Diajak nongkrong oleh salah seorang Kompasianer favorit saya adalah pengalaman yang memberi kesan tersendiri. Makan-makan, ngobrol dari satu topik ke topik lainnya, mulai dari topik kesukaannya, filsafat dan teologi, hingga masalah bisnis, membuatnya seperti tentara yang tidak pernah kehabisan peluru.
Pengetahuan yang luas, analisis yang tajam dan mendalam, membuat saya rasanya tidak bergeming memperhatikannya berbicara. Di hadapannya, saya hanya bisa manggut-manggut.
Tiga jam berlalu dan topik mulai berpindah ke masalah-masalah keseharian. Dia mulai bertutur tentang pengalamannya. Saya memang pernah mendengarnya satu dua kali menyinggung soal itu. Tapi baru kali ini saya mendengarkan kisah lengkap dan detailnya. Kehidupan masa kecil hingga kuliah yang serba terbatas, membuatnya tumbuh menjadi sosok yang kuat. Almarhum ayahnya yang juga pekerja keras itu membekalinya dengan semangat juang dan pantang menyerah. Ia memang anak bungsu, yang pada umumnya identik dengan perangai manja, tapi tidak begitu Kompasianer yang satu ini. Ia jauh dari sikap bermalas-malas dan mengasihani diri.
Bukan hanya itu. Ia juga adalah orang yang pandai meraba rasa lawan bicaranya. Dari kalimat-kalimat peralihan serta pertanyaan-pertanyaannya, tampaknya dia tidak ingin sendirian memonopoli obrolan. Sayangnya, saya merasa tidak memiliki pengalaman menarik untuk dibagikan kepadanya. Saya mengetahui bahwa ia ingin mempersilakan saya bercerita. Tetapi saya dengan penuh kesungguhan memintanya untuk terus berbagi pengalaman. Dari segi usia, saya lebih tua lima tahun darinya. Tetapi, pengalaman dan pengetahuannya membuat saya merasa lebih cocok menjadi salah seorang mahasiswanya.
Akhirnya, kurang lebih empat jam kami berbincang, mungkin lebih tepat empat jam saya mendengarkan dia berbicara, kami pun berpisah. Saya tidak langsung pulang. Saya mengeluarkan laptop dari tas saya kemudian mulai mengetik tulisan ini.
Pada kenyataannya, apa yang saya tuliskan di atas bukanlah kesan sekilas pada pertemuan pertama. Saya sudah mengenal dia dan keluarganya cukup lama. Bisa dibilang, kami bersahabat - saya berharap dia menganggap saya begitu. Dan kehidupan mereka sehari-hari yang tidak jarang saya saksikan sendiri membuat saya harus menerima bahwa yang ia utarakan dan yang ia lakoni tidak bertentangan. Kesederhanaan, disiplin keluarga yang ketat, kehidupan rohani yang teratur, adalah hal-hal yang saya dan keluarga saya lihat dari kehidupan mereka.
Hanya saja, maaf, ia terlalu mudah ditipu. Mungkin karena ia terlalu cepat menaruh percaya pada orang lain dan tidak memusingkan segala pertimbangan lain berkaitan dengan "sisi gelap" orang tersebut. Sebagai orang yang pernah beberapa kali mengurus suatu urusan bersama-sama, saya melihat langsung akan hal itu. Tapi ia bukan pendendam. Ia memang tidak suka menutupi ketidaksukaannya seakan-akan tidak ada apa-apa. Yang ia sukai dan yang tidak ia sukai, akan sangat mudah terbaca. Dan jangan pernah berpikir bahwa ia akan menunda untuk membicarakannya. Namun segera sesudah ia mengutarakannya, ia sudah menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak layak lagi untuk dipersoalkan. Saya pernah bertanya, mengapa bisa begitu? Dengan ringan ia menjawab: "Ngapain berat-beratin memori dan bikin sesak hati dengan yang begituan? Biarkan saja berlalu."
Setelah selesai mengetik paragraf di atas, saya menelponnya. "Gw lagi nulis tentang obrolan kita tadi, It's okay?" Dia menimpali, "Silakan. Tapi, no name!" Saya pun menutup telpon itu sambil berpikir: "Apalah arti sebuah nama?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H