Mohon tunggu...
Bonar Hamari
Bonar Hamari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi Memetik Angin dan Matahari untuk Indonesia

3 Juli 2018   09:54 Diperbarui: 3 Juli 2018   10:13 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: tribunnews.com

By Eko Kuntadhi

Bulan lalu saya berkesempatan ke Kabupaten Pangkep, melipir sebentar ke pulau Saugi. Di pulau berpenduduk sekitar 100 KK itu, saya menyaksikan pengoperasian sebuah pembangkit listrik tenaga matahari. Panel surya dipasangkan, energi disimpan dalam batere, lalu listriknya dialiri ke seluruh rumah penduduk.

Tadinya penduduk disana menggunakan genset untuk menerangi rumahnya. Mereka urunan membayar Rp 4 ribu semalam dengan nyala lampur dari pukul 6 sore sampai pukul 12 malam. Kini lampu bisa menyala dari pukul 6 sampai pagi. Biayanya hanya Rp20 ribu sebulan. Pengelolaan pembangkit listrik itu diserahkan pada musyawarah warga.

Model yang sama juga saya saksikan di desa Amdui, Raja Ampat, Papua Barat. Sebuah Desa kepulauan berpenduduk sekitar 80 KK. Desa yang sebelumnya hanya mengandalkan getah damar untuk menerangan kini sudah bisa menikmati malam dengan cahaya yang cukup.

Pemerintahan Jokowi memang bermaksud meningkatkan ketersambungan listrik untuk seluruh masyarakat. Karena Indonesia terdiri dari banyak pulau butuh waktu bagi PLN untuk menarik kabel. Apalagi di pulau-pulau kecil. Solusinya dengan cara membangun pembangkit di tiap desa terpencil tersebut.

Bayangkan jika PLN harus menarik kabel melalui laut, berapa biayanya? Atau menyambungkan kabel ke wilayah terpencil yang hanya dihuni oleh beberapa KK. Solusinya ya, dengan membangun pembangkit kecil di wilayah tersebut.

Pada desa terpencil lain panel surya kecil dipasangkan per rumah. Ini dilakukan misalnya di Wai Ngapan, Kabupaten Buru Selatan atau di desa Soritatanga, NTB. Targetnya 2500 desa terpencil di seluruh Indonesia yang selama ini belum tersentuh listrik bisa menjadi terang. Pemerintahan Jokowi menargetkan rasio elektrifikasi mencapai 98% di seluruh Indonesia.

Bisa saja target itu ditempuh dengan cara mudah, misalnya dengan membangun pembangkit tenaga minyak. Tapi langkah ini sama saja menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru. Harga minyak dan ketersediaannya yang sulit bagi penduduk terpencil akan menjadi penghambat.

Pemerintah justru memilih jalan yang lebih repot dengan mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan. Sinar matahari yang berlimpah di negeri ini dimanfaatkan dengan baik. Begitupun dengan angin, panas bumi atau uap.

Di Sidrap, Sulawesi Selatan baru-baru ini Presiden Jokowi meresmikan proyek pembangkit listrik tenaga angin. Ada tiga puluh kincir angin raksasa yang dioperasikan. Proyek PLTB Sidrap I ini akan disusul oleh PLTB Sidrap II. pembangkit listrik tenaga angin juga dibangun di Janeponto, Sulsel dan di Tanah Laut, Kalimantan Selatan.

Saya pernah mengunjungi areal PLTB Sidrap beberapa bulan lalu. Menyaksikan pekerja yang sibuk menyatukan berbagai perangkat raksasa. Kincir angin dan turbin diangkut dari pelabuhan Makasar melewati jalan kemudian dirakit di lokasi. Proses pengakutannya sudah ribet. Armada berbada besar berisi perangkat raksasa itu harus melalui jalan yang berkelok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun