Mohon tunggu...
Aditya Waranggana
Aditya Waranggana Mohon Tunggu... lainnya -

Masa depannya sedikit lebih jelas

Selanjutnya

Tutup

Politik

UU Pilkada (Ketika Ruang Politik Rakyat untuk Berpartisipasi Diberangus)

10 September 2014   20:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:05 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usulan tentang perubahan sistem pilkada (Gubernur, Walikota, dan Bupati) dari langsung menjadi pemilihan lewat DRPR banyak disorot masyarakat karena banyak yang menilai itu merupakan suatu kemunduran demokrasi di Indonesia. Pemaksaan kehendak dari kepentingan partai politik pendukung (terutama yang kalah dalam Pilpres) sistem ini sangat jelas dengan berindung dibalik alasan biaya pilkada yang lebih murah dan lebih cepat, mengurangi masalah dalam proses pelaksanaan pilkada dan agar kepala daerah tidak lupa dengan partai pengusung nya (seperti yang dikatakan Anggota Panitia Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Darah (RUU Pilkada) dari Fraksi Gorlkar Nurul Arifin, Kompas :  9 September 2014, Kapok “Diludahi” Kepala Daerah, Golkar Dukung Pilkada Oleh DPRD) sungguh kurang bisa diterima dalam konsep dimana kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat.

Pengkerdilan hak politik rakyat oleh partai politik seakan terjadi secara masif, terstruktur dan terencana terutama dalam ruang politik dalam memilih kepala daerah. DPR seakan mencoba menumbuhkan sistem oligarki politik dengan membatasi sebaran kekuasaan yang terbatas hanya di kalangan elit. Dengan sistem ini keterlibatan rakyat tertutup untuk bisa terlibat dalam pengawasan dan penyelenggaraan kenegaraan dan akhirnya akan terciptanya “jarak” yang besar antara rakyat dan pemimpinnya dan politik transaksional antara kepada daerah dan DPRD akan otomatis terjadi dengan sendirinya karena adanya keterikatan kepentingan keduanya.

Sistem pemilihan oleh DPRD ini akan menghilangkan kesempatan memunculkan kepala daerah pro rakyat, karena opsi pengajuan dan pemilihan kepala daerah hanya dimiliki oleh partai. Tentu saja partai politik akan memanfaatkan peluang ini untuk memajukan elit-elit partai untuk duduk di kursi kepada daerah. Hal ini tentu sangat berbahaya, karena kepala daerah akan lebih fokus bekerja untuk “melayani” anggota DPRD untuk mengamankan posisinya dan balas budi terhadap partai yang telah menyokongnya dibanding bekerja dan mengabdi untuk rakyat yang tidak mempunyai jasa dan kontribusi apapun. Selain itu kinerja DPRD akan semakin buruk karena mereka tidak lagi perlu repot dan kritis mengawasi jalannya pemerintahan oleh eksekutif karena merekalah yang menetukan jalannya pemerintahan. Ini akan berbanding terbalik apabila kepala daerah di pilih langsung oleh rakyat, kepala daerah harus bekerja extra karena bertanggung jawab secara moral kepada rakyat yang memilihnya dan bertanggung jawab kepada DPRD secara politik, selain itu DPRD harus bekerja keras untuk menjalankan fungsi pengawasan karena selain mengawasi kepala daerah merekapun kinerjanya diawasi oleh rakyat.

Dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan  Walikota dipilih secara demokratis” menjadi perdebatan karena terkesan “secara demoktratis” mempunyai yang multitafsir. Kata demokratis harus dipahami lebih dalam supaya tidak membatasi peran dan keterlibatan rakyat dalam jalannya pemerintahan, khususnya pemilihan kepala daerah. Peran rakyat dalam proses berdemokrasi sering kali terdistorsi oleh pilar pilar politik yang mengatasnamakan perwakilan rakyat namun pada kenyataannya perwakilan rakyat ini tidak tahu rakyat mana yang diwakilinya. Sebagai contoh anggota DPR/DPRD sering kali berbicara hak politiknya di dapat dari konstituen-nya pada pemilu legislatif sehingga segala tindakannya atas nama dan untuk kepentingan kostituen-nya, namun yang menjadi pertanyaannya apakah dia tau siapa konstituennya/yang diawakili/yang memilih dia untuk jadi angota DPR/DPRD, dimana dan adakah batas yang jelas kap[an ketika dia sebagai anggota partai dan ketika dia sebagai wakil rakyat. Sistem keterwakilan ini lah yang banyak digugat masyarakat karena sering kali anggota DPR/DPRD bertindak tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Bila kita lihat lebih jauh, sistem keterwakilan rakyat yang terjadi di dalam gedung DPR belom bisa mewakili aspirasi rakyat secara utuh, karena aspirasi rakyat tersebut ketika masuk kedalam gedung DPR akan tergantikan oleh kepentingan partai. Ini terbukti dengan maraknya demo-demo yang dilakukan rakyat untuk menyuarakan aspirasi langsung di depan gedung DPR, ini dikarenakan saluran resmi melalui partai politik dan anggota dewan tidak lagi dianggap bisa memperjuangkan kepentingan rakyat dan hanya untuk kepentingan elit semata.

Sungguh wajar sekarang apabila banyak terdapat suara-suara penolakan ketika DPR ingin mengubah pemilu kepala daerah dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan perwakilan melalui aggota DPR. Seakan partai politik yang mengusulkan dan mendukung pemilihan tidak langsung ini melawan arus keinginan rakyat tetapi merasa bahwa mereka paling domokratis, karena berlindung dari perubahan Undang-undang yang untuk membenarkan kepentingan dan keinginannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun