Kedaruratan mengundang peluang dan masalah. Situasi darurat yang kadang tak terduga atau tiba-tiba membuat manusia kadang tak sempat berpikir jernih. Dalam situasi darurat keputusan yang diambil cenderung bukan yang terbaik, melainkan prinsip minus malum (terburuk dari yang paling buruk).
Di sisi berbeda, situasi kedaruratan membuka ragam peluang yang justru sebelumnya tak pernah terpikirkan. Ketika Jepang (Nagasaki dan Hiroshima) luluh-lantak dibom atom oleh pasukan sekutu pada 6 dan 9 Agustus 1945. Kaisar Jepang, Hirohito segera mengumpulkan semua bawahan untuk menanyakan jumlah guru yang masih tersisa. "Segera kumpulkan guru yang masih hidup dan bangun kembali sekolah. Kita bangkit kembali!" ujar sang kaisar.
Kala itu guru yang tersisa dan masih hidup pada kurang lebih 45.000 saja. Penuh harapan Kaisar Hirohito berseru kepada seluruh pasukan dan juga rakyat Jepang, "Kepada gurulah sekarang bangsa Jepang bertumpu, bukan pada pasukan bersenjata!"
Peristiwa ini menjadi tonggak kebangkitan Jepang. Dalam kurun waktu 20 tahun Jepang yang hancur lebur menjelma jadi salah satu negara maju. Dengan kondisi porak-poranda akibat bom atom tersebut dunia memprediksi Jepang dapat pulih seperti sedia kala setidaknya dalam waktu 50 tahun. Berkat Jepang memerhatikan pendidikan, prediksi dunia tersebut meleset.
Pedagogi di Jepang
Kisah heroik tersebut menyuratkan makna bahwa perubahan suatu bangsa dimulai dengan peran guru. Kesigapan Kaisar Hirohito menanyakan jumlah guru yang masih hidup dan lekas mengumpulkan guru usai perang menjadi salah satu faktor Jepang menjadi negara maju. Hal ini membuktikan bahwa kemajuan sebuah bangsa melibatkan peran besar guru.
Modal terbesar suatu bangsa adalah sumber daya manusia. Di tangan guru roda suatu bangsa dapat berjalan baik atau sebaliknya. Sumber daya manusia merupakan aset nonfisik. Karakter dan potensi manusia dapat dibentuk salah satunya melalui jalur pendidikan.
Sikap dan tindakan Kaisar Hirohito menegaskan peran dan posisi mulia dari guru bagi bangsa mereka. Ada semboyan Jepang yang berbunyi, she no on way ama yori mo takai, umi yori ma fukai. (Jasa guru lebih tinggi dari gunung yang tinggi, lebih dalam dari laut yang dalam)."
Di Jepang orang-orang terbiasa mengucapkan salam (aisatsu), bahkan salam di sana terbagi lebih spesifik. Tak hanya, selamat pagi/ siang/ sore/ malam. Akibat dilakukan setiap hari dan diberikan contoh nyata oleh orangtua, pendidik, dan lingkungan kebiasaan memberi salam jadi mendarah daging bagi warga Jepang.
 Budaya mengucapkan: tolong, terima kasih, dan maaf juga konsisten diingatkan kepada warga sekolah. Pengucapan TTM (tolong, terima kasih, dan maaf) menjadi habitus baik. Teladan warga Jepang terhadap habitus mengucapkan, arigatou/ salam dan gomenasai/ maaf perlu dijadikan pelecut semangat bagi segenap warga sekolah.