Mohon tunggu...
Maksimus Adil
Maksimus Adil Mohon Tunggu... profesional -

Pencinta dunia, pendamba perdamaian dan perindu kesejahteraan bagi semua...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wajah Indonesia pada Pekerja Anak

10 Mei 2011   07:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:53 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menumpang kendaraan umum di Jakarta tidaklah mudah. Dalam arti bahwa anda harus siap untuk berdesak-desakan; mungkin harus berdiri sepanjang perjalanan, diganggu oleh berbagai penjual dan pengamen yang keluar masuk bis yang anda tumpangi bila bis sedang berhenti karena macet, lampu merah, atau karena memang bis sengaja berhenti untuk menunggu penumpang, istilahnya ngetem. Kondisi yang kurang mengenakkan ini diperparah oleh panasnya udara Jakrta akhir-akhir ini. Kondisi ini kerap kali saya alami. Dan saya yakin juga dialami oleh setiap orang yang menggunakan kendaraan (bis) umum untuk bepergian di Jakarta.

Kehadiran pengamen di dalam bis di Jakarta sudah menjadi kelaziman. Meski pemda DKI pernah mengeluarkan kebijakan untuk melarang pengamen jalanan di jalan-jalan di DKI Jakarta namun kebijakan itu tidak pernah terlaksana. Buktinya pengamen jalanan masih tetap ada hingga hari ini. Yang memprihatinkan adalah di antara para pengamen itu banyak yang masih anak-anak, bahkan sebagian di antaranya masih balita.

Pada suatu sore hari Sabtu di awal Oktober 2010 saya menumpang bis arah Senen – Ciledug. Sebagaimana biasanya, bis sangat penuh. Beruntung, saya mendapat tempat duduk. Karena lelah setelah melakukan banyak aktivitas mulai pagi hingga sore di hari itu, dan didukung oleh macetnya jalanan Jakarta, maka begitu duduk di bis, saya segera tidur. Entah berapa lama saya tertidur. Yang saya ingat adalah saya dibangunkan oleh lengkingan suara dua orang anak kecil (perempuan), katakana saja Veti dan Vera, yang sedang menanyi diiringi dengan alunan musik dari gambus kecil yang dimainkan oleh salah seorang dari keduanya. Veti dan Vera tampak kotor dan kusut, namun suara mereka cukup indah untuk dinikmati. Karena mereka menyanyi dengan cukup bagus dan para penumpang cukup puas, mungkin juga karena kasihan pada keduanya, maka sore itu mereka mendapat banyak pecahan seribuan rupiah dari para penumpang. Apa yang Veti dan Vera lakukan merupakan sebuah bentuk usaha atau kerja untuk dapat bertahan hidup di Jakarta.

*****

Tentang pekerja anak di Indonesia, pernah dimuat sebelumnya di kompasiana oleh Mahesa Bhirawa. Kalau ada Kompasianers yang belum membacanya silahkan lihat di sini. Sebagian data yang terpapar dalam tulisan Mahesa, saya kutip kembali di bawah ini.

Indonesia, menurut data dari ILO, merupakan salah satu negara dengan tingkat pekerja anak yang cukup besar jumlahhnya. Menurut laporan ILO (International Labor Organization) tahun 2009 yang berjudul Children Working in Indonesia 2009, di Indonesia terdapat 3,7 juta pekerja anak berumur 10 – 17 tahun atau 10% dari total jumlah penduduk Indonesia yang berumur 10-17 tahun yang berjumlah 35,7 juta jiwa (ILO, 2009:21). Para pekerja anak di Indonesia bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan, seperti pertanian, jasa, operator dan perburuhan, penjualan dan lain-lain. Pertumbuhan jumlah pekerja anak di Indonesia terhitung sangat mencengangkan. Menurut laporan dari ILO yang dikutip Sakernas, jumlah pekerja anak terus bertambah dari 2.87 juta jiwa pada tahun 2004 menjadi 3,7 juta jiwa pada tahun 2009.

Mengingat jenjang umur yang dicakup dalam laporan ILO di atas antara 10 – 17 tahun, maka patut diduga bahwa jumlah pekerja anak di Indonesia jauh di atas angka yang disebut itu. Veti dan Vera dan anak-anak seprofesi dengannya yang naik turun bis dalam keramaian Jakarta untuk mencari setitik belas kasihan dari pengguna kendaraan umum demi sesuap nasi untuk sekedar bertahan hidup atau mungkin memperpanjang penderitaan mereka masih sangat besar jumlahnya. Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa dinas kependudukan dan ketenagakerjaan mengalami kesulitan dalam mendata pekerja anak.Penyebabnya adalah rata-rata pekerja anak terselubung dan bekerja pada sektor-sektor yang tertutup seperti perkebunan, atau menjadi pembantu rumah tangga.

Dokumen ILO, Working Children in Indonesia 2009, mendefinisikan pekerja anak hanya berdasarkan panjangnya jam kerja. Menurut dokumen itu, anak umur 13 dan 14 tahun masuk kategori sebagai pekerja anak bila mereka bekerja lebih dari 15 jam per minggu dan anak yang berumur 15 dan 17 tahun dikategorikan sebagai pekerja anak bila mereka bekerja lebih dari 40 jam per minggu. Definisi yang diberikan ILO itu dapat saja diperdebatkan, namun bila definisi itu diterima, maka hampir pasti bahwa semua anak Indonesia di pedalaman yang masih berbasis pertanian termasuk pekerja anak. Para pengamen di jalanan kota Jakarta pun masuk dalam kategori pekerja anak. Mereka bahkan sudah bekerja sejak pagi hari hingga larut malam, naik turun bis untuk mengamen atau mondar-mandir di stasiun kereta api atau pun di dalam kereta untuk sekedar menawarkan jasa menyemir sepatu kepada penumpang.

Pemerintah kita bersama DPR menerbitkan banyak UU dan PP berkaitan dengan ketenaga-kerjaan dan yang berkaitan dengan pekerja anak. Misalkan saja, kita memiliki UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di samping itu, pemerintah telah meratifikasi dan mengundangkan Konvensi International Labor Organization/ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk- bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak melalui UU No. 1 Tahun 2000. Sebagai tindak lanjut, diberlakukan Keppres No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Namun yang kita lihat di jalanan kota Jakarta hingga ke pelosok Indonesia, menunjukkan tidak adanya perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mengatasi masalah pekerja anak ini. Itu berarti di negeri ini, UU atau Kepres atau PP saja belum cukup, karena itu masih ada di tataran peraturan saja, belum mewujud dalam bentuk aksi nyata. Padahal kita butuh aksi nyata itu.

Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 B ayat 2 menyatakan bahwa "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Tetapi sebagaimana biasa, itu masih sebatas paparan indah di atas kertas. Kita sanggup bertutur indah, merumuskan segala macam peraturan dengan indah, namun untuk sungguh-sungguh mewujudkan yang indah untuk semua anak dan seluruh masyarakat Indonesia kita masih harus sabar menunggu.

Wajah pekerja anak yang kotor, dekil, tidak terurus sebetulnya menggambarkan wajah Indonesia yang belum bisa menjamin pendidikan yang lebih baik bagi warganya, wajah Indonesia yang belum bisa memberikan jaminan keadilan yang lebih baik kepada warganya, wajah Indonesia yang belum bisa memberikan jaminan kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi warganya. Namun kita selalu punya harapan. Harapan itu ada pada anak negeri yang tidak kenal lelah berjuang untuk Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih sejahtera, Indonesia yang lebih damai, lebih adil dan beradab. Mereka itu adalah anak-anak negeri yang terus berjuang dengan caranya sendiri, baik di jalanan, di media, di lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga pemerintahan, di semua lembaga dan wadah yang dijamin keberadaannya di negeri ini. Selagi nyawa di kandung badan, orang Indonesia tidak akan berhenti untuk berjuang demi Indonesia yang lebih baik, karena menjadi paling Indonesia artinya menjadi manusia yang tidak berhenti berjuang demi  terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Bangkitlah Indonesiaku!!!

* Bentuk pendek dari tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Gita Sang Surya yang dikelola oleh JPIC OFM Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun