Masih ingat Pulau Rupat yang terancam tenggelam akibat aktifitas pertambangan pasir? Mari kita mengingat kembali. Pulau Rupat yang terletak di Kepulauan Riau merupakan tempat penambangan pasir laut PT. Logo Mas Utama (LMU) sejak November 2021. Area penambangan seluas 5.030 Ha termasuk dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Aktifitas ini menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan. Dikutip dari laman mediacenter.riau.go.id, tingkat abrasi di Pulau Rupat sudah tergolong berat dan mencapai >10 meter/tahun. Tidak hanya itu, terjadi kerusakan parah pada terumbu karang, ekosistem mangrove, padang lamun, dan biota laut (kkp.go.id, 2023).
Ekspor Pasir Laut
Baru-baru ini pemerintah membuka kembali izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 dan 21 Tahun 2024. Peraturan ini merupakan anak dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Setelah 20 tahun larangan ekspor pasir laut diberlakukan, kini pintu tersebut kembali dibuka. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, kegiatan ini tidak merusak lingkungan karena telah ada GPS (Global Positioning System). Presiden Joko Widodo pun ikut menegaskan bahwa yang diekspor bukanlah pasir laut, melainkan sedimen yang mengganggu jalur layar kapal (kompas.com, 2024).
Lalu, apakah pasir laut dan sedimen laut berbeda? Sedimen adalah material yang terbawa dari daratan ke badan air sebagai akibat dari peristiwa erosi dan pelapukan, yang dapat membawa partikel seperti fosfat dan mengendap di dasar perairan (Maknun, 2017). Terdapat berbagai hasil sedimen laut yang dapat dimanfaatkan, seperti pasir laut dan lumpur. Pasir laut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan reklamasi dalam negeri hingga pembangunan infrastruktur (jdih.maritim.go.id, 2023). Jadi dapat disimpulkan bahwa pasir laut merupakan salah satu hasil sedimentasi di lautan. Guna memperkaya wawasan, mari kita bahas bagaimana dampak penambangan pasir laut terhadap kesehatan lingkungan.
Ekosistem Laut
Menurut laporan Forest Digest, sebuah majalah yang dikelola oleh Alumni Fakultas Kehutanan IPB, banyak penambang memanfaatkan ‘vacuum cleaner’ raksasa untuk menyedot pasir laut dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya, dasar laut menjadi gersang, dan ekosistem laut kehilangan kemampuan untuk beregenerasi. Menurut laporan UN Environment Programme (2023) penambangan pasir merusak ekosistem pesisir dan dasar laut, mengganggu keanekaragaman hayati, meningkatkan kekeruhan air, serta menyebabkan polusi suara yang berdampak pada mamalia laut. Penelitian Kim & Yoo (2020) menemukan bahwa penambangan pasir laut menyebabkan penurunan populasi benthos seperti pohon bakau, rumput rawa, lamun, alga makrofitik, dan protozoa. Berbagai hal diatas menjadikan aktifitas penambangan pasir laut sebagai ancaman bagi masa depan perikanan Indonesia.
Ketersediaan Air Bersih
Penelitian Bawu, Maryati, & Yusuf (2023) menjelaskan aktivitas penambangan pasir menyebabkan peningkatan kadar sedimen di perairan. Hal ini membuat air menjadi semakin keruh dan cahaya matahari yang masuk juga berkurang. Kegiatan pengerukan menyebabkan pasir dan tanah liat tersuspensi ke dalam perairan, yang membahayakan keberlangsungan hidup organisme akuatik. Selain itu, penelitian Lekomo, et.al (2021) menunjukkan penambangan pasir mengakibatkan penurunan kualitas air dengan dampak signifikan terhadap parameter fisik dan kimia air. Misalnya, besi (Fe) yang dilepaskan akibat penambangan akan teroksidasi di udara dan menjadi tidak larut, menyebabkan perubahan warna air. Air dengan kandungan besi tinggi tidak layak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, karena dapat menodai cucian dan mengubah warna sayuran saat dimasak.
Sosial Ekonomi
Selain berdampak terhadap ekosistem laut dan air bersih, penambangan pasir laut juga mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir. Studi yang dilakukan oleh Daris, et.al (2023) menyebutkan dampak aktifitas ini adalah hasil tangkapan nelayan pancing dan jaring gill berkurang hingga 80%. Hilir mudik kapal juga mengubah area penangkapan ikan dan menyebabkan peningkatan biaya operasional. Laporan Forest Digest (2023) juga menyebut sebelum ada penambangan nelayan di Pulau Rupat dapat menjaring 10-20 kilogram ikan per hari. Namun, setelah aktivitas penambangan berlangsung, hasil tangkapan mereka menurun drastis menjadi hanya 1-2 kilogram per hari. Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat yang hidup di sekitar wilayah penambangan. Selain itu, timbul konflik di antara masyarakat yang mendukung dan menentang adanya aktifitas penambangan.