Meroketnya harga minyak dan semangat mondial untuk menjinakkan pemanasan global telah meningkatkan permintaan dunia terhadap CPO, jagung, gandum, tebu, dan bahan pangan lainnya untuk produksi biofuel. Pada saat yang sama, seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan pangan dunia pun terus membengkak.
Padahal, stoknya dalam dasawarsa terakhir terus menurun. Bila pada 1999 persediaan pangan dapat memenuhi 120 hari kebutuhan dunia, pada 2010 hanya cukup untuk 50 hari. Lebih besarnya kebutuhan ketimbang kemampuan suplai pangan dunia mengakibatkan harga-harga bahan pangan terus melambung.
Kenaikan harga pangan global bukan hanya mengakibatkan jumlah warga dunia yang kelaparan meningkat, melainkan juga menyebabkan instabilitas ekonomi dan politik. Gelombang demonstrasi secara massif menentang kenaikan harga bahan pangan pada 2008 di berbagai belahan dunia, bahkan memicu pelengseran presiden di sejumlah negara, seperti Haiti, Pakistan, Meksiko, Argentina, Nigeria, Mesir, dan Tunisia.
Dalam jangka panjang, kekurangan pangan dan gizi buruk di suatu negara hanya akan meninggalkan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan kurang produktif. Karena itu, wajar bila Presiden SBY menekankan agar bangsa ini membangun kedaulatan pangan di berbagai acara kenegaraan.
Bahkan, Presiden RI pertama Bung Karno saat berpidato pada acara peresmian Gedung Fakultas Pertanian IPB di Bogor pada 1952 membuat pernyataan prophetic bahwa pertanian dan pangan adalah masalah hidup-matinya sebuah bangsa. Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia dengan potensi produksi yang tinggi, seharusnya Indonesia bisa menikmati berkah ekonomi (windfall profit) dari melonjaknya permintaan dan harga sejumlah komoditas pangan secara fenomenal itu.
Kerugian yang ditimbulkan akibat kebergantungan kita pada bahan pangan impor pun bukan alang kepalang. Telah terjadi penghamburan devisa, penyengsaraan petani, sampai meman dulkan sektor pertanian juga kelautan dan perikanan yang seharusnya menjadi keunggulan kompetitif bangsa.
Belum terwujudnya kedaulatan pangan di Nusantara yang subur bak “zamrud di khatulistiwa“ ini diduga karena “salah urus“. Pasalnya, potensi produksi berbagai komoditas pangan yang bisa diproduksi di Tanah Air sejatinya lebih besar ketimbang total kebutuhan nasional.
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan kedaulatan pangan sekaligus menjadikan sektor pertanian, kehutanan, serta kelautan dan perikanan (ekonomi SDA hayati) sebagai keunggulan kompetitif dan mesin pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkelanjutan. Pada tataran teknis, kita harus meningkatkan produksi semua pangan yang bisa dihasilkan di dalam negeri secara produktif, efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pada saat yang sama, lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan perikanan yang subur serta produktif (kelas-I) tidak boleh lagi dikonversi menjadi kawasan industri, permukiman, infrastruktur, dan peruntukan lainnya. Sebaliknya, harus dijadikan lumbung pangan nasional.
Pola Ekspor
Tidak seperti Malaysia, Thailand, dan negara-negara maju, selama ini kita mengekspor komoditas pertanian sebagian besar dalam keadaan mentah. Mulai sekarang, kita harus memperkuat dan mengembangkan industri hilir di seluruh sentra produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan agar memperoleh nilai tambah, penyediaan lapangan kerja, dan multiplier effects ekonomi yang lebih besar dan luas.
Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas para petani, pekebun, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan, melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (diklatluh) secara sistemis dan berkesinambungan. Pemerintah juga harus menyediakan seluruh sarana produksi perrtanian dan perikanan dengan harga relatif murah dan dalam jumlah yang mencukupi di seluruh wilayah Nusantara.
Infrastruktur pertanian dan perikanan serta infrastruktur dasar harus diperbaiki dan dibangun di setiap kawasan produksi SDA hayati sesuai kebutuhan. Dengan begitu, transportasi komoditas dan produk pangan dari kawasan produsen ke kawasan konsumen lebih efisien, cepat, murah, dan terpercaya.
Demikian pula dalam mendatangkan sejumlah sarana produksi dari daerah pabrik/industri ke kawasan-kawasan produsen SDA hayati. Industri peralat an dan mesin pertanian dan perikanan (alsintan) harus diperkuat dan dikembangkan di seluruh wilayah Nusantara.
Politik-Ekonomi
Sederet jurus teknikal di atas akan berhasil jika dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor-sektor
ekonomi SDA hayati. Sedikitnya, ada sembilan kebijakan politik-ekonomi
paling krusial untuk direalisasikan.
Pertama, menghentikan impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di
tanah air, baik secara langsung maupun bertahap. Kedua, memperbesar porsi
anggaran negara untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian
dan daerah pedesaan, produksi benih unggul, pupuk organik dan anorganik,
dan pakan berkualitas.
Ketiga, produksi gas alam harus diprioritaskan untuk produksi pupuk ketimbang diekspor mentah seperti sekarang. Keempat, penyediaan permodalan khusus untuk sektor-sektor ekonomi SDA hayati. Kelima, penguatan dan perluasan peran Bulog sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok.
Keenam, pemerintah harus memberikan insentif, kemudahan, keamanan, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang berinvestasi di sektor pertanian, terutama pada usaha industri hulu dan industri hilir. Pencermaran lingkungan
juga harus dikendalikan secara ketat dan konservasi biodiversity harus dilaksanakan secara konsisten.
Ketujuh, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Kedelapan, penciptaan iklim usaha
yang atraktif dan kondusif. Terakhir adalah kebijakan moneter yang berpihak kepada ekonomi SDA hayati. ●
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H