Judul : Oase Pendidikan di Indonesia: Kisah Inspiratif Para Pendidik
Penulis : Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan
Penerbit : Tanoto Foundation dan RAS (Raih Asa Sukses): Penebar Swadaya Grup
Cetakan : I, 2014
Tebal : iv + 260 halaman
Wajah masa depan tergambar pada anak-anak yang bersekolah. Lihatlah wajah mereka saat memasuki gerbang sekolah dan kelas. Cukup sukar menemukan wajah-wajah gembira nan ceria pada diri mereka. Penanda pertama dapat dilihat dengan tas sekolah mereka yang berat untuk tataran usianya. Kini kerap ditemukan tas-tas punggung atau tas-tas seperti koper berisi macam-macam pendukung pembelajaran yang memperlambat gerak anak-anak peserta didik, bahkan sampai ada yang menggunakan secara maksimal kedua tangannya untuk menenteng barang atau perlengkapan pendukung pembelajaran yang sudah tidak tertampung di tas. Penggambaran tentang peserta didik yang dari rumah sudah terbebani dengan ragam barang bawaan yang memberatkan cukup dapat membayangkan wajah-wajah mereka. Nyaris jarang tersenyum. Berjalan tanpa sempat bertegur sapa dengan teman atau guru yang berpapasan. Barang bawaan sekolah di punggung dan tentengan di tangan sudah menyulitkan awal hari mereka. Penuh beban.
Awal yang kurang baik ini terus terbawa hingga mereka masuk belajar di dalam kelas. Keceriaan dan kreativitas mereka semakin menyusut, apabila guru-guru yang mengajar masih menganut pendekatan konvensional. Pendekatan tersebut menganggap bahwa peserta didik sebagai kertas putih yang belum memiliki pengetahuan sebelumnya. Guru sebagai titik pusat dalam pendekatan pembelajaran tersebut. Guru yang aktif, sedangkan peserta didik pasif semata.
Pembelajaran konvensional semacam itu akan semakin membebani peserta didik. Mereka semakin menganggap bahwa sekolah sudah memasung keceriaan dan kreativitas. Waktu pun seolah berjalan lambat yang dirasakan peserta didik dalam suasana pembelajaran konvensional.
Waktu berlalu dengan cepat, jika hal-hal menyenangkan sedang dialami. Hal inilah yang dituangkan dalam buku Oase Pendidikan di Indonesia: Kisah Inspiratif Para Pendidik. Buku yang terbagi dalam tiga bab. Dalam bagian I: mengupas tentang Pembelajaran yang Memerdekakan, kaum pendidik atau pihak-pihak yang bergelut dalam dunia pendidikan dapat sejenak menimba pengalaman dari guru atau prakitisi pendidikan yang sudah mengembangkan model-model pembelajaran yang memerdekakan. Mereka memindahkan titik fokus pembelajaran ke kutub peserta didik. Para pembelajar sudah ditempatkan sebagai individu-individu yang unik. Pembelajaran bertitik tolak dari lingkungan sekitar. Para guru di sekolah Sanggar Anak Alam, Bantul melakukan pendekatan dengan basis kearifan lokal seperti yang terungkap dalam tulisan berjudul Belajar dari Gentong dan Celengan. Dalam tulisan ini guru berusaha melibatkan peserta didik dalam menyikapi persoalan yang terjadi di sekolah. Peristiwa kecurian di sekolah dapat dijadikan titik tolak untuk mengajarkan secara langsung tentang sikap jujur dan adil dalam menangani suatu permasalahan, sehingga solusi yang dihasilkan dapat merangkul bagi semua warga sekolah.
Berturut-turut dalam bagian I buku ini pembaca disuguhkan dengan praktik-praktik pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan peserta didik. Di sekolah Hikmah Teladan dan Semesta Hati, Cimahi para pendidik memerdekakan peserta didik. Mereka melibatkan secara aktif peserta didik dalam rangkaian proses pembelajaran. Belajar yang mengasyikkan adalah suasana pembelajaran yang dirasakan saat membaca tulisan, Belajar dengan Puzzle Tubuh Manusia, Bergulat Memerdekakan Anak dan Gios tetap Peringkat I. Belajar dapat menjadi peristiwa yang dinantikan dan dirindukan peserta didik, apabila pendidik dapat peka terhadap kebutuhan peserta didik. Dalam membawakan materi pembelajaran pendidik di sekolah Hikmah Teladan dan Semesta Hati, Cimahi menggunakan pula pengetahuan psikologi pendidikan. Mereka berusaha mengidentifikasi karakter unik tiap peserta didik dan sebisa mungkin menghadirkan suasana pembelajaran secara variatif. Pembelajaran suatu tema tidak selalu menggunakan buku teks. Pendidik di dua sekolah tersebut selalu menjemput bola terhadap setiap menjawab keingintahuan peserta didik. Mereka tidak segan berkomunikasi dengan orangtua peserta didik, berusaha mengenali latar belakang keluarga dan lingkungan rumah peserta didik demi dapat merumuskan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan karakter unik peserta didik.
Berikutnya masih di bagian I, pembaca dapat tercengang dengan pendekatan pembelajaran dalam tulisan, Menciptakan Konflik di Kelas (hlm.57) dan Lagu Gazza untuk Murid-muridku (hlm.100). Sebagai guru di SMA negeri, Retno Listyarti cukup berani melawan arus dalam penyampaian materi pembelajaran. Ia tidak mentransfer tema konflik mentah-mentah dari buku pegangan, justru ia menciptakan role play untuk menyampaikan materi. Secara sengaja ia mencoret pipinya dengan spidol, lalu meminta salah satu murid laki-laki yang kebetulan memiliki pacar di kelas yang sama untuk menghapus noda spidol di pipinya. Khas remaja terlihat dalam role play yang dibawakan oleh Bu Retno. Peserta didik berteriak menyemangati laki-laki yang diminta untuk maju. Lainnya, mengingatkan bahwa pacar dari laki-laki tersebut merasa terpojok terhadap situasi konflik yang diciptakan oleh guru. Setelah konflik selesai, guru menanyakan peristiwa yang baru saja terjadi, lalu diminta untuk menyebutkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Peserta didik menjawab bahwa yang berperan sebagai “provokator” (Bu Retno), korban (pacar si laki-laki). Selanjutnya, beralih ke pembelajaran bahasa Inggris Sanggar Anak Akar, guru dalam mengajarkan kemampuan menulis dan berbicara menggunakan media lagu Gazza. Remaja merupakan masa di mana musik sangat mewarnai hidup. Melalui penggunaan media lagu, peserta didik di Sanggar Anak Akar dilatih berbicara dengan bahasa Inggris dengan berkaraoke. Setelah berkaraoke, mereka menafsirkan makna Lagu dari Gazza. Lalu, menuliskan email ke penulis lagu tersebut dalam bahasa Inggris.
Di bagian kedua dalam buku mengupas tentang Anak dan Komunitas Belajarnya. Pengalaman Bu Tuti yang menjabat sebagai Kepala Sekolah SMPN 2 Pagedangan, Kabupaten Tangerang dalam mengangkat kepercayaan diri dan derajat peserta didik perlu menjadi bahan renungan. Ia menjadikan sekolah yang dinahkodainya menjadi sekolah yang unggul dalam penguasaan life skill. Peserta didik yang kurang mampu secara ekonomis dilibatkan dalam proses produksi jepit rambut. Inisiatif yang awalnya sempat mendapat tentangan dari beberapa orangtua murid. Mereka menganggap bahwa sekolah tidak perlu melibatkan peserta didik dalam proses produksi jepit rambut.
Lalu, disusul dengan tulisan berjudul Ketika Anak Belajar Memaknai Kebebasan yang berlangsung di Sanggar Anak Akar (hlm.136). Ibe Karyanto sebagai nahkoda dalam Sanggar Anak Akar melibatkan tiap anak untuk tidak dengan mudah melakukan sesuatu tanpa kesadaran. Tiap hal yang melekat dalam diri anak berusaha ia perlakukan dengan cara istimewa. Anak-anak dalam Sanggar Anak Akar dilatih untuk memaknai tiap peristiwa yang terjadi. Ketika sanggar sedang banyak kegiatan selalu ditemukan beberapa anak sanggar yang tidak mengikutinya. Anak-anak yang hadir dilatih untuk mencari alasan, mengapa ada teman-teman mereka yang mangkir dari kegiatan sanggar. Mereka menganggap bahwa teman-teman yang mangkir dari kegiatan merupakan individu-individu yang salah mengartikan kebebasan. Oleh Ibe Karyanto, anak-anak dilatih untuk peka dalam memaknai tiap peristiwa dan diajak untuk merefleksikan secara bersama sehingga kesalahan sebelumnya terulang kembali dilakukan.
Beralih ke Sanggar Ciliwung yang dinahkodai oleh Sandyawan Sumardi dalam tulisan berjudul Ciliwung Larung: Model Alternatif Pendidikan Melalui Teater Komunitas. Pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh Bapak Sandyawan menggunakan praktik-praktik berkesenian. Dengan melakukan kegiatan berkesenian seperti teater, peserta didik diasah olah rasa, olah cipta dan olah raganya secara bersamaan. Tema-tema berteater yang dipakai bertitik tolak dari lingkungan sekitar Ciliwung. Masalah banjir, rumah layak, pekerjaan serabutan merupakan beberapa contoh tema yang dibawakan oleh teater komunitas Sanggar Ciliwung. Pendidikan di Sanggar Ciliwung hendak memerdekakan warga agar berdikari dan tidak terus menunggu pertolongan pemerintah dalam mengatasi beberapa permasalahan di lingkungan mereka. Mereka berswadaya untuk membuat rapi lingkungan tempat tinggalnya dan bah-membahu membuat ragam kegiatan kreatif yang dapat meningkatkan perekonomian warga.
Dalam bab penutup, yakni bab ketiga dibahas tentang Membangun Profesionalisme Guru (hlm.179). Dilema pemberian sertifikasi pun dikupas dalam bab ini dengan tulisan berjudul Sertifikasi bukan Sihir (hlm.180). Ditemukan peningkatan perilaku konsumtif pada beberapa guru yang berhasil memperoleh tunjangan, namun ada pula guru yang menggunakan tunjangan sertifikasi untuk peningkatan kemampuan dengan membeli buku-buku penunjang pembelajaran atau melanjutkan jenjang pendidikan. Guru yang bertransformasi akan menimbulkan efek domino ke peserta didik. Pembelajaran aktif, inovatif, kreatif dan efektif akan menjalar ke dalam ruang-ruang kelas. Dalam tulisan Membangun Gerakan Guru Transformatif (hlm.195) pembaca dapat menyaksikan bahwa mengubah pola pikir guru diperlukan pendekatan kreatif, yakni menonton film bertema pendidikan. Ragam film yang disaksikan merupakan pintu masuk agar guru dapat menyadari tugas mulia sebagai salah satu agen yang dapat menciptakan agen-agen perubahan di sekolah.
Pengembangan pargadigma baik di kalangan pendidik maupun peserta didik perlu dilengkapi oleh ragam buku penunjang pembelajaran. Pembelajaran di kelas memiliki batas. Pendidik dan peserta didik perlu mengembangkan diri dengan ragam bacaan berkualitas. Perpustakaan merupakan elemen penting yang perlu dihadirkan oleh sekolah. Keterbatasan dana pengadaan buku dapat melibatkan orangtua murid untuk turut terlibat aktif memberikan sumbangan buku. Pelibatan atau segenap warga sekolah untuk proses pengadaan buku di perpustakaan sekolah dikupas dalam tulisan berjudul Merajut Asa melalui Pustaka (hlm.218). guru sebagai salah satu motor penggerak perubahan diungkapkan dalam tulisan Guru Motor Perubahan dari Akar Rumput (hlm.227). Ketika Jepang luluh-lantak dibom atom oleh pasukan sekutu. Kaisar Jepang segera mengumpulkan semua bawahan untuk menanyakan jumlah guru yang masih tersisa. Segera kumpulkan guru yang masih hidup dan bangun kembali sekolah. “Kita bangkit kembali,” ujar sang kaisar. Kisah heroik tersebut menyuratkan makna bahwa perubahan suatu bangsa dimulai dengan peran guru. Perubahan hal kecil di tataran komunitas warga bangsa dimulai dengan perubahan paradigma peserta didik dalam menjalani kehidupan. Life skill yang menunjang kemajuan dapat dilakukan oleh guru.
Guru sebagai agen pencipta perubahan merupakan manusia pembelajar. Guru yang berhenti belajar sama saja “membunuh” kehidupan murid-muridnya. Zaman berganti. Pendekatan pembelajaran pun bertransformasi menyesuaikan dengan tuntutan zaman dan kebutuhan peserta didik. Tulisan Para Pembelajar Pembelajaran (hlm.243) mengungkapkan bahwa sosok guru yang mau terus belajar adalah guru yang peka terhadap kebutuhan peserta didik dan tuntutan zaman. Tulisan Para Pembelajar Pembelajaran
Membaca buku ini menimbulkan harapan bahwa pendidikan yang memerdekakan pun dapat diciptakan. Keunikan tiap peserta didik dapat diakomodasi dalam tiap proses pembelajaran. Penggunaan sumber belajar yang berbasis lingkungan dan kearifan lokal membuat peserta didik semakin berakar terhadap realitas kehidupan yang nanti akan dihadapinya. Dalam buku ini pun para pembaca dapat menimba alternatif metode-metode pembelajaran partisipatif. Pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai titik tolak pembelajaran. Pembelajaran partisipatif melibatkan peserta didik secara aktif. Mereka diajak untuk peka terhadap suatu peristiwa dan memanggil pengetahuan mereka sebelumnya untuk menjawab tiap permasalahan dalam pembelajaran. Sistem bank transfer sudah menjadi hal yang usang dalam pembelajaran aktif, inovatif, kreatif dan efektif. Pola pembelajaran tersebut akan membuat peserta didik antusias, karena pembelajaran yang mereka alami gembira, berbobot dan menyenangkan.
Buku yang diterbitkan secara duet oleh Tanoto Foundation dan Raih Asa Sukses (RAS): Penebar Swadaya Grup ini wajib dibaca oleh kalangan pendidik, orangtua dan pengelola pendidikan agar dapat menjadi bahan refleksi, acuan dalam mengajar atau menyusun kurikulum yang memanusiakan peserta didik. Buku ini hadir untuk menghadirkan bacaan inspiratif bagi para praktisi pendidikan atau pihak-pihak yang berkepentingan memajukan dunia pendidikan. Bacaan inspiratif dan berkualitas merupakan penunjang bagi keberhasilan pembelajaran. Sukanto Tanoto yang putus sekolah, karena membantu usaha keluarga. Tidak berhenti belajar, ia terus membaca ragam bacaan. Hasil membaca tersebut yang menjadikan dirinya terus haus akan pengetahuan. Tanoto Foundation yang didirikannya berinisiatif untuk melakukan sejumlah prakarsa yang pada intinya ditujukan bagi penanggulangan kemiskinan dengan mendidik orang-orang dan membekali mereka dengan berbagai peluang pemberdayaan serta peningkatan kualitas hidup.
Kesalahan ketik nyaris tidak ditemukan dalam buku. Hanya saja akan lebih mengasyikkan, apabila tulisan-tulisan dalam buku yang membahas tentang pembelajaran partisipatif menggunakan pelengkap ilustrasi gambar, foto-foto kegiatan pembelajaran, foto-foto suasana kelas dan lingkungan sekolah. Ilustrasi gambar atau foto untuk lebih secara nyata menghadirkan situasi nyata kepada pembaca. Namun kekurangan tersebut tidaklah signifikan dibandingkan dengan isi buku yang menghilangkan dahaga pembaca terhadap pembelajaran yang memerdekakan. Itulah sebabnya buku ini diberi judul Oase Pendidikan di Indonesia: Kisah Inspiratif Para Pendidik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H