Mohon tunggu...
BonangBarung .
BonangBarung . Mohon Tunggu... -

There's more about Indonesia than meets the eye!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Care Vs Kepo: Wajah Masyarakat Modern Indonesia

23 September 2010   11:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:01 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari pada pelajaran dokkai (telaah teks), kami menjumpai sebuah materi menarik. Dikisahkan, seorang laki-laki muda tengah menghadapi rutinitas yang sama setiap hari. Dia mengawali hari dengan bersiap-siap, lalu berjalan kaki menuju stasiun untuk kemudian naik kereta ke kantor. Laki-laki muda itu biasa berangkat pagi, tak terburu-buru sehingga dapat memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Di jalan menuju stasiun, ia kerap mampir ke sebuah kombini (mini market). Ia tiba di kombini tepat 15 menit setelah berjalan kaki dari rumahnya. Barang yang ia beli selalu sama. Makanan sarapan, koran, dan sebungkus rokok. Setiap hari. Kombini tersebut dimiliki oleh seorang obaasan (nenek) yang selalu berada di balik kasir setiap ia datang. Obaasan yang telah berambut putih itu tampak sudah berumur 60-an tahun, mungkin sudah memiliki beberapa orang cucu. Setelah memilih makanan siap saji untuk sarapan dan mengambil 1 eksemplar koran, laki-laki itu berjalan ke kasir untuk membayar. Komunikasi yang terjalin dengan obaasan hanyalah pada saat ia meminta sebungkus rokok dengan merek tertentu di rak di belakang counter kasir, dan ucapan terima kasih dari obaasan saat laki-laki itu melangkah keluar dari toko. Begitu terus setiap hari. Sampai akhirnya suatu hari terjadi sesuatu yang tak ia duga-duga. Ketika laki-laki itu baru saja melangkah ke kasir untuk meminta sebungkus rokok, tiba-tiba saja obaasan sudah siap dengan sebungkus rokok di tangannya. Tepat seperti merek pilihan laki-laki itu. Laki-laki itu terkejut, namun tetap tak berkata apa-apa. Sampai kemudian obasaan berambut putih menyapanya dengan ucapan khas, "ii tenki desu ne" (Hari ini cuacanya bagus ya). Ucapan untuk sekedar berbasa-basi, namun cukup untuk memulai percakapan mereka pagi hari itu. Pada hari-hari selanjutnya, kunjungan ke kombini tidak lagi menjadi rutinitas belanja semata untuk laki-laki muda itu, sebab kini ia mendapat kenalan baru dan teman mengobrol di pagi hari. (chuukyuu kara manabu nihongo) Sepenggal cerita di atas kami baca dengan datar. Bagi kami, tak ada yang spesial. Bukankah wajar-wajar saja bila orang saling menyapa, apalagi jika mereka sudah sering bertemu setiap hari? Apalagi untuk kasus laki-laki muda yang membeli barang yang sama setiap hari, bukankah sudah sewajarnya obaasan berambut putih hafal dengan pilihan rokoknya? Laki-laki itu juga pasti sudah dianggap pelanggan setia toko itu. Lantas mengapa cerita tersebut menjadi menarik untuk ditelaah? Karena tokoh cerita dan pembaca cerita berada di dua lokasi yang berbeda. Dua negara, dua budaya, dan tentunya dua kebiasaan. Di Jepang, lokasi tokoh cerita itu berada, hal yang dialami oleh laki-laki muda itu mungkin menjadi suatu hal yang luar biasa. Baginya, mungkin kejadian tersebut sangat menarik dan tidak dia sangka-sangka sebelumnya, hingga dia memutuskan untuk menulisnya agar diketahui orang lain. Seperti halnya masyarakat perkotaan yang cenderung lebih individualis (seperti dalam pelajaran PPKn ketika sekolah dulu), komunikasi yang terjalin dengan orang lain yang tidak berkaitan langsung tentunya lebih terbatas. Tapi bagaimana dengan orang Indonesia? Kita coba lihat contoh cerita berikut. Amel berangkat sekolah setiap hari menaiki angkot dari ujung jalan rumahnya. Untuk mencapai ujung jalan itu, dia harus berjalan dulu sekitar 5 menit. Di ujung jalan tempat dia biasa menunggu angkot, ada sebuah warung. Dia tak terlalu kenal dengan pemilik warung ataupun orang yang biasa menunggunya. Dia hanya tahu bahwa sering ada seorang wanita setengah baya dan suaminya yang berkumis tebal. Namun pagi itu Amel tetap menyapa mereka dengan ramah seperti biasa. "Berangkat non?" sapa si Ibu warung. "Iya Bu. Angkot saya sudah lewat belum ya Bu?" tanya Amel balik. "Kayaknya blom non, paling bntar lagi." "Oh iya Bu, makasih. Oh itu datang! Berangkat dulu ya Bu." "Iya non, hati-hati." jawab si Ibu warung dengan senyum merekah. Ketika Amel pulang dari sekolah sore harinya, obrolan mereka berlanjut. "Pulang non?" tanya si Ibu warung. "Iya Bu. Panas banget ya hari ini." jawab Amel sembari mengipas wajahnya dengan tangan. "Iya non. Sini duduk dulu, adem nih di bawah pohon. Minum dingin." tawar si Ibu warung. "Nggak apa-apa Bu, langsung pulang aja." "Oh iya non." Ketika Amel pergi lagi selang satu jam kemudian, si Ibu warung bertanya dengan keheranan. "Lho, pergi lagi non? Mau ke mana?" "Ke sana Bu." jawab Amel dengan menunjuk ke arah kanan. "Oh iya, hati-hati ya non." "Iya Bu. Daa Ibu." jawab Amel lagi, kali ini sambil memberi tangan tanda pamit. Informasi menarik apa yang kita dapat dari cerita di atas?

  1. Amel tidak tahu nama si Ibu warung, dan si Ibu juga tidak tahu nama Amel. Namun komunikasi tetap berjalan lancar.
  2. Di pagi hari, si Ibu warung menjawab bahwa angkot Amel belum lewat. Padahal angkot dengan jurusan yang sama pasti sudah banyak yang berseliweran lewat sejak subuh.
  3. Ketika Amel pulang dari sekolah, si Ibu menawarkan Amel untuk mampir terlebih dahulu. Padahal rumah Amel hanya berjarak 5 menit dari warung si Ibu.
  4. Ketika Amel pergi lagi sore harinya, dengan terang-terangan si Ibu warung bertanya Amel hendak ke mana. Padahal itu bukan urusan dia.
  5. Amel menjawab "Mau ke sana", tidak rinci menyebutkan ke mana.

Tapi apakah hal-hal di atas akan menjadi masalah? Apakah Amel akan marah karena si Ibu bertanya hal-hal yang pribadi? Apakah si Ibu akan kesal karena Amel menjawab dengan asal-asalan? Tentu tidak. Karena hal itu umum terjadi di Indonesia. Seperti banyak didengar dari pelancong asing yang datang berkunjung ke segala penjuru daerah di Indonesia, dikatakan bahwa orang Indonesia ramah dan suka tersenyum. Saya berani mengatakan bahwa hal di atas merupakan hal yang umum dijumpai, tidak hanya di antara masyarakat pedesaan, namun hingga ke masyarakat perkotaan Indonesia. Juga, bahwa kisah Amel merupakan kejadian nyata yang berlangsung di sebuah komplek perumahan di Jakarta. Namun tidak berarti bahwa semua orang Indonesia akan melakukan hal serupa, kan? Terkadang ada pula keadaan sebaliknya, saat seseorang merasa tidak nyaman dengan keramah-tamahan yang diberikan orang yang tidak terlalu dikenalnya. Jika orang lain yang tidak suka berbasa-basi tiba-tiba disapa pemilik warung di pinggir jalan seperti halnya Amel, mungkin dia akan kesal dan pura-pura tidak mendengar dan diam saja sambil terus menunggu angkot. Atau sekedar tersenyum tipis tapi tidak menjawab. Namun, bagaimana jika orang tersebut secara ekstrim membalas sapaan dengan setengah berteriak. "Apaan sih nanya-nanya! Terserah dong mau ke mana!". Ketika itu pula akan terjadi benturan budaya. Orang yang ditanya akan meledak marah, si Ibu warung juga akan merasa tersinggung karena dia merasa bahwa sebetulnya dia hanya berusaha bersikap ramah. Di sini terlihat fenomena menarik pada batas budaya ramah-tamah orang Indonesia. Jika dipadankan dengan bahasa Inggris, mungkin keramahan orang Indonesia dapat disejajarkan dengan "nice" atau "friendly". Namun apakah dapat disamakan dengan "care"? Apakah sikap si Ibu warung yang berusaha menyapa Amel sepanjang waktu menunjukkan bahwa dia perhatian terhadap Amel, karena dia benar-benar peduli Amel hendak ke mana dan khawatir hal buruk menimpa dirinya? Belakangan muncul istilah baru di antara anak muda. Mereka sering menyebut kepo. Kata tersebut kurang lebih berarti "Mau tau urusan orang lain" atau "Mau tau aja". Istilah kepo dapat digunakan pada orang yang dengan penasaran ingin tahu apa yang sedang diributkan tetangganya, hingga orang yang secara diam-diam mencari informasi tentang orang lain dengan cara memasukkan namanya ke dalam search engine. Jika dipadankan dengan bahasa Inggris, kemungkinan kata tersebut sama dengan "nosey". Lantas bagaiamana dengan MYOB atau Mind Your Own Business? Mari kita coba terjemahkan kata-kata tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Kurang lebih akan menjadi: "Urus saja urusanmu sendiri!" Terdengar sangat tajam, menusuk, dan menyakitkan hati. Yang menarik, kata-kata itu juga tidak lumrah digunakan dalam percakapan sehari-hari. Yang muncul kemungkinan besar hanyalah teriakan "Apaan sih!" atau "Mau tau aja". Namun tidak sampai menggunakan kata-kata di atas. Ketika memikirkan hal tersebut, saya baru tersadar bahwa mungkin di dalam bahasa Indonesia memang tidak ada padanan kata yang paling tepat untuk istilah MYOB tersebut. Bagaimana menurut Anda? Mungkin saking lekatnya budaya ramah-tamah dalam masyarakat Indonesia, menolak sapaan atau bantuan orang lain akan dianggap tidak menghargai dan sangat tidak sopan, sehingga wajar bila sejak awal masyarakat Indonesia memang tidak terbiasa mengungkapkan perasaan yang setara dengan MYOB. Mungkin karena segan, atau sekedar malas menanggapi. Di sinilah saya melihat hubungan yang menarik antara ramah-tamah, care, kepo, dan MYOB. Terkadang dalam hubungan kekeluargaan yang erat dalam masyarakat Indonesia, perhatian dapat tercurah dengan melimpah-ruah. Ketika ada seseorang yang sakit dan membutuhkan bantuan, tetangga atau kerabat dekatnya akan datang mengunjungi dan membantu secara finansial atau sekedar membuatkan makanan. Namun jika ada masalah lain yang menimpa mereka yang sebetulnya ingin mereka selesaikan sendiri, serta merta tetangga dan kerabat juga akan datang sama cepatnya. Padahal untuk sebagian orang sebetulnya itu sudah dalam batasan privacy dan tidak semestinya dibahas secara beramai-ramai. Namun kebanyakan orang sepertinya memilih untuk menjaga suasana tetap netral dan tidak memicu friksi. Sekali lagi, memang masyarakat Indonesia sangat bervariasi. Jangankan negara yang berbeda. Di negeri kita saja terdapat begitu banyak budaya yang berbeda-beda di satu daerah dengan yang lainnya. Mungkin untuk sebagian orang, pendapat saya terlalu men-generalisir. Terlalu memukul rata untuk semua wilayah Indonesia. Namun saya hanya ingin mengangkat fenomena yang saya lihat sehari-hari. Ilmu sosial, antropologi, dan psikologi saya juga kurang tinggi untuk membahas fenomena ini dengan lebih dalam. Mungkin jika saya sudah mendapat pengetahuan lebih, saya akan kembali memuat tulisan mengenai pembahasan yang menurut saya sangat menarik ini. Bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun