Berkaca dari pelaksanaan Pileg 2014 yang telah usai,tak berlebihan bila banyak pihak mengatakan bahwa demokrasi kita telah kehilangan elan vital nya sebagai jalan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat seperti tesis gramscy. Bahkan tak berlebihan apabila masih hidup ,Plato sebagai bapak Demokrasi akan menyesal melihat demokrasi yang dia ciptakan sebagai sebuah jalan kebajikan diperlakukan oleh para elit politik dan rakyat Indonesia menjadi sebuah “mainan” untuk meraih kekuasaan dan kekayaan.
Alih – alih menjadi media untuk mendidik masyarakat agar melek politik dan menciptakan sebuah tatanan masyarakat kesejahteraan (wellfare state), Pileg 2014 sebagai etalase demokrasi kita lebih banyak mempertontonkan prilaku barbar para elit politik baik partai maupun caleg dan prilaku binal rakyat sebagai konstituen pemilik kedaulatan. Wajah yang muncul kepermukaan dari pelaksanaan hajat politik kita jauh dari bisa disebut sebagai kontestansi terhormat para politisi untuk menapaki jalan pengabdian dan jalan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik dalam konstek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ranah politik kita dalam pileg 2014 lebih layak disebut rimba raya,dimana dalam setiap dinamika nya lebih kental mengadopsi tesis Darwin yaitu yang kuat yang bertahan (survive to be fittest) dan nisbi dengan aturan apalagi norma yang mengandung kebajikan. Dalam pileg 2014 para caleg sebagai kontestan dan rakyat sebagi konstituen telah menjelma menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus),yang dengan teganya mempertontokan prilaku saling memakan satu dan lainnya. Dalam titik ini ruang demokrasi kita malah menjelma menjadi siklus untuk menipu dan ditipu dan celakanya semua melakukan nya dengan sadar dan sukarela.
Rakyat dengan tega dan sukarela menipu para caleg dan dirinya sendiri dengan cara menggadaikan bahkan menjual simbol kedaulatan politik nya yaitu suara,dan celakanya untuk nominal yang tak seberapa. Dan para caleg pun dengan sukarela mau saja ditipu oleh rakyat ,karena kemudian mereka berfikir tokh ketika mereka jadi dan duduk di kursi kekuasaan yang bernama dewan perwakilan rakyat mereka bisa lebih menipu para rakyat yang memilihnya dengan mencuri lewat korupsi. Sampai dititik ini demokrasi kita lebih layak disebut kontestasi tipu – tipu gaya batu. Rakyat memilih untuk menjadikan anggota dewan bisa mencuri dan anggota dewan menipu rakyat untuk bisa korupsi dan kemudian dibui,jadi dari praktek tipu – tipu ini sejatinya dua belah pihak ini akan “tenggelam” seperti batu.
Praktek politik uang adalah biang keladi demokrasi kita bertransformasi menjadi rimba raya. Kuasa uang menjadi faktor penentu siapa bisa memenangkan pertarungan politik dalam pileg 2014. Dan aturan menjadi serupa mantra suci tanpa arti yang bisa dikangkangi semau hati tanpa takut disanksi,karena memang di indonesia sejatinya semua pihak memahami aturan adalah hal yang dibuat untuk dilanggar dan sanksi bisa dihindari asal tidak ketahaun. Persetan dengan kapasitas,kapabilitas,integritas maupun moralitas,asal mempunyai uang berlimpah dan mempunyai derajat kedermawanan luar biasa maka bisa dipastikan seorang caleg bisa dipilih rakyat dan keluar sebagai pemenang. Tak perlu strategi politik yang hebat dan mumpuni asal ada selembar kertas bergambar WR Supratman yang dibagikan pada saat menjelang hari pemilihan maka dipastikan seorang caleg bisa mendapat “simpati” rakyat untuk kemudiaan duduk dikursi kekuasaan dan bebas mencuri.
Berdasarkan hal diatas maka Pileg 2014 tak bisa diharapkan untuk bisa menjadi jalan merubah masa depan kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Realitasnya pileg hanya bisa menjadikan ranah demokrasi penuh dengan pemilih degil yang dengan tega melacurkan diri hanya demi selembar rupiah dan menafikan tugas dan tanggung jawabnya dalam perjuangan menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik dan anggota dewan yang binal yang hanya memikirkan jalan meraih kekuasaan dan kekayaan serta menafikan tugas suci politik sebagai jalan kebajikan dan pertanggung jawaban amanat dari rakyat yang memilihnya.
Kalau sudah begini taka ada yang patut dipersalahkan,karena serupa lingkaran setan. Rakyat dan caleg mempunyai kontribusi yang sama besarnya untuk menjadikan demokrasi kita semakin terdegradasi. Jadi jargon pemilu berkualitas dan berintegritas yang didengung – dengungkan KPU tampaknya hanya akan menjadi angin lalu. Dan dari Pileg 2014 rakyat tak bisa banyak berharap,karena apa ? anggota dewan yang mereka pilih kebanyakan adalah calon penjahat bukan calon pejabat.Tapi jangan salahkan anggota dewan karena sejatinya mereka mencuri karena rakyat duluan yang mencuri dari mereka pada saat kampanye,dengan cara meminta sejumlah uang agar mau memilih anggota dewan tersebut.
Semua sudah terjadi,semua telah berlalu yang pasti kita tinggal menunggu seperti apa wajah parlemen kita hasilPileg 2014,seperti kumpulan para politisi terhormat atau hanya sekumpulan binatang yang pindah dari rimba raya ke gedung parlemen,walluhualam. Yang pasti sejarah akan mencatat bahwa pileg 2014 adalah pemilu yang politik uang dipraktekan dengan vulgar dan brutal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H