Mohon tunggu...
bond 5885
bond 5885 Mohon Tunggu... -

Sarbono pelaksana seksi pelayanan KPP Pratama Bontang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Kami" Telah Berbenah

6 April 2010   05:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:58 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sistem yang kita jalankan sekarang sudah berubah, silahkan untuk tidak mengikuti alur yang sudah terbangun dan beritahu saya jika anda bisa selamat!!”, kata-kata motivasi atau lebih tepatnya wejangan seperti itu sudah diucapkan lama sebelum kasus gayus terungkap. Wejangan demi wejangan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat saya bekerja begitu melekat justru karena beliau menyampaikan dengan bumbu canda, seperti misalnya ketika beliau menyampaikan; “ jangan gara-gara rusak susu si nila, jadi rusak susu sebelahnya”. Dengan kondisi kantor yang didominasi jiwa muda, penyampaian demikian justru akan lebih mengena dalam proses internalisasi nilai yang sedang ditanamkan dan ditumbuhkembangkan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Modernisasi dan reformasi birokrasi di lingkungan Ditjen Pajak sebenarnya telah dipahami oleh para pelakunya sebagai tanggung jawab dan beban moral yang harus dipikul bersama-sama. Program penanaman nilai organisasi dilakukan secara berkesinambungan melalui kegiatan inhoue training atau exchange knowledge, yang oleh KPP tempat saya bekerja dilakukan setiap hari senin sampai dengan Kamis. Dalam perspektif sebagian besar pegawai DJP, kasus yang menimpa Gayus dapat dianalogikan “ketika seseorang membawa ribuan tomatkualitas super dari lahan pertanian ke pasar. Di tempat awal, tomat tumbuh, berkembang, nyaman dan merasakan kesempurnaan namun berpotensi membusuk tanpa ada manfaat yang bisa diambil. Sedangkan di pasar, tomat menemukan tempat dimana dia akan dihargai, diberi nilai dan memberi manfaat dalam kapasitasnya sebagai tomat. Dalam proses perpindahan itu meski dengan kualitas bagus, telah terseleksi dan dikemas untuk mencegah kerusakan tetap tidak menutup kemungkinan tomat tersebut akan membusuk. Celakanya, tomat yang membusuk tidak akan menjadi baik ketika tomat di sekelilingnya tetap pada kondisi semula, yang ada justru kebusukan akan menyebar ke sekitar bila terlambat dalam penanganan”

Jadi, apakah berarti Gayus itu seperti tomat yang membusuk diantara tomat-tomat yang memiliki kualitas bagus?? Jawabannya bisa benar bisa juga salah. Harus diakui, mayoritas pegawai DJP diisi lulusan STAN yang seleksinya sangat ketat dan belum pernah terdengar adanya calo, suap, joki atau kecurangan-kecurangan lain dalam proses penerimaannya. Saya masih sangat yakin kualitas mahasiswa dan penyelenggara pendidikan di STAN. Satu hal lagi, secara internal, penindakan-penindakan yang telah dilakukan Direktorat Kepatuhan Internal dan Sumber Daya (KITSDA) telah memakan banyak ‘korban’. Namun tidak lantas menjadi pembenaran mutlak atas kondisi diatas. Bila dianalogikan terbalik, budaya-budaya buruk yang dulu begitu melekat di kalangan DJP apa sudah benar-benar hilang secara sistem???lantas ciri tomat yang busuk pada diri Gayus apa tidak mempunyai potensi pembusukan bagi lingkungan di sekitarnya??

Secara pribadi, perubahan yang ada di lingkungan Ditjen Pajak telah membuat kebahagiaan lahir batin. Saya menyebut sebagai perubahan peradaban dari jaman jahiliyyah. Hal tersebut menumbuhkan kebanggan, kebanggaan yang telah melahirkan motivasi-motivasi baru di benak saya dan saya yakini juga rekan-rekan di sekitar tempat saya bekerja. Kebanggaan itu telah saya wujudkan dalam sebuah tulisan yang termuat dalam buku berbagi kisah dan harapan : berkah modernisasi. Dalam tulisan berjudul ‘saya (bangga menjadi) orang pajak’ yang saya buat bulan September 2009, saya mengungkapkan tentang rasa syukur tentang perbaikan budaya kerja, penanaman nilai organisasi, penguatan integritas dan yang pasti materi yang relatif cukup. Berpindah-pindah rumah kontrakan dan berangkat ke kantor naik sepeda motor sudah membuatku sangat bersyukur.

Bila sekarang ada yang mendiskreditkan, memojokkan atau mungkin menghujat pajak dan penyelenggaranya, mungkin saya orang yang paling sakit hati. Ingatan melayang ke belakang tentang sosok-sosok hebat yang mengajarkan tentang arti kerja keras, tanggung jawab, integritas dan semangat hidup yang saya dapatkan dari pegawai pajak yang belum merasakan gaji besar. Saya tidak akan bercerita tentang kesedihan yang mengharu biru, mengemis simpati, mengharap belas kasihan apalagi pembenaran dari apa yang telah, sedang dan akan terjadi di instansi yang saat ini sedang dalam status ‘guilty’. Bisa jadi, pemberitaan (dengan bumbu sensasi) tentang gaji minimal 12 juta, gaya hidup mewah dan punya segalanya akan menutupi bahwa masih ada ribuan pegawai DJP dengan moral dan integritas baik. Masih segar dalam ingatan saya, tahun 2005 seorang bapak dengan jabatan kepala seksi penagihan, setiap pagi naik motor dinas Yamaha L2Super datang ke kantor dengan senyuman. Setiap pagi saya jabat tangan beliau dan merasakan telapak tangan kasar, yang saya ketahui di kemudian hari ternyata setiap pulang kantor beliau bersawah, dan beliau menyebutnya olahraga.

“Ah, itu kan hanya satu??”, “itu contoh dan tidak mewakili….”, “lantas bagaimana yang tinggal di rumah mewah, punya kendaraan mewah dan kekayaan melimpah??”. Silahkan memberi penilaian semua kembali pada anda, yang pasti pandangan publik telah beramai-ramai tergiring pada opini utama bahwa pegawai pajak=Gayus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun