Mohon tunggu...
Bondan Wibisono
Bondan Wibisono Mohon Tunggu... -

"I'm just a story teller who try to form a formula for extracting meaning from chaos, just like a handful of water we scoop up to recall an ocean"

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Blogger Oh Blogger

24 Januari 2011   02:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:15 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah membaca rasanya perlu memberikan penambahan bahwa sebelumnya terdapat artikel yang berjudul US embassy cables: Jakarta embassy requests $100k for its social media strategy,” dan tak urung artikel tersebut tetaplah sesuatu yang cukup mengejutkan bagi sebagian kalangan. Dalam artikel tersebut sungguh terlihat betapa nafsu atas penguasaan dunia hingga kini masih secara konsisten diimani oleh kelompok konspirasi global. Sejarah dunia telah mencatat dimulainya zaman Kolonialisme-Imperialisme Eropa seiring sejak terjadinya Revolusi Industri. Dibawah kibaran panji-panji Gold, Glory, dan Gospel; armada-armada laut negara-negara Eropa melakukan invasi dan aneksasi berebut untuk melakukan pengkaplingan terhadap wilayah-wilayah jajahan yang tersebar di seluruh dunia. Namun berbeda di masa Neo-Kolonialisme-Imperialisme dimana semangat kemerdekaan dari negara-negara jajahan tak lagi terbendung. Upaya penguasaan wilayah jajahan tak lagi menempatkan invasi dan aneksasi menjadi prioritas pilihan cara, namun lebih mengutamakan pendekatan ekonomi dengan strategi penggunaan kekuatan kapital untuk menguasai –tanpa harus menduduki– wilayah jajahan. Dari pertemuan yang diadakan pada tahun 1945 di Hotel Mount Washington, Bretton Woods, New Hampshire, USA; sistem Bretton Woods dilahirkan dengan tujuan untuk menyediakan kerangka institusional bagi sebuah tatanan ekonomi liberal yang diinginkan oleh para kapitalis Amerika. Selain itu, pertemuan tersebut juga memutuskan untuk membentuk “korporasi trans-nasional” dan “lembaga trans-nasional” yang bernama World Bank dan IMF. Pertemuan itu juga mensyaratkan adanya perubahan standar nilai tukar mata uang dunia dari Gold Standard (standar emas) menjadi US Dollar standard (standar Dollar Amerika Serikat). Dengan demikian seluruh dunia telah masuk dalam perangkap sistem ekonomi yang mereka desain dan menjadi blue print yang harus dijalankan oleh setiap pemerintahan negara di seluruh dunia. Siapapun yang menentang, harus bersiap-siap untuk distigmatisasi sebagai bagian dari terorisme. Kini, setelah masa Neo Kolonialisme-Imperialisme berakhir, Kolonialisme-Imperialisme sekali lagi bermetamorfosa untuk kedua kalinya menjadi apa yang disebut sebagai Post Modern (Posmo) Kolonialisme-Imperialisme. Pada tahap ini kembali terjadi perubahan pendekatan dari yang semula menggunakan pendekatan ekonomi dengan strategi penggunaan kekuatan kapital untuk menguasai –tanpa harus menduduki– wilayah jajahan, berubah menjadi pendekatan budaya dengan strategi penggunaan kekuatan teknologi dan ilmu pengetahuan  untuk melakukan social engineering –kalaupun tidak bisa dikatakan sebagai proses cuci otak dan indoktrinasi secara halus dan sistematis– terhadap masyarakat di wilayah jajahan. Ini yang kemudian diperkenalkan sebagai Posmo Kolonialisme-Imperialisme atau sering pula disebut sebagai Imperialisme Budaya. Dalam penggunaan kekuatan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk melakukan social engineering, ada dua ‘wilayah’ utama yang menjadi target penguasaan Posmo Kolonialisme-Imperialisme. Yang pertama adalah pendidikan dimana proses cuci otak dan indoktrinasi dapat dilakukan secara sistematis dan terstruktur dibawah kendali langsung pemerintah maupun swasta. Sistem Pendidikan yang sudah dikomersialisasikan telah dirancang bagi setiap manusia untuk dididik dan diajar sejak kecil hingga perguruan tinggi baik secara afektif, kognitif maupun konatif untuk memproduksi manusia yang siap untuk masuk menjadi bagian dari sistem politik, ekonomi dan budaya yang sudah mereka desain. Yang kedua, adalah penciptaan gaya hidup -life style-. Penciptaan gaya hidup dilakukan dengan melakukan berbagai pencitraan tentang bagaimana setiap manusia idealnya menjalani hidupnya sesuai dengan desain Posmo Kolonialisme-Imperialisme. Teknologi audio visual juga termasuk di dalamnya multimedia dan informatika menjadi media yang digunakan untuk menyebarkan gaya hidup yang tentunya sudah diarahkan untuk membentuk pola konsumsi dan pola produksi dalam kerangka penciptaan pasar baik barang, jasa, modal maupun tenaga kerja. Pada konteks kedua hal tersebut diatas, apa yang diungkap tentang kawat dengan kode referensi Jakarta 0065 yang berisi laporan kepada Kemlu AS, bahwa Kedubes AS Jakarta berhasil menjalankan Public Diplomacy 2.0.; adalah sejalan dengan strategi penggunaan kekuatan teknologi dan ilmu pengetahuan  untuk melakukan social engineering secara halus dan sistematis melalui Sistem Pendidikan dan penciptaan gaya hidup terhadap penduduk di wilayah jajahan. Lebih spesifik, laporan tersebut menyebutkan bahwa Kedubes AS di Indonesia adalah yang terdepan dalam Public Diplomacy 2.0. Selain itu pemerintah AS juga menyatakan adanya keterlibatan para blogger lokal untuk mempromosikan pesan-pesan dan informasi AS. “Mission in the world on Facebook with nearly 50,000 “fans,” and one of the leading Missions using Twitter, YouTube and engaging local bloggers to promote USG messages and information, we are uniquely positioned to use these tools to amplify key topics and themes to support the upcoming visit by President Obama,” demikian ungkap artikel tsb. “We also have our own YouTube channel with over 300 videos, almost 1,000 followers on Twitter, and — for the last two years — engaged positively with thousands of country’s most influential bloggers. Indonesia’s New Media Environment,” tambahnya. Hal ini ternyata diakui oleh blogger senior Enda Nasution ketika dikonfirmasi. Menurut Enda, Kedubes AS sudah mensponsori Pesta Blogger sejak tahun 2008 hingga tahun 2010. Bahkan saat komunitas blogger menggelar roadshow ke 10 kota di Indonesia, perwakilan Kedubes AS selalu hadir. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa media internet memang secara sistematis telah digunakan menjadi bagian dari imperialisme budaya. Sayangnya disadari ataupun tidak, banyak para anak negeri ini khususnya para blogger yang bersedia melacurkan dirinya demi uang dengan menjadi antek kaki-tangan dari kepentingan konspirasi global Posmo Kolonialisme-Imperialisme untuk menghancurkan Indonesia dari dalam. ilustrasi unduh dokumen asli mampir sekadar ngopi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun