Mohon tunggu...
Abdul Chalid Bibbi Pariwa
Abdul Chalid Bibbi Pariwa Mohon Tunggu... -

Warga di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Melawan Disfungsi Jurnalis dan Media (Catatan Menyambut Kongres AJI Makassar)

30 Juni 2013   17:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:12 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Hanya menghitung hari, yaitu tanggal 1 hingga 2 Juni 2013, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar kembali menggelar konferensi. Moment ini kembali akan tertulis pada deret cerita atau catatan sejarah perjalanan AJI Makassar dalam mewarnai kehidupan berdemokrasi di Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar.

Bagaimana tidak, konferta adalah forum pengambilan keputusan tertinggi AJI Makassar. Perhelatan ini tak sekadar menjadi arena dialektika pergantian, dan memilih ketua untuk selama beberapa periode depan. Tapi, sekaligus jadi ruang strategis bagi AJI selama tiga tahun sekali untuk merancang agenda-agenda perjuangannya, yaitu menguatkan fungsi media dalam mendidik masyarakat lewat informasi dan menciptakan iklim demokrasi yang baik. Sejak hadir secara terbuka dan dikelola secara profesional oleh sejumlah jurnalis di Kota Makassar pada tahun 1998,  AJI Makassar terhitung telah menggelar kongres sebanyak 7 (tujuh) kali. Berarti,  sejak itu AJI Makassar telah sempat dinakhkodai sebanyak tujuh ketua.  Dalam catatan AJI, seluruh proses pergantian tersebut berlangsung secara normal dan  demokratis, nyaris tanpa dibarengi masalah.

Situasi tersebut menunjukkan, AJI Makassar secara kelembagaan memiliki struktur kepengurusan dan keanggotaan yang solid. Padahal, dalam kurun waktu itu bukan berarti perjalanan AJI Makassar berjalan mulus. Sebagai lembaga profesi yang konsisten dan progresif memperjuangkan fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi, AJI Makassar  mengalami banyak tekanan secara eksternal. Selain itu, karakter anggota AJI yang sebagian besar berusia muda dan progresif,  dengan latar media yang berbeda, cenderung membawa situasi internal organisasi ini kompleks dalam silang pendapat. Meski begitu,  dialektika yang kuat secara internal itu justru memberikan banyak sumbangsih bagi  AJI dalam melewati berbagai masalah. Terutama menghadapi tekanan dari luar. Situasi itu ada akhirnya menjadi ciri dan kekuatan utamanya.

Sekarang, jika tak ada aral melintang AJI Makassar bakal menggelar kongresnya yang ke delapan.  Bukan tak mungkin, situasi kongres ini akan mengalami banyak diskursus. Selain masalah internal,  peserta  akan diperhadapkan dengan sejumlah topik, realita dunia jurnalisme yang berkembang saat ini di tanah air khususnya di Sulawesi Selatan. Paling krusial mengenai tingkat kepercayaan publik terhadap integritas jurnalis dan media sebagai elemen inti dalam transformasi informasi yang cenderung turun. Hal itu secara spesifik meliputi wacana politik dan media, profesionalisme kerja-kerja jurnalisme, independensi jurnalis dan media, serta tak sedikit membahas latar belakang, seperti kapasitas jurnalis, kesejahteraan dan hak-hak normatif pekerja media. Juga soal sengketa pers dan kekerasan terhadap jurnalis.  Dalam hemat penulis, jika AJI Makassar masih memiliki posisi yang jelas dalam berbagai hal tersebut. Maka, pasti dibahas.

Sejak awal, organisasi ini dibentuk dan digariskan memperjuangkan serta menegakkan idealitas pers.  Hal itu dijelaskan secara tegas dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga AJI, bahwa AJI bertujuan memperjuangkan hak berpendapat, hak atas informasi, hak berkumpul, dan hak berserikat bagi semua orang serta  membela dan memperjuangkan harkat martabat dan kesejahteraan jurnalis dan pekerja pers Indonesia.  Salah satu tugas AJI Makassar seperti disebut, yaitu memenuhi hak publik atas informasi. Lalu, bagaimana bila publik kurang percaya?? Tentu saja, bisa disebut sebagai ironi.

Sejak didirikan, AJI secara garis besar memperjuangkan berbagai tujuan di atas. Karenanya secara kelembagaan, struktur kepengurusan AJI Makassar  dibentuk berdasarkan pondasi perjuangan tersebut. Secara umum, struktur AJI Makassar meliputi empat divisi; Pertama, Organisasi dan Pengembangan Profesi (OPP), tugasnya mengupayakan peningkatan kapasitas dan kapabilitas angota AJI Makassar, baik dari sisi pengetahuan maupun kode etik. Tak hanya itu, OPP juga diharapkan mendorong anggota AJI menguasai wacana serta  mengkaji berbagai tema yang berkembang di tengah masyarakat terkait fungsi pers, independensi jurnalis dan media, serta yang lain. Kedua, Divisi Serikat Pekerja, tugasnya memperjuangkan hak-hak normatif jurnalis. Ketiga, Divisi Advokasi, berfungsi meningkatkatkan kapasitas jurnalis dan adovikasi, litigasi dan non litigasi, sosialisasi,  mediasi sengketa pers, dan lain-lain. Divisi advokasi juga mendorong terbentuknya Lembaga Bantuan Hukum Pers yang dapat mengadvokasi dan memediasi sengketa pers.  Dan, keempat eksternal sebagai divisi yang diharapkan membangun kerjasama dengan pihak –pihak di luar AJI Makassar. Selain itu, AJI Makassar juga tetap memantau isi media menyangkut kekerasan terhadap perempuan.

Menghadapi Konferta ke VIII ini, seyogyanya anggota AJI Makassar telah membawa se-abrek catatan penting. Kemudian mereka utarakan dalam Konferta sebagai bahan merumuskan agenda-agenda AJI Makassar, menghadapi berbagai masalah kekinian, dan beberapa tahun ke depan. Selain lebih bernilai dari sekadar obrolan warung kopi, setidaknya, diskursus ini akan memiliki legitimasi dan bernilai bagi pengembangan AJI Makassar.

Di tengah realitas media dan kehidupan jurnalisme saat ini, sangat disayangkan bila Konferta ini nantinya berlalu begitu saja, dan sekadar jadi ajang debat kusir. Pada konferta ini, komitmen terhadap perjuangan AJI Makassar, mesti lebih ditegaskan. Pada periode sebelumnya, berbagai usaha telah dilakukan pengurus, mengimplementasikan dasar perjuangan AJI Makassar dalam bentuk program kerja.  Antara lain,  dengan melakukan sosialisasi nilai-nilai ideal jurnalisme dan penyadaran atas hak-hak ekonomi pekerja pers. Secara spesifik sosialisasi ini meliputi pelatihan jurnalistik, diskusi,  seminar serta penerbitan hasil-hasil pengkajian dan penelitian soal pers.  Sedang program pembelaan terhadap hak-hak pekerja pers,  antara lain dilakukan lewat advokasi,  bantuan hukum dan bantuan kemanusiaan untuk mereka yang mengalami represif, baik oleh perusahaan pers itu sendiri,  institusi negara, maupun oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Dalam membangun relasi yang baik antara pekerja media dengan masyarakat informasi, AJI Makassar melakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Melalui divisi advokasi dan Serikat Pekerja, AJI banyak menggelar dialog, seminar, dan focus discussion group yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, dari kalangan akademis, institusi negara, dan kelompok-kelompok kepentingan. Temanya meliputi kebebasan berpendapat, mediasi sengketa pers, dan lainnya yang menyangkut penegakan fungsi pers.

Bahkan, dalam upaya peningkatan profesionalisme kerja jurnalis, AJI Makassar bekerjasama AJI Indonesia berusaha melakukan internalisasi. Dalam setahun terakhir, bertempat di Kota Makassar,  AJI Makassar dan AJI Indonesia telah menggelar Uji Kompetensi Jurnalis sebanyak dua kali. Pesertanya, jurnalis anggota AJI di wilayah kawasan Timur.

Pada Konferta ke VIII, berbagai usaha ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi anggota. Dengan harapan, dalam menghadapi masalah media kekinian, AJI Makassar dapat berbenah diri, dan merumuskan strategi gerakan dan agenda yang lebih baik lagi ke depan. Hal ini menjadi penting, mengingat kualitas berdemokrasi yang diukur melalui penegakan tugas dan fungsi pokok pers, saat ini justru berbanding terbalik dengan terbukanya kran kebebasan berpendapat. Masalah ini tentu kajian lebih mendalam dalam Konferta.

AJI dan Sejarah kebebasan berpendapat

Hampir 32 tahun orde baru berkuasa di negeri ini, selama kurun itu pula,  dunia pers lunglai dalam proses tranformasi informasi publik. Kuatnya tekanan rezim, menyebabkan media tertatih dalam upaya menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi. Puncaknya 12 juni tahun 1994, dunia pers mengalami tekanan berat dari orde baru. Pemerintahan, membredel tiga media yang dianggap mengancam keberlangsungan proses politik dan  pemerintahan dalam negeri. Hampir bersamaan,  melalui Departemen Penerangan, detik,editor, dan tempo ditutup paksa. Situasi ini kemudian mendorong komunitas pers, aktivis dan jurnalis membangun gerakan solidaritas dan  perlawanan yang terjadi di seluruh pelosok negeri.

Tahun 1994, tepatnya 7 Agustus di Kota Bogor,  sekira 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih. Pada hari itu mereka menandatangani Deklarasi Sirnagalih yang menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI. Pada masa orde baru,  AJI masuk dalam daftar organisasi terlarang. Organisasi ini hanya dijalankan beberapa aktivis pers, dan bergerak bawah tanah.

Namun pada tahun 1995, gerakan ini menuntut biaya mahal.  Tiga anggotanya, Ahmad taufik, Kukuh Wardoyo dan  Eko Maryadi (sekarang ketua AJI Indonesia) dijebloskan ke penjara. Taufik dan Eko masuk bui masing-masing selama 3 tahun, lalu  Danang selama 20 bulan.  Tak puas hanya tiga anggota AJI itu, pemerintah juga mem-bui Andi Syahputra,  mitra penerbit AJI.  Ia masuk penjara selama 18 bulan sejak oktober 1996. Selain itu,  para aktivis AJI yang bekerja di media dibatasi ruang geraknya,  pejabat departemen penerangan menekan para pemimpin redaksi agar tidak memperkerjakan mereka di medianya.

Tekanan itu kian menguat, tapi  gerakan AJI tak patah arang.  Perlawanannya kian massif,  hingga di berbagai  pelosok Indonesia, AJI juga melakukan penguatan gerakan. Di Makassar, lembaga ini kemudian hadir atas inisiatif sejumlah jurnalis yang konsisten pada perjuangan penegakan fungsi pers. Pada tahun 1998, sejumlah  tokoh jurnalis mendirikan AJI Makassar secara terbuka. Pembentukan ini didukung pula oleh aktivis-aktivis pro demokrasi dan Ngo.  Sebelumnya, sejak tahun 1996, di Kota Daeng, AJI bahkan telah hadir secar tertutup-periode itu lebih banyak digerakkan aktivis mahasiswa dan pers kampus.

Tantangan Kini dan Mendatang

Setelah rezim orde baru tumbang,  tantangan dunia pers tak lagi berkutat pada disharmonisasi hubungan dengan rezim.  Setelah reformasi bergulir tahun 1998,  Indonesia kini memasuki era keterbukaan. Masyarakat luas dan jurnalis bebas berserikat,  berbicara dan berkumpul bersama. Kini,  AJI Makassar tak bisa lagi sekedar mengandalkan idealisme dan semangat para aktivisnya untuk menjalankan visi dan misi organisasi. Pada akhirnya, organisasi ini mulai digarap secara profesional bukan hanya karena jumlah anggotanya yang semakin banyak, namun tantangan dan masalah yang dihadapi semakin berat dan kompleks.

Kalau di masa Orde Baru, AJI harus berhadapan dengan rezim,  kini justru harus diperhadapkan dengan tantangan dari dalam, yaitu  entitas jurnalis dan media itu sendiri. Di samping tekanan dari faktor-faktor eksternal seperti tindak kekerasan dari kelompok kepentingan, aparat, dan lain-lain, AJI Makassar dalam setiap merancang agenda strategisnya, kini mesti menyiapkan diri menghadapi internal pekerja media. Sebuah “perang” yang lebih dahsyat karena melawan disfungsi jurnalis dan media dari dalam.

Di kalangan aktivis pers bahkan menyebutnya sebagai re-ideologisasi jurnalis dan media. Maksudnya, profesi ini jurnalisme berjalan dipisahkan dari hakikat moralnya, atau secara filsafat dikenal dengan etika. Nilai tawar media sebagai medium informasi berpengaruh, membuka mata berbagai kelompok kepentingan untuk menjadikannya sebagai mitra strategis dalam memuluskan agenda-agendanya. Bagi sebagian oknum jurnalis yang tidak memiliki “iman”, juga memanfaatkan nilai tawar untuk kepentingan pribadinya.

Dalam catatan AJI Makassar, Ada beberapa sebab yang mendorong jurnalis rela mempertaruhkan independensi dan integritasnya. Paling dasar, adalah pengetahuan terhadap tugas dan fungsi pokok jurnalistik, disinternalisasi nilai etika dan jurnalisme pada pribadi jurnalis,  upah di bawah standar, serta aturan media yang bersifat ambigu. Di internal media, masalah paling populer oleh  karena desakan kapitalisasi yang kuat lewat iklan.

Pada konteks ini, secara sederhana media dan jurnalis dapat dilihat dari tiga sisi; pertama¸ media dan jurnalis sebagai objek diam dan pasif (digoda); kedua,  sebagai objek aktif (menggoda);  ketiga , gabungan keduanya.

Akibat dari berbagai masalah di atas, keyakinan publik terhadap media massa, sebagai pilar keempat demokrasi tampak mengalami pergeseran. Munculnya gelombang pasang yang menyeret media ke dalam  industri menimbulkan dialektika baru di tengah  masyarakat dimana sebagian besar menilai fungsi media sebagai alat kontrol sosial, politik dan ekonomi  berjalan pincang.

Kehadiran media massa sebagai medium  transformasi peristiwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dianggap lebih condong sebagai  alat pemenuhan  kebutuhan  kekuasaan dan pasar. Justifikasi ini cukup beralasan dengan melihat pola perkembangan industri media yang bergantung pada  usaha, dengan  informasi sebagai komoditas utama untuk dijual. Dalam sistem media kekinian, banyak penggiat media melihat manajemen media tidak dapat berjalan dalam keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan industri di satu sisi, dan kebutuhan informasi substansial publik di lainnya.

Oligarki dan Monopoli Kepemilikan Media

Munculnya sistim media yang konvergen setidaknya membawa pengaruh besar terhadap proses transformasi informasi. Masyarakat diuntungkan karena dengan mudah, cepat, dan praktis memperoleh informasi secara luas dan akurat dengan suguhan fakta di depan mata. Dibalik perubahan mendasar dalam sistim transformasi informasi ini, masyarakat juga diajak lebih adaptif. Terutama dalam peningkatan kapasitas pengetahuan tentang teknologi informasi. Bahkan lebih jauh lagi, di era informasi ini, masyarakat lebih terbuka serta berusaha memahami  efek media dalam konteks kehidupan sosial, politik dan ekonomi.

Tentu, kemajuan media merupakan konsekuensi logis perjalanan peradaban manusia. Karena itu, terjadinya konvergensi media disamping menciptakan peluang dalam mengakses informasi yang lebih akurat bagi masyarakat, konvergensi media juga sekaligus memberikan tantangan baru. Satu diantaranya, terjadinya perubahan mendasar dalam sistim informasi yang menuntut kapabilitas individu dalam menguasai teknologi terbaru. Dengan sendirinya, kemajuan media akan merubah watak dan karakter masyarakat menuju peradaban modern yang memahami hak-hak dan kewajibannya dalam negara demokrasi.

Namun, kenyataan memang bisa pula berbalik dimana eksistensi industri media secara idealisme juga terancam. Ruh media sebagai alat kontrol secara nurani yang pro rakyat, akan tergerus oleh citarasa kepentingan ekonomi dan politik.

Kenyataan saat ini bahwa konvergensi pada media, rupanya tak hanya terjadi pada wilayah aplikasi teknologinya saja. Konvergensi juga terjadi pada wilayah kepemilikan media. Tak jarang terjadi akuisisi. Sehingga tidak sedikit kita jumpai tiga hingga sekian banyak hanya dimiliki oleh seorang pemilik saja. Dengan kondisi ini, kenyataan baru bisa muncul yaitu terjadinya monopoli usaha media. Selain memberikan manfaat, tentu saja dengan kecepatan serta akurasi yang dimiliki media dapat menjadi alat “pembunuh”.

Apa dampak dari monopoli media? Sudah pasti terjadi monopoli informasi.  Pada ranah kajian masyarakat demokrasi, tentu saja kondisi ini tidak menguntungkan.  Sejak penelitan masalah-masalah media marak dilakukan. Soal monopoli media telah menjadi salah satu sorotan para pengamat dan praktisi komunikasi. Kekhawatiran terhadap monopoli dan dampaknya bukan tak berasalan.  Di Amerika Serikat saja, di awal-awal kehadiran industri media, upaya monopoli telah terjadi. Pada konteks tersebut, para pengamat media menemukan fakta, salah satu penyebab munculnya hasrat monopoli karena media dianggap memiliki pengaruh besar terhadap arah perubahan kehidupan sosial politik. Trennya, media juga lebih sering menjadi sasaran empuk, memuluskan kepentingan politik di level pengambilan keputusan sebuah pemerintahan.  Atau, pada oknum-oknum aparat negara yang memiliki usaha-usaha illegal, dan sebagainya. Hal itu mengacu misalnya pada kasus Watergate di Amerika yang populer itu.

Hal sama juga terjadi saat ini. Media masih dilihat sebagai sebuah kekuatan atau entitas yang memiliki pengaruh besar terhadap proses kehidupan sosial politik. Situasi ini menyebabkan elit politik dan kekuasaan tak henti mengulak-alik siasat, bagaimana menguasai media. Jika di masa Orde Baru, budaya kritik media dimatikan secara , sekarang elit kekuasaan cenderung mematikan  dengan cara memusatkan kekuasaan dan kepemilikan modal. Dengan begitu, kelompok pro rakyat dan demokrasi melemah, sehingga media dapat pula dikuasai melalui kekuatan modal.

Terbukti, hampir seluruh media di Indonesia sekarang ini, terutama televisi dikuasai pengusaha yang sekaligus politisi. Dalam konteks ini, lahirnya media yang konvergen membawa dampak besar bagi proses kehidupan demokrasi di Indonesia. Sehingga, sebaliknya  justru bisa jadi ancaman besar kehidupan berdemokrasi di negeri ini. Bisa dibayangkan di era konvergensi ini, kecepatan dan daya jangkau media yang luas berkolaborasi dengan kepentingan elit.

Berangkat dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan tantangan AJI Makassar sekarang ini lebih  multidimensi. Hal itu juga dapat dirasakan AJI Makassar dalam  dua tahun terakhir.  Dalam catatan AJI Makassar, selama periode ini hampir seratus kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis dan media terjadi. Sebagian  diantaranya terkait dengan perhelatan politik, seperti yang baru-baru ini terjadi di Palopo.

Nah, di tengah carut marut disorientasi media, bukan berarti tak ada kebenaran di dalamnya. Penulis pribadi percaya, selama ruang demokrasi terbangun di ruang redaksi media, maka selama itu pula harapan terhadap media, ada. Sebab itu, Konferensi Kota AJI Makassar sangat strategis. Pada moment ini AJI Makassar perlu menyatukan sikap, dan memikirkan kembali cara mempertahankan kepercayaan publik itu terhadap intergritas jurnalis dan media.  Secara teknis, tentu saja AJI Makassar harus mendorong penguatan nilai etika di kalangan jurnalis, pemenuhan hak-hak normatif jurnalis, keberagaman kepemilikan media dan  news room yang demokratis.

Munculnya media berbasis pada usaha mencari keuntungan tidak dapat dihindari, terlebih dalam  menjawab tuntutan profesionalitas dalam bekerja.  Aliansi Jurnalis Independen (AJI), khususnya lagi   AJI Makassar memahami maksimalisasi  kinerja jurnalis  hanya dapat berjalan baik bila kebutuhannya dapat terpenuhi. Namun hal itu tak menutup keyakinan AJI bahwa karakter,  kesadaran atas nila-nilai perjuangan pers sebagai elemen keempat demokrasi oleh individu jurnalis memiliki peran besar dalam  penyajian  informasi berbasis pada publik. Nah, dalam kerangka industri media, AJI Makassar mesti memainkan perannya sebagai wadah berkumpulnya jurnalis selaku pioner transformasi informasi. Bila tidak, maka industri media hanya akan memanfaatkan integritas jurnalis terhadap nilai-nilai perjuangan tersebut. Akhirnya, Selamat Konferta AJI Makassar ke VIII. Selamat berjuang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun