Pendahuluan
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar sudah memiliki hukum yang resmi sejak kemerdekaannya untuk mengatur seluruh masyarakat Indonesia dan secara tidak langsung mengikat masyarakat itu sendiri sehingga harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hukum yang mesti dipatuhi ini dilaksanakan dan dibuat oleh pemerintah yang adalah wakil rakyat dengan harapan dapat menyejahterakan dan mendengarkan aspirasi masyarakat Indonesia dan bukan hanya pihak tertentu yang diuntungkan oleh hukum itu melainkan seluruh masyarakat Indonesia dapat merasakan manfaat dari hukum itu. Indonesia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi dengan semangat dari, oleh, dan untuk rakyat [1] mesti terus dijaga dan diupayakan oleh para pejabat pemerintah sehingga rakyat pun sungguh dilibatkan dalam pemerintahan itu sendiri.Â
Hukum yang sudah resmi berlaku di Indonesia itu secara umum terangkum dalam UUD 1945. Tentunya, seluruh isi hukum di Indonesia terangkum dalam UUD 1945 sebagai dasar dan patokan bagi hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun, pembahasan kali ini akan lebih spesifik berkenaan dengan UUD 1945 pasal 28D ayat 1 "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". Hal ini dikarenakan ada sesuatu hal yang hendak dicapai dari pembuatan hukum itu yang harus sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia. Adapun, penegakan hukum di Indonesia ini dilakukan oleh kejaksaan, kepolisian, dan Lembaga Yudikatif (MA, MK, dan KY). Beberapa Lembaga pemerintah inilah yang mengatur atau menganimasi terlaksananya hukum itu dalam negara Indonesia ini.
Namun, kenyataannya ada pihak penegak hukum yang objektif dan subjektif dalam mengambil keputusan terhadap pelanggaran hukum itu sendiri. Keputusan objektif berarti berdasarkan hukum yang berlaku dengan melihat perkara secara keseluruhan. Sedangkan, keputusan subjektif berdasarkan pihak mana yang dominan dan lebih menguntungkan dari perkara tersebut. Kedua putusan ini sudah lazim di Indonesia dengan aneka kasus hukum di dalamnya. Hal ini yang membuat keputusan dalam hukum itu sungguh dipengaruhi oleh penegak hukum itu sendiri sebab merekalah ujung tombak penegakan hukum di Indonesia dengan landasan pada hukum yang berlaku di Indonesia. Tentunya, keputusan yang mereka ambil sah walaupun ada dalil atau kejanggalan dalam putusan tersebut. Walaupun demikian, tidak jarang keputusan dari penegak hukum itu sungguh bijak dan objektif tanpa ada keberpihakan di dalamnya sehingga tujuan dari hukum itu sendiri dapat tercapai di dalamnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pembentukan hukum itu sendiri untuk mengayomi, melindungi, dan menertibkan seluruh kehidupan masyarakat bukannya malah ajang untuk bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang miskin dan lemah sehingga menciderai keadilan masyarakat dan hilangnya keadilan substansial dari hukum itu sendiri (Setyanegara, 2013). Untuk itu, penulis melalui artikel ini akan membahas tentang pelaksanaan hukum di Indonesia yang terkadang dikenal dengan istilah "tumpul ke atas dan tajam ke bawah".
PembahasanÂ
Definisi dari Hukum
 Hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasan atau pemerintah. Selain itu, ada banyak definisi hukum dari para ahli dan keilmuan lain. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat (Soerojo Wignjodipoero, 1974:13). Dari definisi ini nampak sekali bahwa hukum adalah aneka peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Selain itu, hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yakni dengan hukuman yang tertentu (Simorangkir, 1962:6).[2] Artinya, pelanggar hukum itu akan dikenai hukuman atau sanksi yang sudah disepakati atau tercantum dalam hukum yang berlaku.Â
 Setiap sanksi atau hukuman yang diberikan bagi pelanggar hukum itu diputuskan oleh pihak pengadilan sebagai penegak hukum yang resmi dengan menjunjung nilai keadilan di dalamnya sehingga apa yang telah diputuskan itu sebanding dengan apa yang dilanggar. Bukannya malah, berbanding terbalik antara apa yang diputuskan dengan yang dilanggar. Hal ini dapat terjadi apabila adanya pengaruh pihak yang kuat menguasai pihak yang lemah sehingga keputusan itu akan lebih berpihak pada pihak yang kuat dan mengesampingkan pihak yang lemah. Keputusan seperti inilah yang disebut sebagai keputusan yang dapat menciderai keadilan masyarakat dan hilangnya keadilan substansial dari hukum itu sendiri. Padahal, keadilan itu mesti diwujudkan dalam lingkungan negara oleh negara terhadap warga negara, warga negara terhadap negara, dan antar sesama warga negara untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bangsa yang dalam arti spiritual ialah kebahagiaan hidup. [3]
 Keadilan Substansial dan Keadilan Prosedural  Â
 Keadilan substansial itu sendiri berarti keadilan terkait dengan isi putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim). Sedangkan, keadilan prosedural adalah keadilan terkait dengan perlindungan hak-hak hukum para pihak penggugat/tergugat/pihak yang berkepentingan dalam setiap tahapan proses acara di pengadilan (Syamsudin, 2014). [4] Adapun, pelaksanaan hukum yang semena-mena dapat menjadikan hukum itu bertindak tanpa nurani yang diibaratkan pisau yang hanya tajam ke bawah dan sangat tumpul ke atas. [5]
Kebanyakan dari keputusan hakim mengedepankan keadilan prosedural daripada keadilan substansial yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: adanya perilaku korupsi dan kolusi yang nampak dari adanya transaksi uang, kekuasaan, dan lain sebagainya di dalam putusan itu, kecenderungan bukan mencari keadilan melainkan kemenangan sehingga segala upaya dilakukan, advokat yang licik atau cerdas, penegakan hukum menjadi komoditas politik, dan hakim menempatkan diri sebagai corong undang-undang (Anwar, 2010). [6] Hal ini yang membuat keputusan itu diambil bukan secara objektif melainkan subjektif tergantung pada pihak mana yang dominan dan memiliki kuasa. Ketergantungan inilah yang membuat pihak yang miskin atau minoritas akan dengan sendirinya tersingkir walaupun sejatinya merekalah yang memiliki kebenaran serta memiliki aneka bukti yang lengkap yang mampu mengafirmasi kebenaran yang dimiliki. Dengan gambaran seperti ini, penulis melihat bahwa hukum itu memang bersifat memaksa dan mengikat, namun nyatanya pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia bisa saja dipermainkan dan dipaksa supaya memihak pada salah satu pihak saja.