Mohon tunggu...
Maksimus Adil
Maksimus Adil Mohon Tunggu... profesional -

Pencinta dunia, pendamba perdamaian dan perindu kesejahteraan bagi semua...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ironi Pendidikan Indonesia: Antara Budget Besat dan Akses Sekolah yang Sulit

2 Februari 2012   07:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:09 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir September 2011 yang lalu, sebuah berita yang memberi harapan bagi dunia pendidikan di Indonesia – khususnya sekolah-sekolah swasta – datang dari Mahkamah Konstitusi (MK). Judicial review yang dilakukan oleh Machmudi Masjkur (Perguruan Salafiyah Pekalongan) dan Suster Maria Bernardine (Perguruan Santa Maria Pekalongan) terhadap penggunaan kata “dapat” dalam pasal 55 ayat 4 dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikabukan MK.

Penggugat menilai penggunaan kata "dapat" dalam pasal tersebut mengakibatkan adanya perlakuan diskriminatif oleh permerintah baik pusat maupun daerah terhadap sekolah-sekolah swasta dalam pemberian bantuan, termasuk di jenjang pendidikan dasar yang menurut UUD 1945 wajib dibiayai pemerintah. MK memerintahkan supaya kata "dapat" dalam pasal 55 Ayat 4 diganti dengan wajib. (Kompas, 29 September 2011).

Perlakuan diskriminatif dalam dunia pendidikan Indonesia sebetulnya tidak hanya terjadi antara sekolah swasta dan negeri. Lebih jauh lagi, perlakuan diskriminatif itu terjadi terhadap individu-individu secara langsung, yakni terhadap anak-anak dari keluarga kurang mampu serta anak-anak yang mempunyai keterbatasan fisik dan mental. Desain pendidikan nasional Indonesia yang terbangun sebetulnya melanggengkan diskriminasi itu.

Ada banyak faktor yang mendasari penilaian ini. Pertama, kita masih sering menemukan bahwa anak-anak yang mempunyai cacat tertentu dalam tubuhnya, seperti cacat kaki, pendengaran yang kurang atau penglihatan yang terganggu akan sulit mendapatkan akses ke sekolah yang dikehendakinya. Kasus terbaru terjadi pada awal tahun ajaran ini di Padangsidempuan Sumatra Utara. Seorang anak yang cacat kakinya tidak diterima di SMK yang disasarnya di kota tersebut. Penyebabnya karena dia cacat. Pihak sekolah mengklaim bahwa keputusan itu diambil berdasarkan SK Walikota Padangsidempuan (http://www.kksp.or.id).

Kedua, selain anak-anak cacat, anak-acak orang miskin akan semakin sulit untuk mendapatkan sekolah dengan “kualitas” yang bagus. RSBI dan SBI yang katanya menyelenggarakan pendidikan dengan standard Internasional menerapkan biaya yang sangat tinggi. Dengan biaya pendidikan yang sedemikian tinggi, maka yang bisa masuk ke sekolah-sekolah tersebut hanya anak-anak dari keluarga kelas menegah ke atas. Meskipun pemerintah mewajibkan sekolah-sekolah berstatus RSBI dan SBI untuk memberi kuoto sekian persen kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu namu di lapangan selalu menunjukkan kenyataan yang berbeda.

Ketiga, sebaran sekolah dengan fasilitas bagus, ditunjang dengan tenaga kependidikan (guru) yang berkualitas tidak sampai ke pelosok-pelosok. Fasilitas sekolah di pelosok-pelosok Nusantara sangat jauh tertinggal dari sekolah-sekolah yang ada di kota-kota besar. Hal itu berlaku sama untuk sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Dengan fasilitas sekolah yang kurang memadai serta jaminan yang kurang bagi para guru menyebabkan guru-guru dengan kualifikasi bagus akan sulit melirik sekolah-sekolah di pelosok atau pedalaman. Hingga kini, pemerintah belum mampu untuk melaksanakan amanat UU sisdiknas dan PPRI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Maka semakin lengkaplah sudah diskriminasi pendidikan itu dialami oleh orang-orang tidak beruntung di negeri ini, yakni mereka yang cacat, anak-anak dari keluarga kurang mampu serta anak-anak dari pedalaman dan pelosok Indonesia.

Pemerintah Buat Apa?

Pemerintah, melalui Kementrian Pendidikan terus berupaya untuk mengatasi diskriminasi yang barangkali tidak mereka sadari telah mereka ciptakan itu. Setidaknya hal itu dapat terlihat dari terus naiknya anggaran pendidikan dari tahun ke tahun.

Sebagai gambaran saja, dalam UU No X Tahun 2010 tentang APBN tahun 2011, anggaran pendidikan nasional untuk tahun 2011 sebesar 20,2% dari total anggaran atau sebesar Rp248.978.493.061.200,00 dari total anggaran belanja Negara tahun 2011 sebesar Rp1.229.558.465.306.000,00 (Pasal 28 ayat 1-2).Dari jumlah itu, untuk tunjangan profesi guru (TPG) sebesar Rp 18.537.689.880.200,00 dan bantuan operasional sekolah (BOS) sebesar Rp 16.812.005.760.000 (pasal 27 ayat 6-7). Dalam APBNP 2011, alokasi untuk pendidikan bertambah Rp. 11,762,883,360,000.

Pada APBN tahun 2012 anggaran pendidikan dialokasikan Rp 289.957.815.783.800 (dua ratus delapan puluh sembilan triliun sembilan ratus lima puluh tujuh milyar delapan ratus lima belas juta tjuh ratus delapan puluh tiga ribu delapan ratus rupiah )atau sekitar 20,20% dari total RAPBN Rp 1.435.406.719.999.000. Dari anggaran Rp 289,96 triliun itu, Rp 64,351 triliun dialokasikan untuk kementrian pendidikan dan kebudayaan. Plus dana Pengembangan pendidikan Nasional sebesar Rp 1.000.000.000.000 (satu triliun rupiah) (UU RI No 22 Tahun 2011, tentang APBN TA 2012, Pasal 29 ayat 1-3).

Tidak Memecahkan Masalah

Pertanyaanya adalah apakah dengan alokasi dana sebesar itu persoalan diskriminasi dan kesenjangan dalam dunia pendidikan di Indonesia segera teratasi?

Penyaluran dana BOS dan DAK untuk pendidikan sudah berlangsung beberapa tahun. Tetapi selama tahun-tahun itu kita masih melihat dan mendengar adanya anak yang ditolak masuk sekolah karena tidak bisa bayar SPP atau uang seragam. Ada yang harus membawa kursi sendiri dari rumah karena di sekolah tidak tersedia kursi baginya. Berita terbaru, kita mendengar adanya seorang atlet nasional yang ikut sea games ijazah SMU-nya masih ditahan sekolah karena belum mampu untuk mebayar uang sekolah sebesar Rp 2,5 juta.

Lebih daripada itu, selama tahun ajaran 2010/2011 kita masih mendengar adanya masalah dalam penyaluran dana BOS oleh karena birokrasi yang berbelit-belit. Belum lagi soal pemanfaatan dana BOS yang tidak sesuai peruntukannya. Masalah berjubel menghadang suksesnya pembangunanpendidikan nasional Indonesia.

Maka terbuktilah bahwa dana besar yang digelontorkan pemerintah untuk pembangunan pendidikan Indonesia tidak mengatasi persoalan yang ada. Selama birokasi penyaluran dan pencairan dana BOS masih berbelit-belit dan peluang korupsi atas dana itu masih besar, maka program itu tidak lebih dari pemborosan dana. Selama sekolah masih harus membuat proposal untuk pencairan dana rehab kelas, pembuatan ruang kelas baru, pembuatan laboratorium dan perpustakaan dan harus melewat jalan yang berbelit-belit di kemdikbud, maka selama itu pula peluang korupsi masih besar dan sekolah tetap tidak mendapatkan apa-apa.

Apa yang mau saya sampaikan adalah seluruh persoalan pendidikan kita didasari atas tidak adanya kehendak yang kuat dan sungguh-sungguh dari pihak pemerintah dan jajarannya diperparah oleh mental yang suka korup dari para aparat pada berbagai level dan jalur yang dilewati dana-dana pembangunan duniapendidikan. Selama penyakit-penyakit itu tetap ada, mimpi pemerataan pendidikan, pengentasan buta aksara dan semua anak usia sekolah bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan yang layak, masih jauh dari menjadi kenyataan di bumi pertiwi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun