Mohon tunggu...
Andi Bachtiar
Andi Bachtiar Mohon Tunggu... -

TKI Restore

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kepulangan Malin Kundang

20 Juni 2011   22:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:19 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Sumpah, namaku bukan Malingkondang. Tetapi Marline Count Down, nih lihat papan namaku" kata Nahkoda dengan nada jengkel dalam logat Inggeris.
"Kelasi!! Antar ibu ini turun dari kapal" perintahnya masih berlogat Inggeris kepada kelasi yang lagi makan pisang.
"Baik Kapten" Sahut kelasi itu sambil membuang kulit pisangnya. Lalu ia menuju ke arah wanita yang bernama Lijah Berty mengaku ibu kaptennya itu. Tiba-tiba ia berbalik kedalam kapal seraya berteriak
"Sorry Kapten, tidak tahan lagi nih lagi mau beol"
"Ah stupid" Nahkoda menghardik. Melihat semua kelasi lagi sibuk karena kapal akan berlayar sebentar lagi, terpaksa sang Nahkoda mengambil inisiatip mengantar ibu itu turun dari kapal.
"Maaf bu Li kami akan berlayar sebentar lagi, mari saya antar turun." Nahkoda mencoba untuk berkata dengan lembut. Wanita itu terpaksa menurut. Ketika berjalan ia berkata
"Walaupun suaramu sudah lain tapi saya ingat benar tailalat di dagumu itu nak, mengapa kamu tak mau mengakui ibumu?" sambil menangis.
"Oh ini tatto, mana mungkin saya membiarkan lalat beol di daguku?" kata Nahkoda itu.
"Saya anak bangsawan Inggeris dan membesar di Singapura jadi tidak mungkin saya anakmu" sambungnya lagi.
"Kau telah hilang ingatan, tinggallah beberapa hari agar bisa ingat kembali siapa dirimu sebenarnya" kata wanita itu disela isak tangisnya.
"Saya tidak hilang ingatan, saya harus berangkat hari ini dan tidak bisa ditunda" jawab Nahkoda lalu menyambung lagi sambil memperlahankan suara seperti berbisik.
"Di atas kakpalku ada 45 orang koruptor yang melarikan diri, mereka akan membayarku mahal sekali. Kalau mereka tertamgkap bayaran akan dibatalkan malah uangku juga bisa habis buat menyogok petugas supaya aku tidak dilibatkan!"
Isak tangis Lijah Berty yang akrab dengan panggilan Liberty semakin pilu. Kentara sekali ia berusaha untuk menahan tangisnya, dlam keputus asaan ia ber guman
"Kau memang bukan hilang ingatan nak, tapi sama seperti para koruptor itu. kau kehilangan moral dan hati nurani sebagai manusia. Leb.." kalimatnya terhenti karena Nahkoda menengahi.
"Saya  antar sampai disini saja bu Li" sambil memutar balik, malang bagi Nahkoda kakinya menginjak kulit pisang, terpeleset hampir jatuh. Dalam mengimbangi tubuhnya agar tak jatuh, ia tak sengaja menolak Lijah Berty. Nahkoda terus berlari keatas kapal tanpa menyadari Lijah Berti telah jatuh tertsungkur. Kedengaran tawa dari geladak kapal itu, mungkin mentertawakan telatah Kaptennya. Tinggalah wanita itu mengelus lututnya yang lagi memar. Sakit yang lebih mendalam dirasakan dalam hatinya. Ia yakin benar bahwa Nahkoda itu anaknya, tapi sungguh pilu karena bukan hanya tidak mengakuinya, Nahkoda itu malah mencampakkannya seperti sampah. Dari dalam hatinya yang bagai teriris keluarlah kata kata dari bibirnya yang bergetar.
"Anak durjana .... Sungguh kalian semua tak layak menjadi manusia. Aku kutuk kalian menjadi batu" ucapan wanita itu disambut suara petir bersahut sahutan tak henti. Langitpun tiba tiba menjadi suram. Seorang kelasi yang lagi mengorek hidung jadi bengong melihat tai hidung yang keluar adalah batu cadas sebesar kelereng. Yang lagi beol juga heran beolnya batu. Keheranan mereka hanya sebentar, dalam beberapa detik mereka semua yang berada diatas kapal telah menjadi kaku..batu..!!! termasuk para koruptor. Blurrrrb... dalam sekelip mata kapal yang telah membatu itupun tenggelam ke dasar laut. Orang yang menyaksikan peristiwa itu hanya bisa melongo.
Berita tentang kejadian itu tersebar dengan cepat, lebih cepat dari langkah kaki Lijah Berti yang pulang membawa kesedihannya.
"Bu li tunggu kita pulan bareng" dipanggil oleh dua sahabat gossipnya ketika sampai di depan balai desa.
"Eh... Betulakah kau mengutuk anakmu jadi batu?" tanya Jonah yang berusaha berjalan dekat Liberty.
"Hu uh, anak durahaka,. kalian ngapain di balai desa?" jawab Liberty sambil coba mengalih topik.
"Kita lagi musyawarah untuk nama kampung ini, nama Kampung baru sudah tidak sesuai" Jessi menjawab tiba - tiba.
"Mau dikasi nama apa?" Liberty merasa berhasil mengalih pembicaraan.
"Tadi sih ada yang usul dikasi sesuai nama pengasas kampung ini, Leman Suhattan" kata Jessi.
"Rasanya nama itu tidak rock banget, " Jonah diam sejenak lalu menyambung lagi.
"Kaykanya gak mungkin anakmu itu durhaka, dulu nampak baik aja kok"
"Pengaruh duit, apaun bisa berubah" Liberty lesu karena harus kembali ke topik pilihan.
"Anak durahaka memang pantas jadi batu, tapi bagai mana kau melakukannya?" Jessi pingin tau.
"Aku  juga sebenarnya gak ngerti... ia terjadi begitu saja" saat itu meraka telah sampai di depan rumah Liberty.
Setelah itu Liberty pun masuk kepekarangan rumahnya sementara gossip mate nya meneruskan kerumah masing masing. Dalam pondok tuanya, Liberty hanya melamun hingga menjelang senja karena tak dapat melelapkan mata. Hatinya begitu tergores walaupun sebenarnya dia sangat sayang dengan anaknya itu. tapi peristiwa itu telah terjadi. Lamunannya terhenti karena mengingat jemurannya yang belum diangkat. Ia melangakh lesu menuju kesamping pondoknya mengangkat jemurannya. Dia terpegun mendengar sayup suara tetangganya yang menggendong bayinya yang sedang nangis.
"Menangislah anakku, bair nakal bagaimanapun kamu tetap anakku. Jangan buru buru membesar dan menjadi dewasa, beri ibu peluang untuk mendidikmu. Tapi ibu hanyalah orang desa yang tak berilmu, hanya punya kasih sayang. Andai kugagal dan kamu menjadi durhaka, aku tetap menyayangimu anakku. Walau karena kedurhakaanmu kamu tega menjual ibu atau menukar ganti ibumu ini dengan ikan kering, kamu tetap anakku. Ibu rela menanggung semua itu, ibu takkan mengutuk kamu menjadi batu. Ibu hanya akan mendoakan agar Tuhan menunjukkan jalan yang benar padamu"
Klaimat kalimat itu diucapkan berulang kali dan ketika  Lijahberty sadar ternyata hari sudah gelap. Bergegas dia membawa masuk kain yang sudah dikutipnya. Ternyata malam itu listrik tidak nyala. Setelah menyalakan lilin dia mengambil senter yang menyala hanya seterang kunang kunag lalu keluar mengunci pintu pekarangannya. Kebetulan lewat bu RT maka tak dapat dielakkan terjadinya pergossipan.
"Mau kemana bu RT?" Liberty mulai.
"Kerumah bu Jonah nonton sinetron, soalnya mati lampu. Dia kan punya genset." Nampaknya bu RT melayani.
"Gimana hasil rapat tadi?" tanya Liberty lagi.
"Orang sudah sepakat nama menamakan kampung ini sesuai nama pengasasnya." jawab bu RT.
"Kampung Leman Suhattan?"
"Bukan! Pak Leman Suhattan itu akrabnya dipanggil Manhattan, jadi nama kampung ini namanya kampung Manhattan." jelas bu RT.
"Kamu kok tega mengutuk anakmu jadi batu sih" bu RT mengajak ke topik pilihan.
"Bu RT gak ngerti sakitnya hati ini. Tidak diakui oleh anak sendiri, dicampak seperti sampah" Liberty sedih.
"Tapi gimana kalau Nahkoda itu benar bukan anakmu, sebelum pergi merantau si Malin anak yang baik kok." bu RT mengungkapkan keraguannya.
"Kalau memang benar dia bukan si Malin, biar mereka hidup kembali dan aku yang akan menjai batu yang lebih besar..!!!" Liberty mempertahankan keyekinannya.
"Ya udah deh, kutinggal dulu ya, sinetron udah mau main." Kata bu RT sambil mengibaskan jam tangan mahalnya. Lalu meninggalkan liberty yang juga terus kambali kedalam pondoknya.
Belum sampai di pintu Liberty mendengar suara yang sangat dikenalnya sedang memanggil. Ia jadi lupa apa yang telah terjadi siang tadi, terus bergegas ke luar pagar menyabut orang yang punya suara.
"M.. M.. Malin ?!!!" Liberty heran level tertinggi. Butuh waktu beberapa detik untuk meningat peristiwa siang tadi.
"Benarkah kamu Malin? bukankah kamu sudah kukutuk menjadi batu karena menyangkal ibu?!!!" katanya kemudiaan.
"Iya bu benar aku ini Malin anak ibu. Aku baru sampai kok, mana mungkin aku menyangkal ibu." pemuda yang membawa obor itu berkata lagi.
"Aku tak pernah melupakan ibu, nih album keluarga selalu kuletak paling atas dalam tasku." lalu pemuda itu mengeluarkan sebuah album besar dan menyerahkan kepada Liberty.
Liberty tak mampu berkata apa apa hanya menyambut album itu, lalu meraih obor ditangan pemuda itu untuk memperjelas pandangannya. Tubuh Liberty bergetar, lidahnya kelu. karena memang jelas pemuda yang berdiri didepannya itu adalah Malin Kundang, anaknya!!!
"Bu, dalam perjalanan tadi aku mendenagar kabar seorang Nahkoda dan  kapalnya berbah menjadi batu, kenapa bisa ya?" kata Malin sambil menjinjing kembali tasnya hendak masuk kepekarangan. Lija berty sudah gugup dan tak mampu lagi bergerak. Badannya terasa kaku, masih menggendong album dan menjulang obornya. Malin kebingungan melihat ibinya tiba tiba membesar sebesar bangunan bertingkat lalu menjadi batu dalam sekelip mata termakan sumpah sendiri.
Kini ibu siMalin yang menjadi batu itu dikenal sebabgai patung Liberty masih berdiri megah di kota Manhattan. Adapun Nahkoda beserta awak kapal dan para pelarian koruptor telah luntur kutukannya dari ibu si Malin. Mereka kini hidup kembali, tapi sayang ibu si Malin hanya mengatakan mereka layak hidup dan tidak mengatakan bahwa mereka juga layak jadi manusia. Ahirnya Nahkoda dan awak kapal serta pelarian koruptor hidup di Bkini Bottom sebagai SpongeBob dan kawan kawan......
......
artikel ini juga dapat dilihat di www.boneputra.com

Baca juga

Hikayat Abunawas 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun