Membaca sastra adalah untuk merawat jiwa dan kewarasan. Konon suatu bangsa yang barbar adalah bangsa yang tiada pernah membaca karya sastra. Â Karya sastra yang merupakan produk kebudayaan sungguh memiliki daya pengubah.
Mengapa produk kebudayaan dapat mengubah, karena para kreatornya berjerih payah dan mengerahkan refleksi batin untuk menciptakan suatu karya.Â
Goenawan Mohamad, dalam buku sekumpulan Catatan Pinggir 3 (hlm. 424), mengungkapkan bahwa kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin.
Salah satu sosok yang menggunakan karya sastra sebagai kekuatan pengubah adalah Ayu Utami. Penulis yang berlatarbelakang wartawan dan aktivis ini berhasil mengubah lanskap kesusasteraan Indonesia kala ia menelurkan novel, Saman (KPG, 1998). Novel yang kemudian menjadi laris tersebut berhasil menbongkar beberapa tabu (seksualitas) yang sebelumnya minim diungkap dalam ragam novel Indonesia.
Novel Saman tidak hanya laris dalam sisi penjualan semata, namun diganjar penghargaan dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri novel Saman terpilih sebagai pemenang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dari Belanda berkat novel Saman, Ayu memperoleh Prince Claus Award tahun 2000.
Bilangan Fu
Seusai mengelegar dengan novel perdana, Saman Ayu Utami semakin produktif berkarya. Berturut-turut karyanya: Larung (KPG, 2000), Si Parasit Lajang (GagasMedia, 2003), Sidang Susila (Spasi, 2008). Juni 2008 terbitlah novel ketiga Ayu Utami, Bilangan Fu.Â
Ayu mengungkapkan bahwa novel Bilangan Fu memakan waktu hingga empat tahun dalam pembuatan. Novel yang mengangkat dunia panjat tebing, beragam hal spiritual seperti mitos, takhayul, dan monotheisme.
Bilangan Fu adalah sebuah bilangan yang meyesaki benak tokoh utamanya, Sandi Yuda ("si iblis"). Ia merupakan seorang pemanjat tebing dan petaruh sejati. Selain Yuda, novel Bilangan Fu menampilkan Parang Jati.
Ia adalah seorang mahasiswa Geologi ITB semester akhir dan penduduk asli lereng Watugunung. Marja, seorang gadis bertubuh kuda feji dan berjiwa matahari. Mereka bertiga terlibat dalam cinta segitiga.
Yuda diguncang beragam kejadian kala di Watugunung. Alkisah dalam sebuah mimpi ia bertemu sang penunggu gunung, disebut Sebul. Sebul merupakan makhluk berkaki serigala, berpayudara, dan berkelamin ganda.Â