[caption caption="source: tumblr.com"][/caption]Kira-kira 3 minggu yang lalu di mailbox ku ada kiriman semacam postcard (kartu pos) yang menginformasikan adanya rencana pembuatan mesjid di atas sebidang tanah kosong yang terletak tidak terlalu jauh dari lingkungan rumah ku.
Sudah lebih dari 2 tahun yang lalu aku sudah tahu rencana pembangunan mesjid itu. Siapa pengurus organisasi yang merencanakan pembuatan mesjid itupun aku tahu, dan pernah bersalaman dengan ketuanya di beberapa acara di beberapa mesjid.
Tanah kosong di sebuah area bisnis (komersial) di mana masjid akan dibangun itu pun sudah dibeli, dan sekarang para pengurus sedang giat-giatnya mengadakan fund raising untuk mendapat untuk segera memulai pembangunan fisik mesjid.
Tidak ada yang aneh dari postcard yang dikirim secara anonymous (tanpa nama pengirim). Isi postcard itu biasa saja, yaitu memberi informasi kepada seluruh penghuni rumah/penduduk kota kecil dimana aku tinggal, bahwa ada kelompok muslim yang akan mendirikan mesjid.
Jika ada yang punya concern atau masalah dengan akan adanya masjid itu, agar segera menyuarakan pendapatnya ke City atau kirim email ke sebuah alamat tertentu.
Awalnya aku ingin share dengan teman-teman sepengajian soal post card itu. Tapi tidak jadi karena aku pikir ini adalah hal yang lazim di US (Amerika Serikat), yaitu setiap orang berhak menyuarakan pendapatnya ke City dan mungkin sudah selesai urusannya karena pihak City secara prinsip sudah mengeluarkan ijin pendirian mesjid.
Seminggu setelah postcard beredar, masalah ini kemudian di expose oleh media lokal termasuk media terbesar di Seattle, Seattle Times. Terungkap pula sebagai inisiator pengirim postcard itu adalah seorang CEO perusahaan lokal yang baru-baru ini memperluas pabrik perusahaannya yang berlokasi di kota ini, setelah perusahaannya menang kontrak bernilai ratusan juta dollar dari sebuah perusahaan besar.
Saat di konfirmasi oleh sebuah media, di bawah ini adalah jawaban standard dari pengirim postcard itu.
A response to an emails to that address was signed “on behalf of the concerned citizens.”
The anonymous email stated:
“We are concerned citizens living in –censored- with different backgrounds and walks of life.
“[We sent the postcard] to create awareness about the new mosque to be built in our city, and to share our concerns about the possible dangers of having a Mosque in our neighborhood.
“As you know, the current challenge to the West is Islamic terrorism, and the mosques have been used to be the primary breeding place for the terrorists and a place of radicalization”
“If you look back to the news here in the Northwest, we have experienced our share of terrorism, and the last one being the terrorist act of San Bernardino. We want citizens and our elected officials to be aware of the danger of the teachings of Islam, the danger of radicalization, from our experience and from what is going on around the world.”
Oala ….. inilah sebab penentangan oleh sekelompok orang dengan adanya rencana pembangunan masjid itu. Kalau kita melihat di mana letak masjid itu, di negara mana dan di wilayah mana, maka ke khawatiran itu mungkin punya dasar kuat.
Tapi sangat amat terlalu salah besar kalau menganggap sebuah masjid di US akan menjadi pusat terorisme dan pusat radikalisasi.
Kenapa? Sebagai contoh aku, seorang muslim yang tinggal dan bekerja di US, secara sadar hijrah dengan membawa anak istri, jauh dari sanak saudara di Indonesia ke US adalah untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan mapan untuk keluarga.
Tidak ada pikiranku untuk berurusan dengan penegak hukum di US, apalagi punya pikiran untuk melakukan tindakan yang akan menyusahkan hidup anak dan istri di US dan mungkin keluragaku di Indonesia. Gila apa?
Aku tidak berani menjamin semua orang punya pikiran yang sama dengan aku. Tapi aku sangat yakin, haqul yakin …. hampir semua muslim yang aku kenal, apalagi yang berasal dari Indonesia, jauh sekali dari pikiran dan tindakan yang melanggar hukum. Kita semua mengutuk keras tindakan teror oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam di manapun itu terjadi.
Muslim di US saat ini sangat kekurangan masjid, sehingga semangat membangun masjid sangat besar. Di mana-mana saat Jumatan parkiran masjid selalu melimpah, dan bikin macet, yang membuat pihak City terpaksa harus menutup beberapa masjid karena umat Islam tidak bisa tertib. Tidak ada sangkut-pautnya dengan radikalisasi, terorisme, ataupun Islamphobia.
Kalau ada yang melakukan kegiatan radikalisasi di masjid pasti sudah diciduk FBI, karena aku yakin dan percaya semua masjid di US sudah masuk dalam radar pengawasan FBI.
Memang benar ada beberapa muslim yang melakukan tindakan teror di US atas nama ‘Islam’, tetapi faktanya para pelaku itu menjadi radikal tidak karena dibina di masjid-masjid US, tapi lewat kontak-kontak di internet yang ditambah dengan kunjungan ke beberapa negara di Timteng atau Asia Selatan.
Saat orang-orang itu pulang kembali ke US dengan keadaan sudah ‘tercuci’ otak nya. Juga ada fakta di mesjid lah beberapa orang berdiskusi tentang permasalahan panas dan dilanjutkan dengan aksi teror. Tapi itu dilakukan secara perorangan, bukan oleh pihak pengelola masjid.
Membangun masjid atau gereja di US tidak terlalu sulit dan juga tidak gampang. Aturannya jelas dan konsisten diterapkan oleh City. Paling sering ditemui sekelompok muslim menyewa sebuah tempat untuk dijadikan ‘mesjid’ di area komersial seperti ruang perkantoran atau pertokoan yang terpisah cukup jauh dari pemukiman penduduk.
Dengan menyewa di area perkantoran, urusan ijin dengan City lebih simple karena semua aturan pemakaian sebuah ruangan untuk berkumpul sejumlah orang sudah terpenuhi, parkir sudah ada dan sesuai kapasitas ruangan yang disewa, dan tidak perlu meminta ijin ke penduduk disekitar area.
Kalau punya duit lebih, maka membeli gereja yang sudah tidak aktif lagi adalah pilihan paling ideal, karena semua persyaratan pendirian rumah ibadah sudah pasti telah dipenuhi oleh pihak gereja terdahulu dan tinggal dialih fungsikan dari gereja menjadi masjid.
Kalau membeli tanah/bangunan di ruang non-komersil untuk dijadikan rumah ibadah akan lebih ribet urusan perijinanannya. Akan selalu ada penduduk yang menentang.
Aku paham dan mengerti keberatan orang orang yang merasa terganggu akan bunyi bell gereja, atau lengkingan suara azan, kemacetan jalan, atau gangguan lain jika ada rumah ibadah di lingkungannya.
Sebelum ijin dikeluarkan, pihak City sudah mengkaji semua aturan dan mempublikasikan secara terbuka ke penduduk sekitarnya tentang rencana pembangunan rumah ibadah.
Akan ada hearing terbuka di City Hall, akan ada perdebatan. Jika ijin pendirian itu gagal, tidak terkabulkan, bisa dipastikan bukan karena faktor agama.
Penolakan ijin karena ada aturan City yang tidak terpenuhi jika rumah ibadah itu dibangun. Bukan karena faktor takut Islamisasi, atau Kristenisasi. Undang undang Amerika menjamin kebebasan semua warganya untuk melaksanakan kepercayaannya.
Adanya kasus ini di kotaku cukup memprihatinkan, karena kita muslim Indonesia juga punya rencana membangun sebuah masjid di atas tanah (di area bisnis) yang sudah kita beli.
Situasi politik US memang sedang panas mendekati Pilpres November 2016 ini. Isu Islam adalah salah satu topik yang ramai diperbincangkan, mungkin sama lah dengan para anti Ahoker yang menyerang sisi sara Ahok. Bukan menyerang policy Ahok.
Kasus ini juga membuat aku merenung dan mecoba mengerti perasaan saudara-saudara non muslim di tanah air yang berjuang untuk mendirikan rumah ibadah tapi mendapat banyak pertentangan dari pihak penduduk atau ormas yang mayoritas muslim.
Salah satu sebab penolakan karena saling curiga rumah ibadah itu akan mengganggu keimanan pemeluk agama lain. Hmmm ....bukan kah nature dari agama sebuah itu adalah untuk me-yakinkan orang sebanyak-banyaknya agar bergabung masuk dan taat ikut agama itu. Kalau ada Kristenisasi, maka pasti ada juga Islamisasi. Itu sudah sunatullah ……
Salam,
Seattle 4/18/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H