Mohon tunggu...
Maksimus Adil
Maksimus Adil Mohon Tunggu... profesional -

Pencinta dunia, pendamba perdamaian dan perindu kesejahteraan bagi semua...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Abad 21

4 Mei 2011   01:58 Diperbarui: 4 April 2017   17:27 4579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Revolusi yang terjadi di bidang informasi dengan hadirnya Internet dan telpon seluler telah membawa perubahan yang luar biasa pada berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan. Revolusi ini melahirkan suatu era baru yang dikenal sebagai era digital. Marc Prensky (2001) menyebut generasi yang lahir pada era digital ini sebagai digital native, sementara yang lahir pada generasi sebelumnya namun akrab dengan teknologi digital disebut digital immigrant. Menurut Prensky, generasi digital native adalah mereka yang sejak lahir telah dilingkupi oleh berbagai macam peralatan digital seperti komputer, videogame, digital music player, kamera video, telpon seluler serta berbagai macam boneka dan perangkat yang khas era digital. Mereka sangat fasih dengan bahasa teknologi digital dan Internet.

Pada anak digital native, penggunaan Internet entah melalui PC, laptop atau telpon seluler bukan lagi menjadi hal yang mewah. Generasi ini sangat akrab dengan Internet. Keakraban generasi digital native dengan Internet memungkinkan mereka untuk mendapatkan informasi dari mana saja dan kapan saja. Kondisi ini menimbulkan suatu pertanyaan fundamental berkaitan dengan masa depan sekolah. Bunyinya demikian, “Di tengah kondisi dunia yang dikuasai oleh media online, masihkah pendidikan di sekolah penting?”

Bagi penulis, persoalannya tidak terletak pada ‘masihkah pendidikan di sekolah penting atau tidak’, sebab sekolah tidak akan pernah terhapuskan dari sejarah manusia hingga di masa depan, meskipun setiap orang sudah mempunyai akses ke Internet. Eksistensi sekolah dan pendidikan di sekolah akan tetap penting karena berbagai alasan, misalnya alasan administrasi, alasan pengelolaan dan pengawasan, alasan kontrol dan pengendalian mutu, alasan validitas dan keabsahan atau legalitas tingkat pencapaian atau penguasaan ilmu, serta berbagai alasan lainnya.

Berdasarkan fenomena yang terlihat pada diri remaja usia sekolah dewasa ini (keranjingan media jejaring sosial, games online, chatting, dll) dapat kita pastikan bahwa sebetulnya yang harus menjadi pokok perhatian para penyelenggara pendidikan dan pemerintah, adalah ‘sekolah macam apa yang cocok dengan anak-anak digital native ini?’ Model sekolah seperti apa yang cocok untuk abad 21 yang akrab dengan peralatan digital? Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena bila tidak segera dijawab dan diantisipasi, sekolah-sekolah kita akan segera kehilangan daya tarik, membosankan dan tampak kuno bagi anak-anak era digital.

Perlunya Sekolah Abad 21

Karena dunia terus berubah sedemikian cepatnya maka, sejatinya sangatlah sulit untuk memastikan gambaran sekolah seperti apa yang cocok untuk abad 21 dan sesudahnya. Hal itu disebabkan karena bahkan industri dan pekerjaan yang tersedia dan ditawarkan di masa depan hingga kini belum ada dan mungkin akan sangat berbeda dengan yang ada di masa lalu dan masa kini. Namun satu hal yang pasti, apa yang dikatakan John Dewey pada masa lalu tetap relevan dan benar hingga kini, yakni bahwa “If we teach our children as we did yesterday, we rob them of the future” (Gateway, 2008: 6).

Menurut beberapa pakar, banyak sekolah yang ada sekarang sudah ketinggalan zaman. Sistem yang digunakan di sekolah-sekolah itu (termasuk di Indonesia) merupakan sistem yang dirancang untuk dunia agraria dan manufaktur. Sistem yang diterapkan pada sekolah-sekolah itu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dunia abad 21. Berkaitan dengan itu, Schlechty (2005, xii) mengatakan, “The unfortunate fact is that our educational system is working as it was designed to work, but the way it was designed to work is not adequate to our present needs and expectations”. Sekolah-sekolah di masa lalu (sekolah konvensional) dirancang untuk membuat siswanya mengenal huruf, dapat membaca dengan baik, mengenal angka, dan kemudian mampu untuk mencapai standar akademis yang tinggi bagi para siswanya. Itu semua telah tercapai kini (Schlechty 1997, 11). Tetapi, dunia telah berubah dan terus berubah sedemikian cepatnya (fast-placed manner). Lingkungan para siswa yang ada sekarang berbeda dari lingkungan para siswa di masa lalu untuk siapa sekolah-sekolah itu dirancang. Karena itu, sekolah konvensional sudah tidak zamannya lagi.

Akibat dari lingkungan pertumbuhan anak-anak digital native yang berbeda dengan generasi yang terdahulu, maka, menurut Prensky, cara para siswa berpikir dan mengolah informasi secara fundamental berbeda sama sekali dari para pendahulunya (baca: para guru mereka). Kalau demikian adanya maka sekolah harus merevolusi diri.

Lalu pertanyaannya adalah sekolah seperti apakah yang diperlukan untuk dunia pendidikan abad 21? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sesuai dengan lingkungan pertumbuhan anak-anak era digital dan tuntutan dunia kerja di masa depan yang akan sangat berbeda dengan yang sekarang ada, maka sekolah abad 21 harus menyertakan dan memperhitungkan keahlian-keahlian abad 21 di dalam kurikulumnya demi memenuhi harapan dan kebutuhan para siswa era digital ini. Secara umum, keahlian yang harus dikuasai dan dimiliki oleh siswa era digital adalah keahlian di bidang informasi dan komunikasi, keahlian berpikir dan memecahkan masalah, keahlian interpersonal dan pengarahan diri (self- directional). Keahlian-keahlian ini sejatinya telah tercakup dalam kurikulum standar dunia pendidikan dewasa ini, namun dalam abad 21, keahlian- keahlian ini semakin jauh berkembang (meluas) dari yang ada di masa lalu.

Materi pembelajaran yang diajarkan pada abad 21 perlu dilengkapi dengan contoh-contoh yang relevan dari dunia abad 21; siswa harus mampu melihat keterkaitan antara apa yang mereka pelajari dengan kenyataan yang mereka lihat pada lingkungan di sekitar mereka. Siswa mesti mendapatkan dan menggunakan perangkat atau piranti-piranti yang mereka perlukan yang dapat menggambarkan lingkungan pekerjaan yang nyata agar mereka mendapatkan keahlian-keahlian yang diperlukan pada level yang tinggi sebagaimana yang diharapkan dari mereka untuk menghadapi tantangan abad 21 (Barriors: 8).

Untuk itu maka, sekolah abad 21 harus mengintegrasikan teknologi (laptop, notebook, ipad, smartboard, termasuk internet) ke dalam seluruh proses pembelajarannya. Sekolah abad 21 harus menyediakan suatu lingkungan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan sikap ingin tahunya, mengajarkan ketrampilan-ketrampilan yang bermanfaat untuk kehidupan siswa di masa depan dan memungkinkan mereka untuk mempraktekan kemampuan untuk bekerja secara kolaboratif di dalam tim untuk mencari tahu, memecahkan masalah, membuat dan mengkomunikasikan hasil pekerjaan mereka melalui wadah dan bentuk yang paling sesuai dengan kondisi dan kapasitas anak abad 21 yang digital-based.

Oleh karena itu, maka, model pembelajaran yang paling sesuai untuk sekolah abad 21 adalah pembelajar berbasis laptop. Pembelajaran berbasis laptop artinya laptop digunakan sebagai media utama pembelajaran. Agar penggunaannya maksimal, maka perlu ditunjang dengan ketersediaan jaringan internet yang memadai di sekolah. Pembelajaran berbasis laptop yang terintegrasi jaringan internet menuntut penyesuaian peran guru di dalam seluruh proses pembelajaran. Peran guru pada sekolah abad 21 beralih dari menjadi sumber informasi tunggal ke pendamping atau mentor bagi para siswa. Namun mereka tetap diharapkan menjadi model dan pendorong bagi para siswanya dalam mencari dan menguasai ilmu pengetahuan. Itu berarti guru dituntut untuk semakin aktif dan kreatif, menjadi contoh hidup bagi para siswa bagaimana seharusnya menjadi pembelajar lalu kemudian menjadi manusia berilmu itu.

Mengapa Pembelajaran Berbasis Laptop?

Menurut Prensky, para guru pada era digital harus mendengarkan para siswa digital natives. Hal itu sangat penting karena (menurut Prensky) sekolah yang ada saat ini masih tertahan di abad 20, artinya gaya dan caranya dalam menyelenggarakan pendidikan masih bernafaskan suasana pendidikan abad 20, padahal para siswa telah bergerak maju ke abad 21. Pertanyaan Prensky adalah bagaimana sekolah dapat menyesuaikan diri dan memberikan pendidikan yang relevan kepada siswa abad 21 (Prensky, December 2005/January 2006: 8-13)?

Selanjutnya, Prensky menegaskan argumentasinya dengan mengatakan bahwa siswa yang ada di sekolah-sekolah dewasa ini bukanlah “orang dewasa yang masih kanak-kanak”. Artinya, para siswa yang diajarkan oleh guru-guru yang mengenyam pendidikan pada abad 20, tidak sama dengan para guru mereka, kondisi lingkungan hidup mereka pun berbeda. Para siswa yang ada sangat berbeda dari para gurunya. Karena itu, para guru tidak lagi dapat menggunakan pengetahuan abad 20 maupun pelatihan yang telah mereka ikuti sebagai tuntunan untuk membawa para siswa kepada apa yang mereka anggap baik untuk hidupnya.

Berdasarkan lingkungan pertumbuhannya, para siswa yang ada di sekolah-sekolah abad 21 ini merupakan para siswa digital native. Mereka menjadi native speaker teknologi, lancar dalam bahasa digital komputer, video games, dan Internet. Para siswa digital native akan terus berkembang dan berubah sedemikian cepat dan orang dewasa termasuk para gurunya tidak akan mampu untuk mengimbangi. Fenomena kesenjangan antara siswa digital native dan guru digital immigrant tidak bisa dihadapi dengan metode tradisional seperti inservice training, karena hal itu akan sangat sia-sia. Sekolah memerlukan solusi yang radikal. Solusi yang radikal itu misalnya, mengajarkan aljabar secara efektif dengan menggunakan video game. Dengan itu, maka siswa akan terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Di lain pihak, guru juga harus benar-benar dipersiapkan untuk menghadapi tantangan pendidikan abad 21 yang sedemikian itu.

Kitidak-sesuaian antara bagaimana siswa belajar di satu sisi dan bagaimana guru mengajar di sisi yang lain dapat dipahami ketika orang menyadari bahwa sekolah dewasa ini dirancang untuk dunia pertanian dan manufaktur. Dunia telah berubah dan terus berubah dengan kecepatan yang semakin meningkat. Siswa multi-tasking (siswa digital native menurut Prensky cenderung multi-tasking) yang kita hadapi lebih siap untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan ini dibandingkan dengan banyak orang dewasa.

Peneliti Ian Jukes dan Anita Dosaj mengaitkan ketidak-selarasan antara guru dan siswa abad 21 sebagai akibat dari komunikasi yang kurang antara siswa digital native dengan orang dewasa digital immigrant. Para orang tua dan guru digital immigrant berbicara DSL (digital as a second language) – bahasa digital sebagai bahasa kedua. Artinya mereka tidak sepenuhnya menguasai dan menjadi bagian dari dunia digital sebagaimana anak-anak abad 21 menguasainya. Maka, jelaslah bila terjadi perbedaan antara bagaimana siswa digital belajar dan bagaimana guru non-digital atau digital immigrant mengajar atau menyampaikan pelajaran (http://www.apple.com/au/education/digitalkids/disconnect/landscape.html).

Prensky mencatat beberapa perbedaan fundamental antara para siswa saat ini dengan para guru mereka (Prensky, 2001). Perbedaan-perbedaan itu antara lain: para siswa digital native lebih menyukai proses berpikir paralel (memikirkan beberapa hal sekaligus) dan multi-task (melakukan dua kegiatan atau lebih sekaligus); mereka lebih menyukai untuk melihat gambar atau grafik terlebih dahulu sebelum membaca teks yang tersedia; mereka lebih menyukai random access (hypertext); mereka bekerja dengan baik dalam lingkungan yang tersedia jaringan internet, lebih menyukai permainan daripada pekerjaan yang bersifat lebih “serius”.

Di sisi lain, para guru (digital immigrant) kurang memahami dan menyadari perbedaan ini. Para guru terlalu terikat dengan keterampilan-keterampilan yang telah mereka miliki sejak lama seperti bekerja secara bertahap (step-by-step), pelan, mengerjakan pekerjaan satu demi satu, dan seterusnya. Para guru (juga orang tua) tidak percaya bahwa para siswa dapat belajar dengan baik meskipun mereka melakukannya sambil menonton TV atau mendengarkan musik karena mereka (para guru) tidak dapat dan tidak terbiasa melakukan hal itu. Para guru cenderung memikirkan bahwa cara belajar yang dahulu kala dapat berfungsi atau tepat untuk mereka masih tepat juga untuk para siswa yang mereka didik saat ini. Kesenjangan keterampilan dan pemahaman seperti inilah yang seringkali menjadi penyebab timbulnyan permasalahan di dalam kelas. Banyak siswa akhirnya mogok dan malas belajar karena merasa kurang dihargai dan dipahami oleh para guru mereka.

Prensky menggambarkan perbedaan antara siswa digital native dan guru digital immigrant seperti pada table berikut.

Tabel Perbedaan siswa digital native dan guru digital immigrant.

Siswa Digital Native

Guru-guru Digital Immigrant

Lebih menyukai menerima informasi secara cepat dari berbagi sumber-sumber multimedia.

Lebih menyukai memberikan informasi dengan pelan dan terkontrol dari sumber-sumber yang terbatas.

Menyukai pengelolaan informasi secara paralel dan multitasking.

Menyukai pengelolaan informasi tunggal dan dari sumber yang tunggal dan tugas yang tunggal atau terbatas.

Lebih menyukai utuk memperhatikan gambar, bunyi-bunyian (suara) dan video sebelum memperhatikan teksnya.

Lebih menyukai menyediakan teks terlebih dahulu daripada gambar, bunyi (suara) dan video.

Lebih menyukai akses secara acak ke informasi multimedia hiperlink.

Lebih menyukai untuk memberikan informasi secara linier, logis dan berurut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun