Mohon tunggu...
Bonita Oktavianti
Bonita Oktavianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Capaian dan Warisan Politik Luar Negeri Era Presiden Soeharto (Orde Baru)

29 April 2021   13:15 Diperbarui: 29 April 2021   14:24 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa pemerintahan Presiden Soeharto yang sering kita sebut dengan era orde baru mulai berlangsung sejak Maret 1968 hingga Mei 1998. Presiden Soeharto telah menegaskan dua tujuan pentingnya pada awal masa pemerintahannya berupa stabilitas politik dan keamanan, serta pembangunan kembali perekonomian Indonesia. Karena untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang baik dan lancar diperlukan kondisi keamanan yang stabil. Faktor keamanan tersebut juga diutamakan untuk dapat mengembalikan posisi atau menempatkan Indonesia untuk dapat kembali berperan dalam forum internasional. Meski demikian, kebijakan luar negeri Indonesia tetap menggunakan prinsip bebas-aktif, dan hanya diperbarui cara pelaksanaan atau pengeksekusian kebijakan - kebijakannya saja.

Pencapaian awal dalam politik luar negeri Indonesia era orde baru adalah pengupayaan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Penyelesaian konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia sudah mulai diupayakan sejak 1964 saat Presiden Soekarno masih menjabat, namun masih dilakukan secara diam - diam begitu pula dengan tempat dan hasilnya yang dirahasiakan (secret diplomacy). Baru kemudian setelah berlangsungnya Perisitwa Supersemar yang memberikan Soeharto kewenangan eksekutif, proses normalisasi mulai dilakukan secara terbuka dengan hasil yang segera diumumkan (open diplomacy). Peristiwa Supersemar yang berupa pemindahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno kepada Soeharto juga merupakan titik balik dari konfrontasi Indonesia-Malaysia, karena PKI sebagai pendukung utama konfrontasi telah dibubarkan. Upaya normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia dilakukan oleh Soeharto dalam rangka untuk mencari atau mendapatkan kembali kepercayaan dari dunia internasional sehubungan dengan tujuan utama masa pemerintahan Presiden Soeharto yang memprioritaskan pembangunan ekonomi melalui upaya peneritiban kondisi politik-kemanan dalam negeri dan luar negeri. Upaya penghentian konfrontasi tersebut juga merupakan upaya Indonesia untuk memenuhi syarat yang diberikan Jepang apabila Indonesia ingin menerima bantuan ekonomi. Persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani pada 11 Agustus 1966 menjadi akhir dari konfrontasi Indonesia-Malaysia yang telah berlangsung selama kurang lebih tiga tahun sejak diumumkan secara formal sejak 16 September 1963 oleh Presiden Soekarno.

Sehubungan dengan peristiwa pemindahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto melalui Peristiwa Supersemar, hubungan antara Indonesia dan Tiongkok juga mendapatkan pengaruh  dari pemindahan kekuasaan tersebut dengan adanya perbedaan ideologi yang dipegang kedua tokoh pemimpin tersebut sebagaimana yang kita tahu bahwa Soekarno lebih cenderung ke ‘kiri’. Pada awal hubungan antara Indonesia-Tiongkok saat Presiden Soekarno masih menjabat, sudah terdapat perbedaan yang mendasar yaitu pandangan Soekarno bahwa dunia mempunyai dua poros, sementara Tiongkok memandang bahwa dunia mempunya tiga kelompok negara. Dan perbedaan tersebut semakin terasa jelas saat Indonesia menekankan untuk memasukkan NEFO sebagai bagian inti dari mukadimah komunike sementara Tiongok lebih mengutamakan tentang prosedur. Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto meyakini bahwa Tiongkok merupakan pihak yang berada di balik peristiwa G30SPKI melalui Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dianggap mendukung PKI dalam pemberontakan tersebut. Asumsi tersebut kemudian didukung dengan tindakan Kedutaan Besar Tiongkok yang tidak melakukan pengibaran bendera setengah tiang sebagai simbol penghormatan atas berpulangnya korban - korban G30S yang dinobatkan sebagai Pahlawan Revolusi. Sejak saat itu, demonstrasi - demonstrasi berisi penuntutan pemutusan hubungan diplomatik antara Tiongokok dan Indonesia mulai berlangsung. Pada tanggal 26 Maret 1966, konsulat Tiongkok di Medan, Banjarmasin, dan Makassar ditutup. Pada bulan Mei, Tiongkok menarik Duta Besar Yao Chungmin dan melakukan pengiriman kapal Kuang Hua ke Indonesia untuk mengangkut WNI (diaspora) kembali ke Tiongkok karena meski Indonesia mempersilahkan siapa saja untuk pergi sesuai prosedur namun Indonesia menolak untuk menyediakan kapal. Pada Januari 1967, barisan Pengawal Merah dan Tiongkok Perantauan dari Indonesia melakukan unjuk rasa di depan KBRI sambil melempari batu dan panah - panah api ke arah Gedung Atase Militer yang letaknya berhadapan dengan Wisma KBRI. Pada 31 Oktober 1967 ketika para staf KBRI dari Tiongkok tiba di Bandara Kemayoran, Hubungan Indonesia-Tiongkok resmi diputus. Kepentingan Indonesia di Beijing ditangani oleh Kedutaan Besar Kamboja, sementara kepentingan Tiongok di Jakarta diselesaikan Kedutaan Besar Rumania. Peristiwa pemutusan hubungan diplomatik tersebut membuat Tiongkok menerapkan strategi aliansi ganda terhadap Indonesia yaitu dengan menjalin hubungan antarpemerintah dan antarpartai komunis.

Selain dua peristiwa di atas, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto juga memutuskan untuk mengupayakan agar Indonesia kembali menjadi anggota PBB dalam rangka memperoleh kepercayaan internasional serta untuk dapat memenuhi syarat yang diberikan Jepang apabila ingin mendapatkan bantuan ekonomi. Sebelumnya, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Indonesia secara resmi keluar dari PBB melalui surat dari Menlu Soebandrio kepada Sekjen PBB U Thant pada 20 Januari 1965 setelah diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap DK PBB pada 7 Januari 1965. Namun Indonesia tidak benar - benar meninggalkan PBB, karena keputusan Presiden Soekarno belum disampaikan kepada Perwakilan Tetap RI dan untuk PBB di New York. Sehingga tanpa sepengetahuan Soekarno, Menlu Soebandrio membiarkan beberapa orang staf tetap tinggal di New York untuk memelihara hubungan dengan Sekretariat PBB dan memudahkan Indonesia saat nanti masuk kembali ke PBB. Dan di bawah kebijakan luar negeri Soeharto, Indonesia kembali masuk sebagai anggota PBB pada 28 September 1966.

Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia serta masuknya kembali Indonesia sebagai anggota PBB telah memberikan citra positif terhadap Indonesia dari negara - negara dunia terutama yang turut berpartisipasi dalam ‘Tokyo Meeting’ dan ‘Paris Meeting’. Pertemuan-pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yang cukup berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Selain itu, kedua pertemuan tersebut juga merupakan perwujudan dari upaya Indonesia untuk memperbaiki hubungan dengan Barat dan Jepang yang menjadi pusat - pusat pertumbuhan ekonomi dunia untuk dapat membantu Indonesia keluar dari krisis. Karena pada pemerintahan sebelumnya Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno lebih condong ke negara - negara komunis yang berporos di Tiongkok bukan Uni Soviet. Hubungan Indonesia-Uni Soviet renggang karena Partai Komunis Uni Soviet dianggap mendalangi peristiwa Madiun 1949 dan tidak memberikan bantuan saat konfrontasi dengan Malaysia karena pada saat yang bersamaan Uni Soviet dan Amerika Serikat tengah mengepung Tiongkok yang merupakan pendukung utama konfrontasi Indonesia- Malaysia.

Tokyo Meeting dan Paris Meeting tersebut juga merupakan upaya perwujudan dari misi pemerintahan era Soeharto untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang stabil dengan melakukan penjadwalan kembali utang luar negeri Indonesia. Indonesia juga mendapatkan bantuan pembangunan dengan terbentuknya IGGI (Intergovermental Group on Indonesia) pada Februari 1967 saat Belanda memanggil 14 negara pendonor dan lima organisasi internasional untuk membahas masalah Indonesia di Amsterdam. Selain itu, Indonesia juga membuka upaya Penanaman Modal Asing dengan memanfaatkan sumber daya alam Indonesia yang melimpah.

Sumber: Haryanto, Agus. (2016). Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun