Penerapan Pendidikan Multikultural
Mengutip Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa”, pendidikan multikultural paling tidak menyangkut tiga hal, yaitu: (a) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (b) gerakan pembaharuan pendidikan, dan (c) proses.
Berkaitan dengan kesadaran akan pentingnya keragaman budaya, kepada siswa harus ditanamkan bahwa perbedaan yang ada itu merupakan suatu keniscayaan atau kepastian, namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya, perbedaan itu perlu diterima sebagai suatu kewajaran dan karena itu diperlu sikap toleransi agar masing-masing dapat hidup berdampingan secara damai.
Pendidikan multikulturan harus pula menjadi sebuah gerakan yang bersifat pembaharuan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi riil masyarakat. Bila situasi memungkinkan atau kondisi setempat mengharuskan, maka pendidikan multikultural bisa dijadikan bidang studi tersendiri, atau setidaknya menjadi program dan praktik yang direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi berbagai kelompok di mana lembaga pendidikan itu didirikan.
Meski demikian, harus disadari bahwa pendidikan multikultural itu merupakan suatu proses yang tidak pernah selesai, melainkan beralngsung terus-menerus. Tujuannya tidak pernah bisa langsung tercapai lalu selesai, melainkan dia selalu dalam proses menjadi. Sadar akan kondisi itu, maka sekolah harus selalu memastikan bahwa proses pendidikan yang diselanggarakan mengakomodir realitas perbedaan dalam proses yang dilaksanakan di kelas. Jakarta Nanyang School sebagai sekolah berstatus Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) sangat menyadari hal ini.
Di dalam ruangan kelas Jakarta Nanyang School, Anda akan dengan mudah menemukan relaitas perbedaan itu, baik dari sisi latar belakang etnis para peserta didik dan gurunya maupun dari sisi tingkat kemampuan serta bakat dan minat dari pserta didik itu sendiri. Patut disadari, tanpa adanya upaya konkrit untuk mempertimbangkan realitas keberbedaan dalam proses pendidikan maka keberbedaan itu akan tetap begitu adanya tanpa memberi manfaat bagi pembangunan karakter peserta didik menjadi anak yang terbuka terhadap keberbedaan seraya menerimanya sebagi relaitas hidup yang harus diterima dan disyukuri.
Ada beberapa ide konkrit yang bisa dilakukan sebagai penerapan pendidikan multikultural untuk mengatasi persoalan rasial di dalam lingkungan sekolah. Berikut ini adalah beberapa ide yang patut untuk dipraktekan.
- Anak didik harus benar-benar disiapkan untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat lintas budaya. Untuk itu JNY mengadakan kegiatan seperti Global Discovery Programme(GDP) dan Experiential & Expedition(E&E) Week. GDP adalah program yang sengaja dirancang untuk anak didik agar mereka pergi dan tinggal atau beraktivitas di suatu komunitas lain di luar negeri selama beberapa waktu. Di sana mereka beraktivitas bersama dengan komunitas setempat dalam bidang budaya, akademik, karya sosial dst. Sementara E & E week berfokus pada kegiatan yang sidatnya berintearaksi dengan alam agar di dalam dirinya tumbuh atau perkokoh rasa cintanya terhadap lingkungan hidup.
- Selain kedua program ini peserta didik juga dibantu dan didorong untuk ikut serta dalam kegiatan peduli lingkungan sekitar. Pada kesempatan itu peserta didik dapat melakukan kegiatan bersama dengan anak-anak kampong yang ada di lingkungan sekitar sekolah.
- Untuk dapat mempersiapkan anak didik secara memadai, para pendidik juga harus benar-benar disiapkan agar mereka memiliki kecakapan yang diperlukan untuk membantu anak didiknya untuk belajar secara efektif di tengah lingkungan belajar yang sungguh majemuk tanpa menjadi tertutup terhadap orang lain. Guru-guru JNY telah berpengalaman dalam mengajar di berbagai institusi pendidikan dengan latar belakang yang berbeda. Guru JNY juga disiapkan untuk menghadapi anak-anak yang berbeda di dalam lingkungan sekolah dengan menyediakan informasi tentang peserta didik yang dilakukan oleh Counseling Department. Selain itu tiap-tiap Departemen juga menyediakan waktu khusus untuk mengadakan Professional Sharing di antara para guru di dalam departemen yang sama.
- Sekolah sebagai lembaga tempat di mana proses belajar terjadi harus juga menunjukkan perannya dengan turut serta untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan yang sifatnya merespon kebutuhan riil masyarakat tempat di mana sekolah itu didirikan. Hal itu bisa dilakukan dengan turut ambil bagian untuk mengatasi masalah sosial yang ada di sekitar lingkungan sekolah, misalanya dengan mengadakan kerja bakti, mengadakan pelayanan sosial terhadap keluarga yang kurang mampu, membuka kesempatan bagi anak-anak di sekitar sekolah untuk turut menggunakan fasilitas sekolah atau melakukan kegiatan bersama dengan anak didik di sekolah yang bersangkutan. Jakarta Nanyang School telah melakukan kegiatan semacam ini sejak tahun pertama operasionalnya.
- Dalam praktek di ruang kelas, pendidikan harus berpusat pada siswa dengan meperhatikan aspirasi dan pengalaman siswa. Siswa dilibatkan dalam memutuskan sesuatu yang akan berguna bagi pengembangan dirinya.
- Melakukan kegiatan yang sifatnya cross-culture learning agar anak didik sungguh bisa belajar dari perbedan dan menerima perbedaan sebagai keniscayaan yang harus diterima dan dapat berdamai dengan perbedaan itu.
Daftar kegiatan bisa sangat panjang. Intinya adalah anak didik harus belajar dan mampu untuk merespon secara tepat setiap perbedaan yang ada dalam masyarakat atau yang akan dijumpainya dalam seluruh peziarahan hidupnya dan tidak menjadi bagian dari orang yang menciptakan tembok pemisah atau jurang yang dalam antar warga masyarakat demi memuaskan syahwat politiknya sendiri.
Maksimus Adil
Seorang guru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H