"Ini sudah cukup, Bu," jawab Sono yang telah menghabiskan tiga potong singkong rebus ukuran besar.
"Ya sudah. Berangkat sana," kata Ibu sambil tersenyum.
Diperhatikan anak semata wayangnya yang tengah beranjak remaja. Usai rawan bagi seorang anak untuk perkembangan psikologisnya. Akan sangat beresiko jika tidak ada pendampingan secara bijaksana dari orangtuanya. Apalagi Sono dibesarkan di lingkungan yang keras, disebuah padepokan pencak silat yang diasuh oleh kakek Sono.Â
Sono mengambil dasi dan topi dari dalam tasnya. Kemudian Ibu membantu memakaikannya.
"Ibu, Sono berangkat dulu," kata Sono berpamitan sambil mencium tangan ibunya.
Sono menyambar tasnya lalu bergegas menuju garasi mengambil sepedanya. Sebentar kemudian dia sudah menyusuri jalan kampung menuju rumah Tono.
"Ton, ayo berangkat!" teriak Sono di depan pagar rumah Tono. Tono bergegas keluar menuju sepedanya yang telah dia persiapkan di depan rumahnya.
"Hahh ... kamu, Son. Hampir saja aku berangkat sendiri. Sudah lewat lima belas menit, nih, nunggunya," kata Tono
"He he ... maaf, Ton. Aku agak kesiangan tadi bangunnya."
"Makanya jangan kemalaman tidurnya. Pasti ngelamunin Putri terus kamu, Son."
"Aku belajar sampai malam, Ton. Tapi keterusan ngelamunin Putri," kata Sono tidak menepis tuduhan Tono. Memang begitulah cinta akan menemukan dirinya. Meskipun Sono hingga kini belum mengetahui keberadaan Putri.