Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Derita, Cerita, dan Bahagia

31 Agustus 2020   20:09 Diperbarui: 31 Agustus 2020   19:58 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berlanjut kemudian dengan kritikan betapa simpang-siurnya informasi kala pandemi. Dalam kisah, Segenggam Garam Pengusir Kematian mendeskripsikan kebingungan apa penyebab dari wabah. Bermunculan desas-desus yang menguatirkan. "Apalagi, ketika informasi-informasi pemerintah pun semangkin daripada membingungkeun. Segala macam informasi itu menjadi sama tidak bisa dipegang kebenarannya dengan bermacam desas-desus yang berembus. Sampai-sampai banyak yang bilang; omongan pemerintah dan omongan dukun sama-sama membingungkan," (hlm. 50).

Nyaris sudah setua peradaban manusia kisah prostitusi hadir mewarnai kehidupan. Dalam kisah, Tuhan dalam Kampung Pelacuran mengugah kesadaran pembaca betapa jangan mudah menjustifikasi. Tuhan tak hanya milik orang suci, tapi juga pelacur dan bromocorah. Kalimat dalam novel, "Mereka pikir Tuhan hanya ada di tempat yang mereka anggap suci. Kalau mereka percaya Tuhan ada di mana-mana, pastilah Tuhan juga ada di tempat-tempat paling kotor (hlm.236).

Hingga kini fenomena pendengung (buzzer) tetap menghiasi pemberitaan. Tak ketinggalan dalam novel juga menyentil fenomena ini.  "Yang dapat bayaran itu buzzer (pendengung). Bukan cendekiawan. Meski sekarang sulit membedakan antara buzzer dan cendekiawan," (hlm.147).

Keterbelahan masyarakat dalam dua kali pilpres, 2014 dan 2019 masih nyata residunya. Sentilan khas Agus Noor juga mengeritik fenomenanya, "Kalau dalam politik ada cebong, kodok, kampret, unta, kadal gurun, kenapa tak boleh ada keledai?!" (hlm. 184).

Penutup

Membaca novel yang lahir akibat pandemi akan membuat pembaca merasa ada kawan bersama dalam mengarungi "derita". Kesedihan, kemiskinan, kebingungan, dan kekelaman hidup tokoh-tokoh dalam novel juga kurang lebih dialami oleh sebagian pembaca. 

Akibat pandemi banyak yang diberhentikan dari pekerjaan, tak mendapat gaji secara penuh, bahkan sudah banyak korban meninggal dari situasi pandemi.

Semoga di akhir dari membaca novel ini pembaca mendapat sedikit penguat dalam menghadapi pandemi sebab cerita mampu mengubah keyakinan. Membaca karya sastra adalah salah satu merawat kesadaran manusia sebab derita menjadi tertanggungkan ketika ia menjelma cerita.

Buku Kolpri|Dokpri
Buku Kolpri|Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun