Barangkali nama Rashid Al-Ghannoushi masih asing ditelingah kita, masih kering informasi tentang bagaimana cara berpikir beliau tentang Islam, Negara, dan Sekularisme.
Keasingan itu nampak saat kita coba telusuri artikel-artikel tentang dirinya, khususnya berbahasa Indonesia yang ada asing dan usang, terselip satu dari Republika di tahun 2011 berbanding dengan pemberitaan erdogan yang ramai dibicarakan bahkan dibahas dalam seminar-seminar. Tidak salah, tapi kita tidak mengerti bahwa narasi Sekularisme turki tak utuh hasil dari pemikiran erdogan, justru berasal dari narasi Rashid Al-Ghannoushi.
Mari kita membahasnya, apa yang kita pikirkan saat pertama mendengar kata Sekularisme? Saya yakin yang terlintas dalam pikiran kita adalah satu ajaran yang berusaha memisahkan agama dan negara, dan pikiran itu berkembang menjadikan Perancis sebagai tolak ukur umumnya ataupun barat secara khusus.
Namun pernakah anda mendengar bahwa Sekularisme yang berlaku sampai saat ini di Inggris setitik pun tidak pernah memisahkan antara agama dan negara, tidak ada satupun perdana menteri di Inggris menduduki jabatannya tanpa bantuan dari kalangan pastor.
Sebagai bukti tambahan bahwa proses politik di negara sekuler seperti Inggris erat kaitannya dengan kekristenan (gereja) dikemukakan oleh Crossman didalam bukunya The Goverment and the Governed mengatakan bahwa Demokrasi Inggris sangat erat kaitannya dengan perjuangan demi kebebasan beragama. Karena itu, motif keagamaan dalam bentuk kristiananinya yang paling awal dimanfaatkan untuk kepentingan mencapai demokrasi. Agama sebagai sarana mencapai demokrasi. Tak dapat diragukan lagi contoh Inggris paling otentik dalam menggabungkan hal-hal yang saling bertentangan apakah Sekularisme secara otomatis akan memisahkan agama dengan negara faktanya tidak (Inggris).
Adakah kita siap bersedia untuk ini?
"Penutupan pintu Ijtihad adalah suatu rekaan yang sebahagiannya ditimbulkan daripada kebekuan pemikiran dalam Islam", Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Dalam perspektif itu Mengisyaratkan bahwa sebab utama yang mengakibatkan kelesuan dan kebekuan umata dalam berpikir dan bertindak adalah mengetepikan sebagian kewajiban kita bersyariat untuk menjaga akal yang artinya adalah promosi bahwa Islam juga membuka pintu untuk berpikir.
Bahwa Islam sebagai ajaran yang terkait konteks zaman dan tempat, perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan Ijtihad. Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam Merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain.Â
Dengan kemampuan beradaptasi kritis inilah sesungguhnya Islam benar-benar Shalih Li Kulli Zaman wa Makan (Relevan dengan semua zaman dan tempat manapun) termasuk membuka dialog tentang Demokrasi dan Sekularisme menurut saya.
Dalam bab ini perlunya memahami Sekularisme dengan tepat amat sangat diperlukan, bahwa Sekularisme disisi lain ada kekurangan iya tetapi juga dapat menjadi obat untuk membuat umat tunduk pada perbedaan dalam dunia. Pandangan bahwa Sekularisme memastikan nilai-nilai Ateis kental dipatahkan dengan fakta sejarah proses keberlangsungan di Inggris.
Rashid Al-Ghannoushi memandang bahwa Sekularisme bukanlah falsafah ateis tetapi hanya satu kumpulan prosedur yang dirangka bagi mempertahankan kebebasan agama dan pikiran. Adakah Sekularisme menggurkan kita sebagai seorang Muslim, silahkan nilai sendiri. Adakah pandangan Rashid Al-Ghannoushi tentang Sekularisme mengugurkan keislaman beliau?Â