Saat itu sudah lewat jam 9 pagi ketika Aku berpapasan dengan penjual burjo (bubur kacang ijo) yang biasa mangkal di sekolah TK anakku. Aku berniat membeli tiga mangkok burjo sekaligus tetapi di bungkus, untuk Aku, istri, dan anakku.
Segera Aku membelokkan motorku dan menghampiri penjualnya. Belum juga turun dari motor dan menyampaikan maksudku, penjual burjo itu sudah tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Maaf, Mas, sudah habis," kata penjualnya.
"Yahh ... jam segini koq sudah habis, Pak?"
Aku kecewa dengan situasi seperti ini. Saat perutku lapar tetapi keinginan tidak kesampaian. Bayangan kelezatan semangkok burjo hilang seketika. Aku hanya bisa menelan ludah. Sementara penjual burjo tersenyum lega karena dagangannya telah habis terjual.
Dan pada pagi hari tersebut penjual burjo memperoleh rejeki yang sudah di tetapkan karena usahanya.
Mengapa Aku tidak bisa ikut bersyukur dan merasa gembira dengan keadaan ini?
Karena Aku punya kepentingan yang tidak terpenuhi di sana. Aku tidak peduli dengan usahanya ... dengan rejekinya ... dengan semuanya .... Aku hanya ingin memenuhi nafsu laparku saja tanpa memperdulikan kepentingan keinginan orang lain.
Aku tidak bisa melihat hakikat syukur yang sebenarnya pada keadaan ini. Dan ini masih sering terjadi di sisi-sisi lain kehidupan manusia pada umumnya.
Astaghfirullah ....
Aku hanya melihat keadaan ini dengan kacamataku. Sedangkan penjual burjo itu melihat dengan kacamatanya. Kacamataku memberikan sudut pandang yang berbeda dengan kacamatanya. Andai saja Aku mau meminjam kacamatanya sejenak, mungkin akan terlihat indah kehidupan ini. Dan Aku dapat merasakan hakikat syukur dalam kondisi apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H