Mohon tunggu...
Rachmat Bontara
Rachmat Bontara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Student of Political Science '09 at University of Indonesia.\r\n\r\nWe can learn much about life, therefore, not by taking it apart and analysing it, but by living it and experiencing it in time-honoured ways.\r\nhttp://bonibon2.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Presidensial Multipartai di Indonesia

14 Juni 2012   02:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:01 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat fenomena tiga orang Presiden Indonesia – Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid – yang diberhentikan oleh DPR dalam sidang Istimewa, dapat memperlihatkan kepada kita penerapan UUD 1945 sebelum amandemen dapat terjadi penyimpangan. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki beberapa bagian yang bertentangan dengan sistem Presidensialisme yang dianut Indonesia, yaitu seorang Presiden dapat dimakzulkan oleh DPR melalui sidang MPR karena alasan politis.

Sekarang Amandemen UUD 1945 dapat dikatakan berhasil untuk mempurifikasi sistem Presidensial yang menjadi sistem pemerintahan ini sejak diberlakukannya UUD 1945. MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan lembaga tersebut juga terjadi perubahan konposisi dan konfigurasinya. Saat ini Presiden bukan lagi menjadi mandataris dari MPR karena Presiden saat ini dipilih langsung oleh rakyat. Presiden tidak lagi melaksanakan GBHN yang ditetapkan oleh MPR, namun menjalankan program-programnya ketika ia berkampanye. Namun dalam kenyataan praktisnya lembaga eksekutif (Presiden) mengalami berbagai kendala. Efektivitas kekuasaan seorang Presiden mengalami sebuah dilema politik, disatu sisi presiden diberikan kekuasaan yang cukup besar sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam pemerintahan (baik sebagai Kepala Negara ataupun Kepala Pemerintahan), tetapi pada saat yang sama kekuasaan itu juga dikekang kuat oleh kontrol di parlemen melalui mekanisme check and balances, bahkan selalu dibayangi ancaman impeachment.

Fenomena demokrasi Indonesia pasca reformasi telah melahirkan banyak partai politik, sebagai wadah sarana mereka untuk menyampaikan aspirasi, juga menambah kompleksitas hubungan yang terjadi antara lembaga legislatif dan eksekutif. Hal ini sejalan dengan pernyataan seorang ilmuwan politik, Scott Mainwaring, yang mengatakan bahwa kombinasi dari sistem Presidensial dan multipartai membuat kestabilan demokrasi menjadi sulit untuk bertahan. Ia juga menjelaskan bahwa dari 31 negara demkrasi yang stabil paling tidak selama 25 tahun, hanya 4 negara yang menggunakan sistem presidensial. Mainwaring juga menjelaskan data-data bahwa hanya 1 dari 15 negara yang memiliki sistem demokrasi presidensial multipartai yang dapat bertahan paling tidak selama 25 tahun. Hal ini akan sangat timpang jika dibandingkan bahwa ada 5 dari 10 negara yang memiliki sistem demokrasi presidensial dua partai dan 11 dari 21 negara yang memiliki sistem demokrasi parlementer yang dapat bertahan selama 25 tahun. Mainwaring menyandarkan pada tiga kriteria bahwa sebuah negara dapat dikatakan memiliki kestabilan demokrasi. Pertama, demokrasi haruslah terbuka, pemilihan kompetitif untuk menentukan siapa yang akan berkuasa. Kedua, harus ada pemilihan umum yang dapat diikuti oleh orang dewasa. Ketiga adalah harus ada jaminan tentang kebebasan sipil seperti kebebasan berpendapat, kebebasan media, kebebasan berorganisasi, kesamaan dalam hukum, dan lain-lain.

Pendapat ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hanta Yuda bahwa sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai diragukan dapat mendorong terjadinya demokratisasi, dan diyakini akan cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen, yang akan melahirkan ketidakstabilan demokrasi. Dengan adanya sistem multipartai maka kekuasaan di parlemen akan semakin terfragmentasi. Hal ini akan lebih buruk jika presiden yang terpilih, menjadi partai minoritas di parlemen. Sistem check and balances terhadap eksekutif dan legislatif menjadi tidak optimal, karena partai pendukung presiden terpilih menjadi minoritas di parlemen yang akan berdampak pada program kerja dan kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah akan berhenti ketika dibahas di parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut adalah presiden harus membentuk sebuah koalisi dengan partai-partai di parlemen untuk memudahkan proses legislasi dan anggaran di legislatif. Presiden harus bersikap akomodatif terhadap partai-partai politik dengan mengajak mereka ke ranah eksekutif, salah satunya adalah memasukkan aktor-aktor partai politik untuk duduk menjadi menteri di kabinet.

Pengangkatan menteri yang seharusnya menjadi hak prerogatif presiden untuk menempatkan orang-orang yang ahli dalam bidangnya kini diisi oleh wakil-wakil dari partai politik. Ini semua adalah harga yang harus dibayar oleh presiden untuk mengamankan posisinya di pemerintahan. Problem selanjutnya yang muncul adalah loyalitas ganda dari seorang menteri yang duduk di kabinet, menteri yang seharusnya memiliki loyalitas tunggal terhadap presiden, juga memiliki loyalitas kepada partai politik yang mengusulkan dirinya untuk duduk di jabatan menteri. Dampaknya sudah dapat ditebak, roda pemerintahan menjadi tidak berjalan secara optimal, karena posisi menteri yang seharusnya diduduki oleh seorang profesional, kini harus diberikan jatah kepada wakil dari partai politik.

Interaksi antara presiden dan wakil presiden juga menarik untuk dikaji lebih dalam. Hanta Yuda memberikan ilustrasi yang cukup baik pada Pemerintahan Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wakil Presiden yang seharusnya menjadi ban serep dari seorang Presiden dan dapat mewakili dirinya dalam kegiatan tertentu kini menjadi sebuah problem tersendiri. Wakil Presiden Jusuf Kalla ternyata didukung oleh Partai Golkar yang ternyata lebih dominan dibandingkan dengan Partai Demokrat, partai pendukung Presiden Yudhoyono. Hal ini menyebabkan posisi tawar dari seorang Wakil Presiden menjadi sesuatu yang harus diperhitungkan oleh seorang Presiden Yudhoyono, dan akan sangat mungkin untuk terjadi perpecahan antara presiden dan wakil presiden.

Partai koalisi bentukan presiden juga memiliki permasalahan tersendiri. Dapat dilihat bahwa koalisi yang terjadi di parlemen ternyata memiliki ideologis yang dengan jarak yang cukup jauh. Koalisi yang terjadi di parlemen hanya berdasarkan oleh kesamaan kepentingan saja tanpa melihat kesamaan visi dan ideologis dari partai-partai yang bergabung. Akibatnya koalisi yang dibentuk ini tidaklah solid dan rawan terjadi perpecahan dalam koalisi tersebut yang tentu akan membahayakan posisi seorang Presiden. Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan bahwa sistem demokrasi presidensial dengan multipartai tidak cukup stabil untuk diterapkan.

Diambil dari: http://bonibon2.blogspot.com/ Sumber: Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination. (SAGE Publication, 1993) Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: PT. Gramedia pustaka Utama, 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun