untuk fasilitas pendidikan, kesehatan dan infrastruktur publik lainnya. Sementara isu Negara-negara paling miskin adalah fleksibilitas bagi Negara-negara tersebut untuk tidak dikenai kewajiban-kewajiban WTO yang memberatkan mereka, seperti penghapusan bea-masuk, pasar ekspor bagi mereka dan lain-lainnya.
Jadi nampaknya apa yang terjadi di WTO memperlihatkan sebuah dunia yang sangat timpang, dimana Negara-negara maju mau menang sendiri dengan isu perdagangan Rantai Pasokan/Nilai (Supply Chain dan Value Chain) yang merupakan tahapan tertinggi dari industri dan perdagangan di Negara-negara industri maju, sementara mereka tidak mau tahu dengan masalah-masalah dasar di Negara-negara berkembang/miskin. Sementara di lain pihak Negara-negara berkembang/miskin masih bergelut dengan persoalan yang sangat dasar, yaitu bagaimana mencukupi kebutuhan pangannya bagi rakyatnya yang masih serba miskin. Terlihat sekali bahwa dunia memang benar-benar sangat timpang. Yang satu mengejar kemajuan dan kekayaan tanpa henti, sementara yang lain masih berkutat pada masalah-masalah kelaparan dan kemiskinan. Hal ini ditambah lagi oleh kenyataan bahwa Negara-negara paling miskin mempunyai posisi yang rentan dalam sistem perdagangan dunia, yang sangat tergantung pada kebaikan pasar di Negara-negara maju.
Masalahnya kemudian, menyelesaikan persoalan-persoalan di atas dalam sistem WTO mengandung pilihan-pilihan yang rumit, dimana sebenarnya tidak ada pilihan yang baik bagi Negara berkembang/miskin. Negara berkembang/miskin dipaksa masuk dalam pilihan dimana adanya kesepakatan (deal) dalam konperensi WTO mengenai masalah ketahanan pangan, sebenarnya tidaklah menyelesaikan masalah mereka. Ketahanan pangan justru menjebak Negara berkembang/miskin pada mekanisme pasar dalam pertanian dan pangan, dimana cadangan pangan justru dicari atau dipenuhi dari import pangan, bukan dari pembelian ke petaninya sendiri. Ini seperti yang terjadi dengan Indonesia sekarang, dimana kekurangan atau kelangkaan pangan justru diatasi dengan mengimport lebih banyak. Selain itu, bila dalam konperensi WTO Negara berkembang/miskin menang dalam ketahanan pangan dan isu LDCs, maka dengan sendirinya harus ditukar dengan disetujuinya fasilitasi perdagangan yang diminta oleh Negara-negara maju. Artinya, bukannya kemenangan yang didapat, justru masuk ke masalah-masalah baru yang lebih besar. Jadi keluar dari mulut buaya, untuk diterkam oleh harimau-harimau.
Karenanya bagi kami, masalah-masalah WTO ini haruslah diatasi dengan cara yang lebih mendasar, yaitu tidak adanya kesepakatan di dalam WTO Bali, dan Negara-negara berkembang/miskin harus mulai menata perekonomiannya masing-masing agar menjadi mandiri (berdikari), sehingga perdagangan internasional bukanlah jalan keluar, tetapi kemandirian nasional-lah yang merupakan jalan keluar. Perdagangan internasional dalam tatanan multilateralisme harus dibangun berdasarkan kerjasama pembangunan internasional yang adil dan berkelanjutan, dan bukan berdasarkan mekanisme pasar dan liberalisasi perdagangan. Untuk itulah WTO sebagai tatanan multilateral harus dirombak agar melayani kepentingan pembangunan dan kemandirian nasional, dan bukannya melayani kepentingan korporasi dan bisnis global.
Karenanya konperensi WTO Bali kali ini haruslah tidak menghasilkan kesepakatan (deal). Kalau dulu Joseph Stiglitz menyatakan “No deal is better than a bad deal !”, maka sekarang perlu dinyatakan “Better no deal for a better world !”. Kematian WTO sebagai badan multilateral juga disukai oleh kalangan korporasi dan kapitalis global, karena mereka sekarang lebih senang memakai mekanisme regional dan bilateral dalam memajukan perdagangan rantai pasokan. Lebih mudah menekan Negara-negara berkembang/miskin lewat mekanisme FTA (Free Trade Agreement) dalam kawasan (regional) atau bilateral, atau bahkan unilateral yang dilakukan masing-masing Negara lewat penyesuaian struktural mengikuti tekanan hutang atau lewat Bank Dunia dan IMF.
Negara berkembang/miskin menghadapi dilema, bila konperensi WTO gagal kali ini, maka berarti juga tamatnya multilateralisme, yang dianggap lebih baik ketimbang regionalisme dan FTA. Sementara Negara-negara maju sekarang semakin agresif dengan FTA dan regionalisme semacam TPP (Trans-Pacific Partnership) yang didorong oleh Amerika Serikat. Hemat kami, WTO sebagai badan multilateral sebaiknya tidak lagi menghasilkan kesepakatan-kesepakatan baru (Stop WTO !), dan justru harus dirombak agar melayani kepentingan pembangunan di Negara-negara berkembang/miskin. Dampak WTO selama ini telah sangat merugikan Negara-negara berkembang/miskin, dan karenanya sudah saatnya menggantinya dengan sebuah multilateralisme yang berkeadilan dan menjamin keberlanjutan ekologis bumi. Dengan multilateralisme baru, maka Negara-negara maju dapat dipaksa melayani program-program pembangunan yang berkeadilan dan perdagangan yang adil. Multilateralisme baru yang adil dan berkelanjutan juga akan dapat melemahkan FTA dan regionalisme baru.
Lebih baik tidak ada kesepakatan demi dunia yang lebih baik. “Better no deal for a better world !”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H