Menjelang akhir bulan September 2024, SMP Seminari SYV Saumlaki dilingkungi situasi yang sedikit berbeda dari biasanya. Situasi ini sebetulnya sudah tercium sejak sepekan terkahir. Para guru sedikit disibukkan dengan persiapan akreditasi sekolah. Tentu saja ada perasaan was-was, cemas, gugup, seolah sedang berada pada situasi akan dihantar kepada penghakiman. Secara pribadi, saya tentu masih sangat awam untuk berurusan dengan hal-hal seperti ini.Â
Tim Asesor tiba di Sekolah pada 26 September 2024 dan dijemput dengan pengalungan dan tarian budaya yang disuguhkan oleh siswa-siswi SMP Seminari SYV Saumlaki. Tarian budaya yang bernama Tarian Colosal dibawakan dengan baik dan berkesan estetik. Siswa-siswi yang menjadi penari dilatih secara serius dengan memanfaatkan waktu khusus di luar jam pelajaran aktif sekolah.Â
 Ketika kemudian saya melihat, mengalami dan terlibat dalam proses akreditasi secara penuh, timbul beberapa pertanyaan substansial: Seberapa penting konsep akreditasi dilaksanakan terhadap laju pertumbuhan  pendidikan di negeri ini? Apa tujuan paling fundamental dari proses akreditasi? Mungkinkah akreditasi sekolah bernilai obyektif, faktual, jujur, kredibel, tidak ditumpangi isu-isu politik dan kepentingan-kepentingan individu dan kelompok?Â
Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi adalah sebuah keraguan akademis atas konsep akreditasi. Akreditasi sekolah kini memasuki tahap ke-IV terhitung sejak 2020. Fase awal/pertama akreditasi dimulai pada tahun 1975-1996, Fase II pada 1997-2008 dan fase III pada 2009-2019. Proses akreditasi berada di bawah tanggung jawab Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M).Â
Akreditasi dapat dipahami sebagai upaya memberi penilaian terhadap kualitas sekolah. Penilaian itu dimaksudkan untuk melihat kelayakan sebuah sekolah menjadi sebuah lembaga pendidikan. Ini agak sedikit aneh. Keanehan ini akan muncul dalam situasi faktual bangsa ini. Fakta bahwa masih banyak daerah-daerah pelosok yang belum tersentuh kemajuan, infrastruktur jalan, perpustakaan, listrik dan Sedikitnya jaringan seluler yang semuanya memberi kemungkinan bagi akses pendidikan yang layak. Bagaimana proses akreditasi untuk sekolah-sekolah yang beralaskan tanah dan bernaung di balik pelepah-pelepah bambu sebagai dinding sekolah? Bagaimana proses asesmen nasional untuk peserta didik pada wilayah tanpa jangkauan jaringan?Â
Masing-masing daerah akan mengirim hasil penilaian terhadap setiap sekolah  yang diakreditasi, ke Pusat. Dari pusat, penilaian akan diberikan kepada setiap sekolah, seperti Juri di hadapan peserta lomba.Â
Akreditasi tentu perlu untuk melihat pertumbuahn dan kemajuan sekolah. Menurut hemat saya, akreditasi mesti tidak berhenti pada konsep menilai dan menjudgement. Akreditasi mesti bermuara pada terbentuknya kerja sama antara sekolah dengan pemerintah untuk bersama-sama membantu membenahi kekurangan sekolah. Akreditasi sekolah mesti terbuka terhadap publik dan mendorong semua pihak terutama stakeholder untuk membenahi faktor-faktor pendukung terciptanya lingkungan sekolah yang maju dan berkualitas. Pendidikan tidak dapat bergerak sendiri tanpa campur tangan senua pihak. Sudah saatnya kita berjalan bersama menata jalanya pendidikan yang mampu memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan akan dilihat sebagai sebuah tanggung jawab kolektif bangsa ini demi terbentuknya cita-cita Mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H