Mohon tunggu...
BonangBarung .
BonangBarung . Mohon Tunggu... -

There's more about Indonesia than meets the eye!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gamelan Segera Diklaim! Salah Negara Lainkah?

23 September 2010   11:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:01 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini saya bertemu pelatih gamelan saya ketika SMA. Sudah lama kami tidak berjumpa, kurang lebih 5 tahun sejak saya lulus dari sekolah. Kaget juga karena beliau masih ingat nama saya. Padahal pelatih gamelan saya ini, Pak G, sudah lumayan berumur. Saya tidak tahu pasti usianya kini berapa, tapi saya ingat ketika saya kelas 1 SMA beliau selalu datang untuk melatih kami setiap hari Jumat siang dengan masih menggunakan seragam guru tempatnya mengajar. Namun ketika saya kelas 2 atau 3, beliau sudah tidak lagi berseragam karena sudah pensiun. Kalau saya hitung-hitung.. Berarti kini beliau sudah berusia sekitar 65 atau 66 tahun. Sejak saat itu Pak G mengisi waktunya dengan melatih gamelan di berbagai sekolah. Padahal anak-anaknya sendiri sudah menjadi orang-orang besar, salah satunya menjadi dokter bedah jantung dan kepala unit rumah sakit negeri di wilayah Salemba. Secara finansial, beliau pastinya sudah tidak terlalu memusingkan. Yang juga berarti beliau melatih gamelan memang karena murni mencintai kesenian asal Jawa tersebut. Ohya, setelah saya pikir-pikir kembali.. Sepertinya Pak G menjadi guru juga karena mencintai kegiatan mengajar. Karena beliau pernah bercerita, ketika sekolah dulu nilai-nilainya selalu cemerlang, bahkan di ijazah kelulusan sekolah nilai matematikanya bulat 10. Berarti Pak G sebetulnya bisa menjadi apa pun yang dia mau, karena dia memiliki kemampuan. Bahkan bahasa Inggrisnya juga bagus dan sering menjadi juru bicara saat pengiriman tim gamelan ke luar negeri. Tapi Pak G memilih untuk menjadi pendidik, yang pastinya dibayar tak seberapa. Sesuatu yang sangat mulia bukan? Pak G kini melatih tim gamelan di 38 sekolah di DKI Jakarta, di sebuah universitas di wilayah Semanggi, dan bahkan di institut kesenian terkenal di wilayah Cikini. Coba bayangkan saja bagaimana beliau membagi waktu! Lelah, pastinya. Namun wajah beliau ketika bercerita sungguh bersinar-sinar, bangga dan bahagia melihat semakin banyak generasi muda yang mengapresiasi kesenian tradisional bangsanya sendiri. Suatu hal yang perlu kita simpan untuk mendengar kisah berikut ini. Pada kesempatan hari ini, Pak G bercerita bahwa beberapa waktu silam beliau baru saja diajak Pak A, seorang pakar pendidikan negeri ini untuk menemui atase kebudayaan negeri tetangga. Di acara santap malam santai tersebut, Pak G disodorkan sebuah draft. Isinya, Pak G mendapatkan tawaran mendapatkan rumah beserta segala fasilitasnya termasuk listrik dll, juga mobil, asal Pak G mau mengajar gamelan di negaranya tersebut. Beliau tinggal tanda tangan. Ohya, dan juga Pak G akan mendapatkan uang bayaran sebesar 3000 ringgit per bulan, bersih. Kini sudah bisa menebak negara mana yang menawarkan Pak G proposal menggiurkan ini? Pak G tidak menceritakan bagaimana beliau menanggapi tawaran ini, namun beliau berkisah bahwa setelah pertemuan itu Pak A hanya melambaikan tangan di depannya sembari berkata “Hehh.. Kita ini sudah tua. Apa lagi yang mau dicari? Uang? Buat apa jauh-jauh ke negara seberang, di sini juga bisa dicari kok. Lagipula kalau Pak G pergi, siapa lagi yang mau memegang gamelan di DKI Jakarta?”. Saya tersenyum mendengar ini, bersyukur karena Pak G tidak jadi mengambil tawaran tersebut. Beberapa minggu setelah itu, Pak G bercerita bahwa tiba-tiba beliau mendapatkan 3 mobil mewah. Saya tidak tau persisnya, apakah beliau membeli sendiri atau diberi, namun beliau berkata bahwa itu didapatkannya dari hasil mengajar gamelan. Beliau terbahak-bahak saat bercerita “Saya sendiri buat apa begituan! Yaudah langsung saja saya kasih ke anak-anak saya. Kan anak saya ada 3, yaudah saya kasih, satu, satu, satu”. Setelah kejadian itu Pak G berkesempatan bertemu kembali dengan Pak A. Komentar Pak A? “Tuh kan. Saya saja.. Cape-cape mikir.. (sembari menunjuk pelipis) Paling mentok cuma dapat 7 juta. Sampaean, hanya modal ning-nong ning-nong, tau-tau mobil datang sendiri”. Saya ngakak mendengar ini! Saya mengenal persis selera humor Pak A, dan Pak G juga merasa terhormat “dipuji” Pak A seperti itu. Cerita selanjutnya.. Beberapa waktu lalu Pak G diminta untuk memesan 1 set gamelan untuk sekolah tempat beliau melatih. Beliau biasanya memesan di daerah Surakarta, pusat pengrajin gamelan. Ketika Pak G memesan, secara mengejutkan beliau ditolak! Padahal tempat tersebut tempat langganannya selama bertahun-tahun. Ternyata, mereka menolak bukan karena tidak mau, namun karena tidak mampu. Mereka, dan mungkin juga pengrajin-pengrajin lain di sekitarnya, telah meneken (menandatangani) kontrak dengan pihak negeri tetangga (masih sama dengan yang menawarkan Pak G untuk melatih) untuk memproduksi set gamelan dengan jumlah yang baru bisa selesai sekitar tahun 2015. Coba bayangkan jumlahnya sebanyak apa!!! Memang, 1 set gamelan saja baru bisa selesai berbulan-bulan, namun harganya juga mencapai ratusan juta rupiah karena tidak bisa dibuat sembarangan. Informasi yang didapat, mereka membutuhkan sebanyak itu untuk menyuplai ratusan (atau bahkan ribuan) sekolah di negeri tersebut. Karena.. Secara lebih mengejutkan lagi, mereka telah menjadikan gamelan bukan hanya sebagai kegiatan ekstrakurikuler seperti halnya sekolah di Jakarta, namun sudah dimasukkan ke dalam kurikulum dan menjadi mata pelajaran utama! Pak G berkata bahwa program ini baru untuk sekolah dasar saja. Namun saya berkomentar, bukankah justru semakin belia seseorang belajar suatu hal, semakin kokoh hal tersebut menempel di dirinya. Pak G menghitung, kelas 1..2..3.. hingga kelas 6 SD. Betapa kuatnya kesenian tersebut akan menempel di saudara-saudara serumpun kita itu. Ketika saya saja baru bisa lancar memainkan nada-nada dasar gamelan ketika jenjang SMA, anak-anak kecil di negeri sebelah sudah bisa bermain dengan jauh lebih jago dan kompleks dari saya. PINTAR, memang. Mereka tidak pernah mengklaim bahwa gamelan Jawa milik mereka. Belum, mungkin. Karena ketika saatnya nanti kesenian tersebut telah mendarah daging di diri mereka, dikenal di seluruh dunia, secara otomatis mereka, dan juga dunia, akan mengakuinya. Pak G mengutip Pak A yang berkata, “Kita jangan kaget kalau nanti tahun 2015 Eropa tidak perlu lagi jauh-jauh datang ke tanah Jawa untuk belajar gamelan. Cukup ke negeri tetangga itu saja, semua orang juga sudah bisa”. Tentunya ada banyak lagi orang-orang lainnya seperti Pak G, para ahli kesenian bangsa ini yang memiliki keahlian bermain gamelan yang lantas ditawari melatih di negeri tersebut. Bayangkan berapa banyak dana yang pemerintah mereka habiskan untuk menopang program yang telah berjalan 2 tahun ini. Betapa serius usaha mereka bergotong royong merealisasikan usaha ini. Sedangkan kita.. Yang notabene memang pemilik asli kesenian ini, dan juga ribuan bahkan jutaan kesenian lainnya di seluruh nusantara.. Ini baru gamelan Jawa.. Belum gamelan Sunda.. Gamelan Bali.. Kesenian musik, tari, kerajinan, kain, permainan, olahraga, makanan tradisional lainnya di tiap-tiap pulau, provinsi, dan daerah di seluruh pelosok nusantara kita yang teramat besar ini.. HAAAAAAH.. Saya tidak perlu menjabarkannya satu-satu. Pak G juga sudah menumpahkan luka hatinya mewakili perasaan kita semua. Pak G hanya berkata “Gimanapun yang salah ya yang tua-tua seperti saya ini. Saya sendiri sih maklum anak-anak muda sekarang sudah tidak lagi berminat, tidak punya jati diri, tidak kenal lagi dengan budayanya sendiri.” Terdengar klise ya? Tapi ada lanjutannya. “Mencari anak yang mau bermain gamelan sulitnya minta ampun. Walaupun tim SMP sekolah ini mencapai 3 grup, tapi yang SMA-nya cuma 4 orang. Tapi begitu ada acara dombreng-dombreng, langsung pada berhamburan”. Saya tertawa, mendengarkan suara-suara dari ruangan sebelah tempat siswa-siswi sedang berlatih band untuk acara keesokan harinya. Memang terdengar dombreng-dombreng suara drum, juga gitar listrik, bahkan terompet. Saya juga langsung teringat adik saya di rumah yang kemungkinan juga sedang berlatih untuk penampilan bandnya. Dia bassist. Saya jadi berpikir.. Memang generasi tua kita, dalam hal ini pemerintah, adalah orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab. Ketika sebuah inisiatif keputusan atau peraturan telah ada, rakyat tinggal menjalani. Tapi coba kita pikir lagi.. Memangnya kita sebagai generasi muda segitu bodohnya ya? Harus menunggu orang lain membuat keputusan dulu, baru kita bergerak. Harus ada orang yang mengklaim dulu, baru kita bereaksi. Kita kok jadi seperti Paman Gober ya. Punya harta berlimpah, begitu ada orang yang mau mengambil, langsung marah-marah. Cuma bedanya, Paman Gober memang menyimpan hartanya dengan rapi dan aman, dia memang menyayangi harta-hartanya. Berarti mungkin kita seperti anak kecil yang punya banyak mainan. Itu memang punya kita, kita mainkan, cuma sesekali, kita bosan, lalu kita anggurkan, bahkan banyak yang rusak. Tapi begitu ada yang meminta, kita langsung berteriak JANGAAAAAAN!! ITU PUNYAKU!! Memang, we never know what we’ve got until we lose it. Tapi memangnya iya, harus menunggu hilang dulu? Harus menunggu menyesal dulu? Coba kita cek lagi kasus batik kita beberapa waktu silam.. Sudah diakui dunia lho. Sempat juga terjadi euphoria batik di mana-mana. Bahkan motifnya dijadikan tas, juga jaket. Juga dijadikan tema utama karnaval di berbagai daerah. Tapi takutnya itu hanya sementara. Saat orang sudah lupa betapa senang dan bangganya ketika mendengar bahwa batik diakui kembali sebagai budaya nusantara, saat itu juga kita lalai menjaga harta milik kita. Lihat saja, kita baru akan kembali bereaksi saat telah terulang lagi kejadian yang sama. Jadi coba kita merefleksikan diri dulu.. Ngaca dulu.. Menonton diri kita seperti kita menonton tokoh di sebuah film yang dapat kita kritik dan kita buat ulasan karakteristiknya.. Pantaskah kita marah dan menyebut negara lain maling kalau kita sendiri saja malas, malu, dan ogah-ogahan menyentuh kesenian kita sendiri? Kalau kalian membaca ini, berarti kalian adalah generasi muda Indonesia. Baru sekarang saya menyebut nama negara kita, dari tadi hanya Jakarta, karena memang saya besar dan tinggal di Jakarta. Tapi kalian tentunya berasal dari daerah yang berbeda-beda kan? Orang tua saya sendiri berasal dari daerah Jawa Tengah, jadi saya bisa menyatakan diri sebagai orang Jawa. Setelah hari ini, saya jadi semakin bersemangat untuk mempelajari kebudayaan negeri ini, khususnya kebudayaan daerah asal saya sendiri. Bila semua anak muda mempelajari budayanya masing-masing, tentunya akan sangat menolong eksistensi budaya kita. Tidak harus menjadi ahli di semua bidang, bisa saja dimulai dengan mempelajari bahasanya. Kemudian mencari tahu musik khas masing-masing daerah dan berlanjut ke kesenian lainnya seperti tari dan nyanyian, juga pakaian, makanan, olahraga, permainan, hingga adat-istiadat turun temurun. Mungkin seperti Vicky Sianipar yang dengan berani mengusung musik tradisional daerahnya. Itu baru dari satu daerah. Bagaimana dengan daerah-daerah lainnya? Jadi.. Entah kalian generasi ningnong-ningnong ataupun generasi dombreng-dombreng, tapi setelah membaca ini, tolong dipikir-pikir kembali. Tolong berbuat sesuatu. Kalau kalian tidak berbuat apa-apa, dan nantinya ada kejadian pengklaiman budaya yang terulang, kalian harus malu karena tidak pantas untuk marah dan menyebut negara lain maling. Kalau bukan di Indonesia, kalian mau tinggal di mana lagi? Menjadi warga negara lain tidak akan pernah menghilangkan sejarah asal-usul kita. Jadi tolong, mulai hari ini, berbuatlah sesuatu untuk negeri kita tercinta yang sedang babak belur ini. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Sebelum semuanya terlambat. Kalau kalian peduli, tolong lanjutkan kisah ini, karena kisah ini adalah kisah nyata yang terjadi pada bulan November 2009.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun