Berperawakan sedang, tinggi badan tak begitu menjulang. Jenggot tipis menggantung dan sedikit uban di kepala. Celana congklang dan kemeja polos cerah menyederhanakan gayanya. Sepeda onthel tua dia kayuh dari dusun Seberang ke SD Tunas Bangsa Merdeka II. Berbekal beberapa buah buku cetakan lama di dalam tas saku kecilnya. Apabila turun hujan, sesekali juga dia bawa motor pitung merah tuanya. Jalan sempit nan licin tak melunturkan semangat mengajarnya. Ya, mengajar. Abdul Manaf, Seorang guru pengajar sederhana dari dusun Seberang. Pak Manaf, begitulah anak-anak memanggilnya.
11 tahun yang lalu pria keturunan Arab-Jawa ini tiba di dusun Seberang. Dusun yang sejuk dengan rimbun hutannya. Tempat yang aman dengan masyarakat madaninya. Pak Manaf merupakan sosok guru yang berbakat. Pembawaannya riang, wajahnya teduh dipandang. Pantas anak-anak senantiasa bersemangat menunggu kehadirannya. Setiap jam pelajarannya para siswa selalu berebut tempat di barisan depan. Matematika bukanlah mata pelajaran favorit di sekolah ini. Tapi tak ada yang tahu bagaimana cara pak Manaf mengajarkan matematika kepada semua muridnya. Tidak sekedar mengajarkan, namun juga menanamkan rasa cinta pada mata pelajaran ini.
Bagi pak Manaf anak-anak adalah generasi muda penerus pembangunan bangsa. Dan memang begitulah seharusnya. Bagaimana tidak, jiwa muda yg tak dibimbing kearah yang membangun, jadilah mereka di antara kaum-kaum yang merusak. Dengan tangan dinginnya, Pak Manaf telah menghilangkan matematika-phobia yang ada pada para muridnya. Ditambah pula dengan latar belakang agama yang kuat, pak Manaf selalu menyisipkan ilmu kerohanian di sela-sela pelajaran.
Telepon genggam butut kecil bergetar keras di saku kemeja pak Manaf. Nomor telepon asing tertulis di layar abu-abu. Mode silence sengaja dia aktifkan agar tak mengganggu ujian matematika yang sedang berlangsung di kelas. Sedikit mengerutkan dahi sambil bertanya dalam hati siapa yang ada di seberang sana.
"Anak-anak, ada yang mau ngomong sama bapak sebentar." Ucapan dengan tata bahasa seadanya meluncur santun dari bibir pak Manaf kepada para murid, "Bapak izin keluar sebentar, tolong jangan ribut ya."
"Ya, pak ..." terdengar beberapa murid menjawab lirih. Sebagian murid lain terlihat asyik menjawab soal akar kuadrat dan bangun ruang.
"Saya Mimin, pak Manaf ..." Suara imut itu mungkin masih tersimpan dalam ingatan orang tua yang sudah menginjak umur 51 tahun itu. Ya imut, Mimin salah satu murid berbakat yang dimiliki pak Manaf memiliki suara yang imut dan kecil. Bukan karena dia berbicara melalui telepon. Memang tak banyak perubahan pada suaranya. Namun yang pasti perubahan terjadi pada dirinya semenjak meneruskan sekolahnya yang sempat terhenti di kelas 4 SD. Dahulu pak Manaf membantu Mimin yang seorang yatim agar dapat meneruskan sekolahnya. Mimin selalu termotivasi setiap kali bertatap muka dengan guru favoritnya ini. Metode berhitung cepat dan efektif ala pak Maman berhasil membawanya menjadi seorang akuntan di sebuah perusahaan besar. Dan Mimin pantas berterima kasih kepada gurunya yang berjasa itu.
"Saya mau berterima kasih sama bapak. Bagi saya, bapak sangat berjasa membantu pendidikan saya."
"Wah hebat anak bapak yang satu ini." Senyum lebar tanda bahagia menghiasi raut muka yang sedikit dimakan usia itu, "Alhamdulillah, Min. Adik-adikmu di sini sudah siap menyusulmu di luar sana."
Pendidikan tak melulu menghitung angka. Para guru di nusantara merupakan pahlawan nusantara yang boleh jadi secara tidak langsung turut menyumbang tenaganya untuk membangun bangsa. Pak Manaf merupakan contoh kecil pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka bukannya tak bertanda, justru tandanya jelas terlihat di seluruh pelosok negri. Orang-orang hebat pasti memiliki satu, dua, tiga, atau beberapa orang guru. Jasanya adalah membentuk masyarakat yang unggul dan berkualitas. Terima kasih para pahlawan nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H