"Orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal : kepercayaan, Â cinta, dan rasa hormat " Ali bin Abi Thalib.
Kejujuran dalam konteks kekinian acap kali dianggap bodoh atau tidak cerdas. Sebaliknya orang yang pandai merekayasa keadaan, mengkonstruksi kata-kata pembodohan masal malah itu dianggap hebat, cerdas dan pintar. Orang-orang kategori ini ketika dia berada dalam kelompok tertentu akan dipuji dan dibela mati-matian.
Tapi sayang kompensasi dari buah kejujuran dan kesederhanaan hidup itu tidak dinikmati oleh orang-orang jujur itu sendiri. Mereka ada dan bekerja walau kinerjanya diakui tapi masih di-bully, dihina bahkan diancam. Padahal mereka yang berkata kasar dan rasis itu adalah "anak kemarin sore" yang untuk makan dan minumnya saja masih nagih sama orang tuanya. Atau bagi mereka yang pengangguran untuk mendapatkan makan dan minum mesti menggunakan simbol-simbol agama untuk mengisi isi dompetnya. Ada juga sosok-sosok yang selalu gagal tapi berusaha eksis dengan merebut panggung agama. Apa sebab itu semua?
Semua karena ketiadaan kejujuran dan sikap hedonisme: redupnya kebanggaan hidup dari pola hidup sederhana. Karena itu mereka terperangkap dalam syahwat politik yang narcissus, sarkastis, Â dan rasistik.
Matinya kejujuran dan hilangnya kebanggaan hidup sederhana menghadirkan kebanggaan baru dalam konteks kekinian atau yang lagi ngetren zaman now adalah orang makin bangga dan puas kalau ia semakin banyak menipu orang. Ia bangga dengan produk-produk luxury yang mungkin diperoleh dengan jalan haram. Ya itu tadi, mereka terbius dengan kebanggaan semu (pseudo) karena dipuja - puji oleh pengikutnya. Tapi tidak memiliki mentalitas satria.
Hidup jujur dan sederhana di era milenium ini sebenarnya sudah diperagakan oleh Muder Teresa dari Calcuta, India. Ia menanggalkan hak-hak istimewa manusiawinya dan mengganti dengan kaul kemiskinan. Ia turun ke kantong kantong miskin dalam senyap. Kerja tanpa pamri. Bersentuhan langsung dengan kaum miskin, penderita AIDS, Â menolong orang sakit, kusta, dll. Tak pernah ia memikirkan kelak ia akan menjadi perempuan berpengaruh atau orang kudus yang ia sandang hari ini dalam kematiannya yang membahagiakan itu. Itu contoh dari kejujuran dan kesederhanaan.
Lantas masih adakah orang saleh yang setiap saat berceramah agama terjun ke kantong-kantong miskin itu? Meminjam bahasa teman saya Yongky HS, " kita hanya mendesain keberpihakan hanya dalam bingkai belas kasihan." Dimana praktik belas kasihan dalam hidup nyata dari mereka-mereka itu? Kalau orang yang dianggap dosa dan jahat itu mampu melakukan kebaikan kalau begitu apa bedanya kita dengan mereka?
Bila waktunya kita akan sadar, kebaikan akan dikenang setelah pribadi itu tiada. Seperti harimau yang akan meninggalkan belang, Â gajah yang meninggalkan gadingnya sama halnya ketika manusia mati akan meninggalkan jasa baiknya.
Seorang imam besar Ali bin Abi Thalib sudah mengatakan setiap orang yang selalu berkata jujur akan memperoleh kepercayaan, cinta dan rasa hormat. Tapi ingat, kejujuran itu teman dekatnya kesederhanaan.
Salam Damai