gambar diambil dari https://smartkidzpaudjogja.wordpress.com
Dua puluh enam tahun yang lalu, saya lulus TK Tarakanita Jogjakarta. Waktu itu orangtua saya mencari SD yang bagus untuk saya, sama persis seperti semua orangtua yang lain, tentu saja ingin anaknya mendapatkan yang terbaik. Saya kemudian ikut “tes” masuk SD Ungaran III. Saya masih ingat waktu itu saya sudah pada usia 6 tahun di “wawancara” dan disuruh menyanyi. Sudah. Itu saja. Tentu ada syarat administrasi, seperti jarak dari rumah ke sekolah. Seberapa dekat domisili orangtua dengan sekolah sesuai KTP dan KK. Hampir saja saya tidak “lolos” karena usia saya masih 6 tahun. Untung saja anak yang usianya lebih dari 6 tahun tidak sebanyak kursi yang ada di sekolah tersebut. Tidak ada pungutan, SPP sebulan 8 ribu rupiah. Alhasil saya dapat kursi waktu itu. Mungkin karena nyanyian saya lebih merdu dari anak 6 tahun yang lain. Saya ga kepikiran tanya ke guru saya waktu itu kenapa saya akhirnya masuk. Wallahualam.
Proses seleksi dilakukan tidak lebih sebulan dari tahun ajaran baru. Sekarang saya tinggal di Jakarta. Tahun ajaran baru 2015/2016 masih 6 bulan lagi. Poster-poster dan baliho pendaftaran sekolah, terutama sekolah dasar atau TK/PAUD sudah nangkring dimana-mana. Sudah banyak sekolah “open house” dan membuka pendaftaran untuk murid baru. Bahkan ada “trial class” atau kelas percobaan. Orangtua harus merogoh sekian ratus ribu untuk mencoba kelas selama seminggu atau kurang. Orangtua berbondong-bondong mensurvey sekolah terbaik untuk anaknya. Ibu-ibu sibuk berdebat mana sekolah yang paling oke sambil melirik dompetnya. Tentu untuk anak, tebal tipisnya dompet tidak menjadi masalah. Uang bisa dicari. Pihak sekolah tau banget hal ini, sehingga uang pangkal masuk SD bisa sampai puluhan juta. Iya. Puluhan juta. Supaya orangtua lebih mantap, gedung dibuat megah, bahasa inggris sebagai pengantar, ada trip keluar negeri, pengajar bule, dll. Tidak kalah dengan biaya sekolah S2 di perguruan tinggi terkenal. Belum SPP per bulannya. Ada uang ada barang.
Tapi itu belum semuanya. Karena pendaftar membludak, harus ada seleksi. Hal ini tidak hanya terjadi di sekolah swasta. Tapi juga di sekolah negeri yang “favorit”. Paling gampang kemudian seleksi dilakukan dengan tes membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Anak yang sudah bisa calistung lebih diprioritaskan dibandingkan dengan anak yang belum bisa. Padahal jelas-jelas peraturan pemerintah no 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan disebutkan. Dalam pasal 69 ayat 5 bahwa penerimaan siswa baru SD kelas 1 atau yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan calistung atau bentuk tes lain. Penerimaan siswa baru hanya mempertimbangkan dua hal yaitu usia (6 tahun ke atas) dan kedekatan jarak sekolah dengan rumah. Persis seperti proses seleksi yang saya alami 26 tahun lalu. Meski juga ada tes menyanyi.
Lebih seram lagi penuturan direktur jendral pendidikan anak usia dini (PAUD) Sudjarwo yang pernah mengatakan dalam sebuah artikel berita (Republika, 18 Juli 2010) bahwa pengajaran calistung pada anak menimbulkan terhambatnya pertumbuhan kecerdasan mental. Artikel ini sampai sekarang masih jadi urutan teratas di mesin pencari google apabila ada kata kunci “calistung bagi anak”. Tapi apakah benar demikian? Kalau benar, kenapa buku pelajaran SD baik kurikulum lama (2006) dan kurikulum baru (2013) masih sarat dengan bacaan dibandingkan gambarnya? Bagaimana mungkin anak dilarang belajar calistung tapi tiba-tiba disuruh membaca karena buku pelajaran “memaksa” anak untuk membaca? Tapi harus diakui dengan segala kekurangannya, buku pelajaran kelas 1 SD untuk kurikulum 2013 lebih baik, sudah ada buku panduan guru dan pelajaran metode tematik. Bisa dicek di :
1.http://www.sekolahdasar.net/2013/07/download-buku-pelajaran-sd-kurikulum-2013.html
2.http://bse.kemdikbud.go.id/buku/kurikulum2013
Belum lagi ketika anak belum bisa calistung belajar di kelas yang semua anak lain sudah bisa calistung karena sudah diajarkan sebelumnya. Anak akan runtuh kepercayaan dirinya dan merasa paling bodoh di kelas. Jelas situasi ini malah akan menghambat pertumbuhan mental anak.
Tapi kemudian apakah orangtua harus mengajarkan calistung sebelum masuk SD? Tunggu dulu. Kata kuncinya disini bukan “calistung”-nya tapi kata “harus”. Menurut saya penuturan Pak Sudjarwo tadi tidak sepenuhnya salah. Anak akan mengalami hambatan apabila dipaksa belajar calistung. Lain ceritanya apabila anak sukarela, bahkan senang belajar calistung. Kuncinya adalah bagaimana “cara” mengajarkanya. Saya kira belajar calistung yang menyenangkan tidak akan menimbulkan hambatan apapun, malah memberikan dampak positif. Lagi-lagi anak yang menjadi korban kebijakan pemerintah yang setengah-setengah. Di satu sisi melarang, tapi disisi lain materi belajar berkata sebaliknya.
Solusinya bagaimana? Mari kita cermati dulu dua teori psikologi perkembangan yang masih digunakan di dunia akademik sampai saat ini. Pertama teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget. Anak usia2 sampai 7 tahun masuk tahap Pra-operasional. Pada tahap ini anak sudah mengenal simbol, penggunaan bahasa sudah lebih cepat berkembang. Memori/ingatan dan imajinasi juga mulai berkembang cepat pada tahap ini. Namun pemikiran kognitif anak masih cenderung intuitif, belum mengenal konsep sebab-akibat atau konsep perbandingan secara mendalam. Kalau kita perhatikan dari teori ini, anak sejak usia 2 tahun sudah bisa diajarkan simbol-simbol. Membaca dan berhitung pada dasarnya adalah perkara pengenalan simbol.
Teori yang berikutnya adalah teori perkembangan psikososial oleh Erik Erikson. Dari 8 tahap perkembangan Erikson. Anak usia 3 hingga 5 tahun masuk tahap ketiga Apa itu? Tahap ini menurut Erikson adalah tahap bermain (Play Age). Sebaiknya anak “didampingi” untuk bermain, bukan “disuruh/dipaksa”. Anak pada tahap ini secara aktif punya inisiatif sendiri untuk bermain, punya kehausan untuk mengerti dan mencoba segala sesuatu secara kreatif dan unik. Juga ketika berinteraksi dengan orang lain mereka akan penuh ingin tahu apa respon yang muncul dari orang lain. Perlu dicermati juga krisis psikososial yang bisa muncul yaitu “Initiative vs Guilt”. Respon yang negatif dalam banyak cara seperti dimarahi, dihukum, dipaksa akan sangat mempengaruhi dan membentuk kepribadian anak.
Berdasarkan dua teori yang ada itu kita bisa simpulkan, anak usia 2 hingga 7 tahun sudah bisa diajarkan calistung. Mereka akan cepat menangkap dan mempelajarinya. Tapi harus diperhatikan juga cara mengajarnya. Pemaksaan kepada anak untuk belajar, bukannya bermain akan menimbulkan dampak yang serius bagi perkembangan kepribadian anak. Apabila anak menolak, orangtua wajib menghentikan karena belajar calistung dalam arti belajar di dalam ruang, duduk dengan tertib, menyimak, mendengar tanpa ribut, membuka buku, hanya untuk anak berusia 7 tahun atau lebih. Jadi yang harus kita pikirkan berikutnya adalah bagaimana caranya bermain calistung yang tidak dibatasi tembok, anak bebas berlarian, berteriak, menanya, berganti topik dengan cepat tanpa diganggu hasrat dan target orangtuanya. J
Bondhan Kresna Wijaya | Pemerhati Pendidikan | catatanpadawan.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H