Pendahuluan
 Terorisme tidak akan lenyap dari muka bumi ini, malahan akan muncul dalam berbagai bentuk, dan tidak ada pihak yang dapat menjamin bahwa, besok lusa — tidak ada lagi ancaman terorisme. Pengertian mengenai teror, secara harafiah dapat dikutip dari kamus Webster yang mengatakan bahwa teror adalah suatu keadaan, kondisi kejiwaan yang amat ketakutan, kecemasan yang tinggi. Dengan demikian, secara sederhana dapat pula dikatakan bahwa aksi terror adalah tindakan untuk menciptakan suasana ketakutan yang amat tinggi bagi seseorang, atau kelompok, atau masyarakat. Pada kondisi demikian maka perilaku seseorang, kelompok masyarakat, yang mengalami ketakutan atau kecemasan yang tinggi, sehingga dapat dimanipulasi untuk melakukan suatu tindakan, kegiatan, yang sesuai dengan keinginan para pelaku terror.
Situasi yang berkembang pada waktu ini adalah munculnya gerakan radikal yang sempat menjamur, dan mereka menggunakan aksi terror sebagai alat kampanye untuk mencapai tujuan kepentingan mereka. Radikal berasal dari kata radix yang berarti akar (Latin) yang dimulai di Inggris pada akhir abad 18[1]. Pengertian yang lebih luas mengacu pada ensiklopedia dan beberapa kamus bahasa Inggris, yang mengungkapkan kata radical (adjective) adalah activist, fundamental, extreme, militant, fanatic, revolutionary, drastic, die hard, way-out, yang diekspresikan dalam hal pendirian, sikap dan tindakan.
 Pada umumnya, pendirian—sikap—tindakan yang bersifat radikal, ada kaitannya dengan peng-hormatan terhadap sistem nilai yang dianut oleh pihak tersebut. Pengertian tersebut akan semakin jelas maknanya apabila disandingkan dengan kata benda (noun), misalnya—Kristen radikal, atau Islam radikal, atau penganut idiologi politik. Radikalisme, bukan suatu fenomena yang sulit untuk dimengerti, oleh karena secara alamiah sifat-sifat dasarnya ada di dalam kehidupan individu, keluarga, maupun masyarakat. Namun perlu disadari bahwa secara teoritik, gerakan radikal mempunyai mass dan velocity, dengan daya centripetal dan atau centrifugal, terhadap lingkungan sekitarnya. Singkatnya, ada daya (power) yang dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan (objective).
Secara garis besar, tujuan dari aksi terror dapat dibagi dalam empat katagori besar, yaitu; (1) irrational terror, yaitu tindak teror yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya untuk kepentingan pribadi, untuk memuaskan keinginan sepihak, atau—tindakan tindakan lainnya yang tidak masuk akal sehat. (2) Criminal terror, adalah tindakan yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya (crime) untuk kepentingan kelompok mereka, misalnya YAKUZA, MAFIA, ORGANIZATIA. Kelompok atau sekte agama tertentu dapat dimasukkan dalam katagori ini. (3) State (sponsored) terror adalah aksi terror yang dilakukan oleh penguasa suatu negara terhadap rakyatnya, yang tujuannya adalah membentuk perilaku segenap lapisan masyarakat sesuai keinginan penguasa, atau ditujukan kepada negara atau pihak lainnya, (4) Political terror, adalah kegiatan terror yang dilakukan oleh kelompok atau jaringan tertentu yang bertujuan politik. Kelompok inilah yang menjadi masalah dunia sampai sekarang, dan makalah ini akan fokus pada kelompok tersebut.
Hubungan antara gerakan radikal dan terorisme.
Sesuai dengan sifat alamiahnya (activist, fundamentalist, extreme, militant, fanatic, die-hard, way out), gerakan radikal cenderung bersikap tegas, keras dan ada unsur pemaksaan (coersive). Penghormatan terhadap sistem nilai dilaksanakan dengan keras (strictly), harus sesuai dengan norma yang dianut, ada lembaga sanksi untuk melaksanakan penghukuman (punishment).
Secara teoritik mengatakan bahwa gerakan kelompok radikal akan selalu berhadapan dengan lingkungan sekitarnya yang berbeda dalam banyak hal, terutama di dalam penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku secara umum. Sangat besar kemungkinannya terjadi benturan, dan ada pula kemungkinan terjadi kerusakan, kehancuran, kehilangan, kematian(loss) bagi masing-masing pihak. Semua pihak, apakah mayoritas (baca: pemerintah) atau minoritas (baca: teroris), pasti akan memperhitungkan ancaman (imminent loss) dan penyiapan kekuatan atau daya (power) untuk menghadapi ancaman. Logikanya, adalah pihak mayoritas yang memegang kendali situasi oleh karena pihak inilah yang memiliki daya (politik/kuasa—ekonomi/logistik—militer/daya perusak) yang lebih besar.
Sebaliknya, pihak minoritas tidak memiliki daya sekuat pihak mayoritas, sehingga ada asymmetric balance of power yang berlaku di lapangan. Pihak mayoritas akan mempertahankan keunggulan di dalam perimbangan kekuatan, sebaliknya di pihak minoritas, misalnya gerakan kelompok radikal, akan berusaha pula dengan segala cara dan metode untuk mencapai perimbangan kekuatan. Salah satu di antaranya ialah dengan cara-cara terorisme.
Pada kelompok gerakan radikal sebagai pihak yang minoritas, maka persoalan survival, merupakan masalah mati-hidup dan untuk itu mereka memerlukan daya (power) untuk tetap eksis. Modal awalnya adalah melalui pembinaan kader (recruitment) yang fokus pada unsur fanatisme dan militansi di dalam pengormatan terhadap sistem nilai mereka. Banyak bukti dilapangan (empirical) mengungkapkan bahwa, selalu ada pihak ketiga yang menyokong, baik secara tertutup (indirectly support) ataupun terbuka (tacit support) terhadap kelompok radikal tersebut, oleh karena ada kepentingan (mutual political objectives) yang ingin dicapai. Yang dimaksud dengan pihak ketiga dapat berwujud negara, atau parpol, ormas, ikatan primordial, LSM, yang memberikan political blessing, moral support, SDM (misalnya pakar dalam bidangnya), dukungan logistik, dana, intelijen, sampai pada kirim pasukan atau sukarelawan.
Ada dua contoh kelompok radikal yang sangat menonjol, yaitu yang pertama, Ku Klux Klan adalah kelompok racist yang terkenal sangat kejam terhadap kaum ‘negro’ (versi tahun 1866) dan terhadap kaum Katolik, Yahudi, dan Komunis (versi tahun 1915)[2]. Lawannya adalah Black Phanter yang sempat berkembang tetapi besaran daya (power) untuk survive, nyatanya tidak mampu mengatasi pihak mayoritas yang memiliki daya (power) lebih kuat. Menarik untuk dipelajari adalah contoh yang kedua, yaitu Kahane Kach adalah juga kelompok racist, menggunakan aksi terror sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi, dan oleh pihak pemerintah AS kelompok tersebut dimasukkan dalam daftar organisasi teroris.[3] Tetapi nyatanya mereka tetap eksis meskipun dalam tekanan yang sangat ekstrim di bumi AS, tetapi di bumi Israel mungkin ceritanya berbeda.
Penggalan sejarah kontemporer mencatat, banyak kelompok radikal yang muncul diberbagai penjuru dunia dan mereka menggunakan aksi teror sebagai sarana (means) untuk mencapai tujuan politiknya. Pertanyaan yang muncul di sini ialah mengapa pilihannya terorisme? Jawabannya sederhana sekali—yaitu; beayanya sangat murah, metodanya tidak rumit, pengorganisasiannya sederhana, tetapi efektif digunakan untuk perimbangan kekuatan di lapangan[4]. Tidaklah mengherankan apabila banyak organisasi radikal, kemudian berkembang menjadi organisasi terorisme. Ada kelompok sudah terkenal, atau dikenal luas dan masuk dalam daftar (black list) yang dikeluarkan oleh berbagai pihak, misalnya pemerintah AS.