Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Algoritma Hati - 1

15 Maret 2021   22:14 Diperbarui: 27 Oktober 2021   08:37 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagas bersyukur terlahir menjadi anak mereka. Walaupun terkadang ada sikap ibu yang membuatnya kesal. Terkadang mereka saling berdebat hebat. Sungguh ayah mampu hadir menjadi sosok penghibur. Dirinya kembali tersenyum. Berdamai kembali dengan ibu.  Sebagai remaja, Bagas kerap dilanda permasalahan khas remaja. Suka seseorang tetapi bertepuk sebelah tangan.

Dalam kegundahannya sang ayah lihai menempatkan diri sebagai sahabat. Ayah mau menemani tatkala Bagas ditimpa masalah. Bahu ayah yang kekar tempat paling nyaman untuk bersandar. Di sana dia menangis. Ayah tak mengejek, justru berkata, "Biarkan air matamu menetes. Air mata dapat membersihkan rasa gundahmu. Tak usah malu menangis."

Jumat sore sepulang les Bagas agak bergegas pulang. Sesampai di rumah. Bergegas mandi. Sudah bersalin rupa dia ingin menunggu ayah pulang kantor. Kabar kenaikan tingkat di tempat les musiknya ingin segera dikabarkan kepada ayah. Pukul 19.00 biasa ayah tiba di rumah. Sampai pukul 21.00 ayah tak jua datang.

Was-was. Ada apa gerangan? Tak biasanya ayah pulang terlambat tanpa mengabari.  Sungguh tak biasa ayah pulang seterlambat ini. Kelelahan menunggu. Tertidur Bagas di kursi teras rumah. Pukul 21.30 teman kantor ayah, Om Lexy datang ke rumah. Dia menjemput kami untuk lekas bersama menuju ke rumah sakit. Kedatangan Om Lexy sudah mengagetkan. Ditambah dengan kata rumah sakit yang diucapkannya semakin membuat ibu dan Bagas makin was-was mendengar kata rumah sakit.

Nyaris sepanjang perjalanan menuju rumah sakit mereka semua tak bersuara. Ibu dan Bagas sibuk dengan diri masing-masing. Mereka bertanya-tanya dalam benak, apakah yang terjadi dengan ayah? Om Lexy tak mengajak mereka ke ruang UGD. Mereka semakin ketar-ketir, ketika langkah mereka menuju ruang jenazah.

Pintu terbuka, langkah mereka semakin melambat. Ada sosok yang mereka kenal di deretan nomor empat. Papan nama di ranjang tertera: Bpk. Anggito Murti. Mereka terkejut!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun