Seminari bukanlah sebuah nama yang asing dalam lingkungan hidup umat Kristiani. Fakta historis tentang seminari mulai terbentuk sejak abad 16 berdasarkan dekrit Konsili Trente. Seminari dapat dipahami sebagai tempat persemaian yang dipersiapkan Gereja bagi pembentukan diri para calon imam.  Per 2016, jumlah seminari yang terbentuk di seluruh dunia berjumlah sekitar 6.974 dengan  3.194 merupakan seminari Diosesan dan 3.780 merupakan seminari religius. Angka kuantitatif ini tentu merupakan sebuah harapan bersama akan lahirnya banyak imam dalam pelayanan misi Kristus di tengah dunia yang hidup dalam keterlukaan yang kompleks. Di sisi lain, kualitas para seminaris tentu perlu dibentuk dan dibekali dari waktu ke waktu agar mutu pelayanan Gereja  dapat terwujud dalam diri para imam yang mengumat, rendah hati, suri teladan dan bijak yang ditahbiskan bagi Allah.Â
Seminari mendapat tempat yang istimewa karena kualitas dan mutu pembentukan diri manusia yang luar biasa. Di kalangan umat Katolik, konsep seminari seolah memiliki kekuatan magis. Kekuatan magis nampak dalam sejumlah gagasan pandangan umat tentang seminari sebagai lembaga pendidikan yang sulit karena melewati tahap seleksi masuk yang ketat, aturan harian yang terprogram jelas hingga penilaian terhadap seminaris yang berlangsung dari waktu ke waktu untuk melihat keseriusan seminaris dalam menghayati hidup bersama dengan program yang ada.Â
Pada dasarnya, seminari-seminari yang ada baik lokal maupun global, memiliki budaya dan regulasi yang berbeda. Dalam hal ini, penulis secara khusus berbicara tentang biaya administrasi dalam lingkungan pendidikan seminari. Pengalaman historis sebagai anak seminari penulis lewati selama 4 tahun dengan biaya administrasi 100% dari orang tua dan keluarga. Seminari sebagai ladang persemaian para calon imam dalam hal cukup kontradiktoris. Persoalan ini muncul dari makna dan konsep seminari sebagai lembaga pembentukkan para calon imam Gereja dengan tanggung jawab tunggal orang tua sebagai pihak yang memiliki anak yang menjadi Seminaris. Persoalan lain muncul karena Gereja seolah menjadi pasar bisnis yang menyiapkan produk-produk andalan seperti ilmu pengetahuan, gaya hidup berasrama dengan program kerja yang jelas, kehidupan rohani dan jasmani yang terkontrol, proses seleksi yang ketat dan pembentukkan kualitas diri Seminaris yang berlangsung dari hari ke hari secara konsisten dan efektif. Â Di sisi lain, umat seolah lepas tangan dengan kelangsungan hidup Seminari dan tokoh netral dengan membentuk sikap apatis terhadap kelangsungan hidup para calon imam selama proses pembentukan di Seminari. Kerelaan orang tua untuk mempersembahkan anak mereka sebagai pelayan Gereja dan umat Allah pada akhirnya dibayar dengan rasa bangga yang luar biasa.Â
Situasi faktual ini kemudian ditemukan berbeda ketika penulis berada di  SMP Seminari SYV Saumlaki. Seminari sebagai lembaga pendidikan pembentukkan calon imam tidak berjalan sendirian. Umat berpartisipasi aktif dalam kelangsungan hidup para seminaris Setiap Paroki menggerakkan umat untuk senantiasa memberikan sumbangan baik uang maupun persediaan makanan. Masing-masing Paroki secara bergilir memberikan sumbangan mereka dengan memberikan tanggung jawab kepada tiap-tiap rukun (dalam konsep yang lebih resmi disebut Komunitas Umat Basis-KUB). Kebiasaan positif ini hemat penulis berbanding lurus dengan definisi Seminari sebagai ladang persemaian benih-benih panggilan menjadi imam. Seminaris yang ada dan terpanggil menjadi imam akan membaktikan seluruh hidupnya untuk melayani karya misi Gereja dan kebutuhan hidup iman umat. Keluarga mempersembahkan anak-anak mereka untuk bekerja di ladang Tuhan dan menggembalakan umat. Partisipasi Umat Gereja dalam seluruh proses pembentukan seminaris (calon imam) perlu dilihat sebagai upaya positif menjaga kesuburan panggilan menjadi gembala-gembala umat di masa depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H