Semangat postmodern yang digaungkan sejak abad 20 hingga saat ini sungguh dipengaruhi oleh situasi perang dunia II atau pasca perang dunia II sebagai titik tolak ajarannya dengan aneka pergolakan dan peperangan yang terjadi pada masa itu.Â
Dimana situasi masa itu lebih bertumpu pada narasi besar atau grand narratives yang kalau ditelurusi lebih jauh dan dalam perannya tidak bisa sepenuhnya dipakai pada semua situasi pada masa itu sehingga muncul aneka penolakan yang terjadi masa itu.Â
Hal ini sekaligus semakin mengaitkan pikiran dan kerangka pikir kita dengan aneka ajaran filsafat modern yang mendahului postmodern sehingga sembari kita mengetahui keduanya pemikiran kita makin terkoneksi dan mengetahui dengan cukup jelas akan latar belakang dan proses lahirnya dan peralihan antara masa modern ke postmodern dengan aneka ajaran dan filsuf yang saling bertolak belakang antara masa modern dan postmodern.
Ajaran yang bertolak belakang inilah yang menunjukkan bahwa postmodern sebagai jalan pembaharuan bagi aneka ajaran yang terlalu kaku dan memaksa saat dihadapkan dengan realitas dengan alasan bahwa keselarasan, ketertiban, dan kerterjaminan hidup masyarakat itu dapat secara universal sama, padahal tiap kehidupan masyarakat memiliki konteks dan situasi yang berbeda.Â
Maka, saya ingin membagikan apa yang saya peroleh dan refleksikan secara khusus berkenaan dengan pembahasan filsuf Jean-Francois Lyotard yang sungguh menekankan adanya penerimaan akan keserbaragaman, pluralitas, lokalitas, imanen, dan lain sebagainya sehingga pembaharuan mesti dilakukan akan suatu pemahaman dan pengajaran yang absolut dengan mempertanyakan dan mengkritisi ajaran yang sudah ada untuk menciptakan ajaran baru yang lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan masyarakat sehingga hak dan kewajiban mereka terpenuhi dengan aneka usaha yang dilakukan oleh pemimpin. Refleksi ini akan saya bagi dalam tiga poin, yakni terbuka akan keserbaragaman, relevansi "dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", dan closing statement "penting bagi kita untuk memahami realitas bukannya justru memaksakan realitas".
Terbuka akan Keserbaragaman. Lyotard dengan ajaran pokok mengenai penolakan akan metanarasi menunjukkan bahwa metanarasi yang diyakini sebagai satu-satunya kebenaran mutlak yang mesti diikuti dan diterima itu ternyata sebuah pemaksaan berlaku secara universal yang nampak dari tidak sepenuhnya terjawab persoalan masyarakat pada masa itu. Hal ini dikarenakan tidak ada sebenarnya kebenaran yang bersifat tunggal sehingga perlu tumbuh kesadaran dan pembaharuan pola pikir bahwa pandangan kebenaran yang lain juga mesti dilihat, dikaji, dan dibandingkan bersama untuk menemukan kebenara yang otentik pada masa postmodern.Â
Kesadaran yang tumbuh ini membuat Lyotard menolak adanya metanarasi dengan mengeluarkan ajaran mengenai cerita-cerita kecil (mininarasi) yang menekankan pada pluralitas narasi yang berarti menerima akan adanya keserbaragaman pandangan dengan menyesuaikan konteks, terjadi kesederajatan kedudukan akan aneka cerita yang terbit tersebut karena tidak ada yang mendominasi melainkan saling mempengaruhi dan melengkapi, dan legitimasi cerita kecil itu bersifat lokal dan imanen yang berarti menjawab atau tertuju pada konteks masyarakat tertentu sehingga arah dan tujuannya makin jelas.Â
Hal inilah yang saya sadari juga terjadi dalam pihak Gereja dengan semangat aggiornamento yang digaungkan oleh Paus Yohanes XXIII. Hal ini nampak dari pembaharuan yang dilakukan oleh Gereja dengan Konsili Vatikan II yang berusaha terbuka akan situasi zaman, menyesuaikan dengan situasi zaman, dan menyesuaikan dengan konteks masyarakat yang nampak dari semangat inklusivitas dan inkulturasi dalam Gereja untuk menumbuhkan iman umat dan pastoral Gereja.Â
Semangat ini kiranya mempengaruhi kehidupan meng-Gereja secara menyeluruh dengan suasana baru nan lebih segar yang secara eksplisit nampak dalam liturgi Gereja yang awalnya hanya berfokus pada imam dan altar dan keterlibatan umat itu kurang diperhatikan dalam semangat kebaruan Gereja inilah mulai diperhatikan partisipasi umat, relasi dalam kebersamaan di luar lingkup Gereja, penggunaan bahasa liturgis yang mulai disesuaikan dengan bahasa setempat atau lokal yang tetap dengan persetujuan otoritas Gereja, lagu-lagu Gereja yang lebih variatif dengan memadukan gaya lokal atau setempat yang nampak dalam lagu-lagu inkulturasi, dan keyakinan bahwa inkulturasi itu ada bagian dari kerja Roh Kudus.
Maka, saya menyadari dan merefleksikan bahwa kesediaan untuk terbuka akan keserbaragaman akan semakin memperkaya wawasan, pengetahuan, dan cara pandang saya akan suatu hal atau pengetahuan karena saya meyakini bahwa satu topik pembahasan dapat dikaji dari aneka sudut pandang sesuai dengan minat dan bakat seseorang yang pastinya khas pikiran masing-masing.Â
Hal inilah yang membuat teori ini relevan di masa sekarang ini dengan aneka macam ilmu pengetahuan yang muncul dan lahir dengan kesadaran bahwa saya terbuka akan kemunculan itu sembari mengkaji dan menganalisis terlebih dahulu akan pengetahuan tersebut apakah sudah terbukti kebenarannya, apakah berguna untuk saya pakai dan terapkan dalam hidup saya, dan apakah teori yang ada membantu dalam menjawab persoalan yang ada.