Secangkir kopi panas menemaniku di sebuah kafe langgananku di tepi jalan raya antar kota. Semilir angin berhembus pelan meluruhkan daun-daun kuning pepohonan di tepi jalan. Siang yang begitu panas, tetapi rimbunnya dedaunan mampu menahan tajamnya sinar mentari yang menghunjam bumi. Terbentuk kanopi-kanopi alami di penggal ruas jalan raya itu. Begitu teduh hingga membuat betah sekumpulan bocah yang sedang bermain di bawahnya, tepat di samping kafe tempat Aku membunuh waktuku.
Telolet ... telolet ....
Suara itu memaksa Aku untuk segera beranjak dari tempat dudukku. Kuseruput kopiku yang masih setengah cangkir sambil melirik pada seorang gadis pemilik kafe yang duduk semeja di depanku. Kemudian Aku mengambil sejumlah uang dan kuberikan padanya.
"Terimakasih untuk kopi panasnya."
"Aku senang kamu selalu mampir ke tempatku walau hanya sebentar ..."
Dia menolak uang pemberianku secara halus seperti waktu-waktu yang telah lalu. Tapi Aku terus memaksanya. Kupegang lembut tangannya dan kugenggamkan uang itu.
"Uang ini ... anggap saja sebagai uang sewa tempat selama aku mampir dan duduk di sini. Jika kamu menolaknya aku ...."
Belum selesai Aku bicara Gadis itu tersenyum manis sambil menatapku dalam-dalam hingga mampu membuat lidahku kelu dan menghentikan kata-kataku. Dia mengembalikan uang itu dan menggenggam erat tanganku.
"Jika aku menolak ... kamu masih tetap mampir ke sini."
Aku terdiam oleh kata-kata itu. Dia berusaha memutar balik logikaku dan membenamkan kata-kata itu ke dalam alam bawah sadarku. Sejenak Aku dan dia saling bertatap mata.
"Hati-hati di jalan ...."