Okay, I really didn't see this coming.
Ketika terbangun suatu pagi, aku mendapati sebuah pesan singkat dari seorang kawan. Kawan baik, tentunya. Kami sudah menjalin persahabatan sejak sekolah menengah pertama dan kini sama-sama menempuh pendidikan S2. Pesannya itu cukup dalam. “Teman, kalau aku pindah kota, kamu akan sedih tidak? Tentunya aku berharap jawabanmu iya, hehe.”
Bukannya kami tidak pernah terpisah jauh. Sejak lulus dari sekolah menengah pertama 10 tahun yang lalu, kami pun sudah tidak pernah lagi duduk menuntut ilmu di tempat yang sama. Dua tahun lalu pun ia pergi ke negeri matahari terbit selama satu tahun untuk mendalami ilmu yang telah dipelajarinya semasa kuliah. Tentunya selama kurun waktu itu aku tidak pernah bertemu dengannya.
Namun ketika memikirkan bahwa dia akan resmi pindah ke kota lain, aku jadi termenung juga. “Kamu mau dibawa sama siapa, ke mana?”, tanyaku dingin dalam balasan SMS. “Siapa bilang aku mau diboyong orang? Aku mau pergi aja.” Jawabnya tak kalah menyengit. “Emang kalau diboyong orang, kenapa?” lanjutnya. Ya tidak apa-apa juga sih, pikirku. Hanya saja lebih terdengar keren jika pergi dengan kemauan sendiri ketimbang “terpaksa” ikut pasangan. Bukan berarti ini buruk juga, aku sendiri seumur hidup berpindah-pindah tempat tinggal karena mengikuti pekerjaan ayahku. Aku jadi terbayang bagaimana perasaan ibuku hidup dalam rantauan. Tapi nyatanya ibuku baik-baik saja dan justru menjalani hidup dengan penuh semangat karena merasa setiap hari adalah petualangan.
Pertanyaan menggelitik kembali menghampiriku. Kenapa pindah kota? Kita sudah hidup di ibukota negara, kota yang menawarkan kesempatan paling menggiurkan untuk melakukan dan mendapatkan apa pun yang kita inginkan. Ingin menuntut ilmu, berkarier, berbisnis, bahkan untuk sekedar mencari tempat hiburan terbaik. Kenapa harus pindah ke kota lain? Kenapa tidak sekalian saja pindah ke luar negeri? “Pindah negara.. Belum ada kesempatan. Lagipula, nggak dulu lah. Aku pingin melahirkan dan membesarkan anak di Indonesia”, jawabnya. Aku keukeuh mengingatkannya bahwa aku sendiri besar di luar negeri, dan itu menjadi pengalaman luar biasa untukku dan adik-adikku. Kenapa sampai ada orang yang tidak ingin seperti itu? Aku tidak habis pikir. “Insya Allah, pengalaman baik nggak cuma ada di luar..” jawabnya lagi. Aku masih tetap melongo membaca tanggapannya. She really doesn’t know what she’s missing, pikirku gemas.
Lalu dia menyebutkan tempat-tempat dan pulau-pulau yang ingin ia kunjungi. Semua pernah aku datangi dan hanya membuatku gerah ingin segera “pulang” ke tanah Jawa. Aku menyebutkan bagaimana keadaan di kota-kota itu. Wajar kalau hanya untuk berlibur, itu pasti menyenangkan. Tapi untuk pindah dan tinggal seterusnya di sana? Ia kembali menjawab, “Aku ingin menjelajah Indonesia. Aku ‘kan belum pernah ke pulau-pulau lain. Anggap saja tempat baru, pengalaman baru, hidup baru.”
Jawabannya kembali membuatku termenung. Semua nilai-nilai tentang kesuksesan dan kebahagiaan yang aku anut selama ini diuji dengan beberapa buah kalimat dari sahabatku sendiri, orang yang selama ini aku pikir sangat aku mengerti. Aku menulis ini juga sambil terus berpikir, apa aku yang salah selama ini? Tapi memangnya ada di antara kami yang salah? Atau saja, memang setiap orang berbeda-beda?
Akhirnya aku menutup renungan hari ini dengan sebuah kalimat sederhana yang sungguh teramat menohok setiap kali aku pikirkan kembali.
Who am I to judge someone else’s happiness?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H