Mohon tunggu...
Bondan Wicaksono
Bondan Wicaksono Mohon Tunggu... -

Masyarakat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Konsolidasi Demokrasi dalam Perspektif Nasional”

10 Februari 2012   09:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:49 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada kekeliruan kolektif dalam pemahaman kita ketika berbicara ‘demokrasi’. Seolah-olah demokrasi hanya sah apabila identik dengan model Amerika Serikat, Eropa, dan segala yang berbau ‘barat’. Padahal setiap negara mempunyai sejarahnya sendiri termasuk sejarah demokrasinya tak terkecuali Indonesia. Oleh karenaya konsolidasi demokrasi pertama-tama haruslah mengkonsolidasikanpemahaman yang keliru ini. Dan hal ini bukan persoalan mudah, karena yang sesungguhnya terjadi adalah pertarungan ideologi global; dan kita (Indonesia) kalah! Hal inilah yang mengacaukan seluruh tatanan berpikir dan tatanan kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara.

Kita ambil contoh ; ‘kekuasaan orde baru’ yang salah, karena otoritarian, koruptif, serakah, manipulatif ideologis, dan lain-lain yang menghancurkan kehidupan bangsa ini, tetapi UUD 1945 yang kita salahkan, maka harus di amandemen sampai 4 kali dalam kurun waktu 3 tahun. Hasilnya konstitusi kita kehilangan substansi dari roh kebangsaannya, dari cita-cita pendiri bangsanya. Maka diperlukan amandemen yang konprehensif untuk mengembalikan semangat konstitusi kepada akar ideologinya Pancasila. UUD 1945 hasil amandemen sekarang inilah yang melahirkan interpretasi liberatif bagi kekuasaan dan elit politik negeri ini untuk melahirkan berbagai produk undang-undang dan kebijakan publik yang memisahkan negara dengan rakyatnya. Sekedar contoh ; Pembangunan ekonomi kita yang seharusnya dibangun diatas Pasal 33 UUD 1945 tetapi dalam pelaksanaannya banyak undang-undang dan kebijakan perekonomian yang dibuat bertentangan dengan amanat dasarnya; Kita mempunyai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang sangat pro rakyat, tetapi banyak undang-undang dan peraturan yang menyangkut masalah pertanahan (agraria) dibuat bertentangan dengan UUPA.

Persekutuan liberalisme politik dan kapitalisme ekonomi telah memperparah keadaan seperti yang kita saksikan sekarang ini. Sistem pemilihan langsung yang diyakini sebagai sistem demokrasi yang paling sahih pada kenyataannya telah merusak kearifan lokal dan sendi-sendi moral masyarakat dengan maraknya politik uang (money politic). Rekruitmen kepemimpinan politik di pusat maupun di daerah tak urung menjadi arena pertarungan kekuasaan modal yang pada akhirnya melahirkan pemimpin yang mau tidak mau mengabdi kepada kepentingan modal dan rakyat terabaikan. Berbagai kebijakan pembangunan di pusat maupun di daerah diarahkan sepenuhnya untuk memuaskan kepentingan modal yang berkorelasi dengan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Maka lahirlah kebijakan pertanahan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, perikanan, dan lain-lain yang merampas tanah dan kehidupan rakyat. Rakyat miskin, sengsara dan menderita!

Kasus memilukan rakyat yang sudah berlangsung lama dan mencapai puncak gunung es belakangan ini adalah konflik agraria yang terjadi hampir di seluruh Indonesia termasuk di Lampung. Rakyat yang dijamin konstitusi dan undang-undang untuk memiliki dan mengelola tanah untuk kehidupannya dipaksa terusir dari tanahnya atas nama kebijakan pemerintah yang pro modal. Kolusi penguasa-pengusaha yang menggerogoti kekayaan negeri ini tidak ayal menyebabkan rakyat kebanyakan khususnya kaum tani dan masyarakat tak berpunya menjadi korban dan termarjinalkan. Hak-hak politik, ekonomi, sosial-budaya rakyat sebagai warga negara dirampas, rakyat di kriminalisasi bahkan nyawa rakyat tidak berarti diatas kekuasaan modal. Ironisnya pemerintah diam tidak berbuat apa-apa terhadap keadaan ini, dan tidak ada solusi bagi rakyat.

Pancasila sebagai ideologi bangsa lahir dari kondisi obyektif bangsa Indonesia yang tertindas, miskin, bodoh dan terbelakang akibat dari sistem penjajahan (kolonialisme). Kolonialisme sebagai anak kandung dari kapitalisme dan liberalisme akan terus bermetamorfosa dalam bentuk-bentuknya yang baru (Neo kolonialisme). Dari kesadaran yang tinggi dan kejeniusan berpikir Bapak Pendiri Bangsa Bung Karno telah mengingatkan bangsa ini sejak awal akan bahaya dari metamorfosa sistem ini dalam bentuknya yang baru. Oleh karena itulah Bung Karno secara radikal mengatakan bahwa Pancasila adalah anti thesa dari kapitalisme dan liberalisme. Maka Pancasila harus bertentangan secara diametral dengan sistem ini untuk membebaskan bangsa ini dari ketertindasan, kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan. Ideologi ini bukan sekedar hanya keyakinan, tetapi hasil dari menyatunya kekuatan pemikiran dan pengalaman pergumulan Bung Karno dengan penderitaan rakyatnya.

Realitas kekinian bangsa ini telah menyadarkan kita akan peringatan Bung Karno tentang bahaya kapitalisme, liberalisme dan new kolonialisme dalam bentuknya sekarang ini. Jalan ‘kapitalisme dan liberalisme malu-malu’ yang dijalankan pemerintah sekarang ini telah menggerus kedaulatan kita akan negeri sendiri. Kekayaan alam yang seharusnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat telah sepenuhnya dikuras kekuasaan asing. Cabang-cabang produksi strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai negara kini telah berpindah tangan kepada kekuatan modal asing atas Dari nama investasi. Dari kekayaan alam yang melimpah, kini kita tinggal bertengkar hanya karena subsidi BBM. Dari negara anggota OPEC sebagai pengekspor minyak, kini kita hanya bisa mengespor pembantu rumah tangga ke luar negeri. Dari negara yang disegani kekuatannya secara politik maupun militer, kini di dikte negara kecil seperti Malaysia yang dulu bergantung dan kita bantu membangun negerinya. Akankah keadaan ini akan kita biarkan terus-menerus seperti ini ? Terakhir, salah satu tujuan Karena berbicara ideologi Pancasila 1 Juni 1945 adalah berbicara tentang ‘rakyat Indonesia dengan seluruh penderitaannya’. Pancasila adalah kristalisasi keringat dari bangsa Indonesia yang berjuang. Dan semoga ini menumbuhkan komitmen kita untuk selalu berjuang dan membenahi Negara kita tercinta ini.

MERDEKA !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun