Mohon tunggu...
Wahyu Boedoet
Wahyu Boedoet Mohon Tunggu... -

tinggal dan kuliah di jepang selama 8 tahun, 1994-2002. lalu tinggal dan kerja di singapore selama 8 tahun, 2002-2010. kini telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nyaris Anti Teori dan Penantian Suatu Sejarah Baru

6 Juli 2010   02:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:04 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Assalaamu 'alaikum,

Nyaris Anti Teori dan kini tengah menunggu akankah sejarah baru itu terlahir?

Di pelataran Cilandak Town Square, saat begadang ebrsama nonton pertandingan Spanyol vs Paraguay, saya berharap-harap cemas. ha ha, seumur-umur setelah belasan tahun mengutak-atik sepakbola, baru kali ini tebakan saya boncos, dan saat itu sudah 75% gagal. Akankah menjadi 100% gagal? Brasil keok di tangan Belanda, Argentina hancur di tangan Jerman, dan Ghana apes banget di kaki Uruguay. Apakah Spanyol juga akan pulang dengan menangis? Moga-moga tidak, harap saya saat itu. Bukan apa-apa, saat Brasil takluk oleh Belanda, saya gak sedih, karena Belanda adalah salah satu tim kuat dan favorit kesekian. Jadi gak apa Belanda yang maju, soale yang bisa maju cuma satu. Sewaktu Argentina takluk pun, saya tak terlalu kecewa, karena Jerman ebrmain sangat sempurna dan juga tim yang jadi favorit juara. Kala Ghana takluk dari Uruguay, yah, namanya apes, tapi gak kecewa juga, karena Uruguay di atas kertas memang lebih baik dari Ghana. Tapi tidak untuk Paraguay terhadap Spanyol. paraguay adalah tim medioker pengusung sepakbola beratahan. Dari 4 pertandingan, mereka cuma sanggup menceploskan 3 gol saja. Sedangkan Spanyol adalah tim menyerang yang menyanjung possesion football, dan berpredikat sebagai Juara Eropa. Apa jadinya kalau Spanyol rontok di tangan Portugal. Syukurlah mimpi buruk itu tidak jadi kenyataan, dan hasil akhir semifinal cukup fair dan gak kalah seru.

Brasil, kekuatan terbesar di dunia sepakbola dan pengusung gaya jogo bonito, ternyata luluh lantak oleh Belanda yang telah meninggalkan total football, menuju ke pragmatisme sepakbola. Brasil sendiri mengubah gayanya menjadi sepakbola pragmatis juga, dan Dunga, sang pelatih berkilah, bahwa dia dituntut untuk memberikan hasil. Percuma andaikan tetap menerapkan sepakbola indah tapi melulu kalah dan tak pernah jadi juara. Dunga sendiri adalah semasa bermain, tipe gelandang perusak, seorang gelandang yang menjadi jangkar tim dan bertugas menahan arus bola dari lawan. Jadi memang nalurinya tidak akan bisa mewujudkan jogo bonito, dan semua sudah tau itu. Pencapaian sebagai juara Piala Amerika 2007 dan Piala Konfederasi 2009, membuat orang "mengiyakan" filosofinya untuk membuang jogo bonito. Dia sendiri dikecam oleh para mantan bintang jogo bonito, seperti Socrates, pele dll, sebagai pembawa lonceng kematian jogo bonito. Kalah ada yang patut disyukuri dari kekalahan Brasil kali ini, tak lain adalah gagalnya teori Dunga tentang pencampakkan jogo bonito dan menggantinya mengikuti tren masa kini, sepakbola pragmatis yang lebih mementingkan hasil.Brasil memang kadang memperlihatkan permainan ciamik di Piala Dunia kali ini. Namun itu hanyalah lahir dari skill individu sang pemain dan bukanlah dari satu kesatuan tim sebagai strategi permainan. Kini dunia boleh berharap akan kembalinya si anak hilang si Jogo Bonito dalam tahun-tahun mendatang. Brasil memang dilahirkan sebagai jogo bonito dan bukan anak dari sepakbola pragmatis.

Kekalahan Brasil dari Belanda adalah tak lepas dari kecerdikan Belanda memainkan emosi para pemain Brasil. Belanda mengalami hal serupa saat bertanding di 16 besar Piala Dunia 2006 melawan Portugal. Saat itu mereka yang "habis" karena terpancing emosi oleh Portugal. Kini mereka membalikkannya saat melawan Brasil. Mereka bermain tenang meskipun tidak indah. Arjen Robben adalah aktor utama perusaka suasana kondusif Brasil. Ditekel sedikit guling-gulingnya seribu kali. Dunga sekali pun terlihat sangat emosi di pinggir lapangan. Kaka, sang playmaker yang sabar dan kalem sekalipun menjadi tidak sabar pula. Dengan emosi yang emraja, akhirnya sangat sulit sekali untuk bisa berkonsentrasi  dan fokus. Ditambah lagi Belanda "mematikan" Robinhod an membuat Luis Fabiano tak berfungsi. Kaka pun kehilangan irama orkestranya. Mental Brasil mencapai titik nadir saat Felipe Melo melakukan gol bunuh diri. Belum bangkit lagi, gol kedua pun menghunjam jantung Brasil. Melo, adalah sebuah ironi, dai yang memberikan assist gol, lalu membuat gol bunuh diri tapi kemudian dikartu merahkan juga. Brasil hancur lebur, dan di luar dugaan tak pernah bisa bangkit. Mental juara mereka telah lenyap dan tak ada seorang dirigen yang mampu membangkitkan motivasi.

Belanda yang bermain biasa-biasa saja, sangat sangat diharapkan tidak cuma sekedar mencari sejarah baru, tapi kembali kepada asal nalurinya, yakni permainan Total Football. Saat Belanda menjadi juara dunia tanpa memperagakan Total Football, itu artinya Total Football telah mati terkubur. Dengan Total Football, sebuah sistem possesion-pressing football, dimana para pemain bisa berotasi posisi dan menyerang dari segala penjuru, Belanda hanya mampu mencapai 2 kali Final Piala Dunia, yakni tahun 1974 dan 1978, dan sekali menjadi Juara Piala Eropa pada tahun 1988. Kalau saja Bert van Marwicjk berhasil membawa Belanda menjadi Juara Dunia, itu artinya pencapaian total football tak berarti apa-apa dibandingkan sepakbola pragmatisme. Dan boleh jadi total football tak perlu dilirik lagi dan hanya akan menjadi kenangan masa lalu. Dari sisi idealisme sepakbola, sayang sekali andaikan total football itu dilupakan dan terlupakan. Dari segi dukungan, tentu saja pendukung Belanda tak akan peduli, dan buat mereka yang terpenting Belanda adalah juara dan juara, persetan dengan gaya sepakbola. Toh sudah suatu suratan takdir bahwa sepakbola kini berganti gaya dan hasil adalah yang terpenting. Wesley Sneijder tak pelak lagi akan menjadi pemain terbaik di dunia kala Belanda menjadi juara dunia. Dia baru saja membawa Inter Milan merebut Treble Winner. Makin lengkaplah karier mengkilapnya andaikan negerinya juga menjadi Juara Dunia, dan itu berarti dia akan melampui prestasi legenda terbesar Belanda, Johan Cruyff. Ingat juga, di bawah Marwicjk, timnas Belanda sudah tidak terkalahkan dalam 24 kali pertandingan. Merekalah satu-satunya tim yang sejak babak kualifikasi lallu, lalu babak penyisihan final kali ini, yang selalu mencatat hasil sempurna alias menang terus. Luar Biasa.

Argentina yang bermain sangat ciamik dalam gaya Tangodona, yang begitu dahsyat di babak penyisihan, ternyata tak mampu menjebol ketangguhan Tembok Berlin. Argentina memiliki stok striker terdahsyat di dunia. Lionel Messi dan Gonzalo Higuain adalah top scorer nomor satu dan nomor dua di La Liga Spanyol dan Eropa. Sergio Kun Aguero juga striker tajam andalan Atletico Madrid dan banyak mendulang gol. Martin Palermo, striker gaek itu adalah top scorer di liga Amerika Latin. Carlos Tevez adalah penyerang berbahaya yang mencetak lebih dari 20 gol untuk Manchester City di ajang EPL Inggirs. Diego Milito, top scorer Serie A Italia dan baru saja membawa Inter Milan merebut Trebel Winner Eropa, sekalipun, tak bisa dipasangkan karena begitu melimpahnya striker dahsyat Argentina, sedangkan di lapangan hanya boleh dipasang 2 saja. Ketika Messi "dimatikan", dan ketika pemain Jerman begitu rapat dan disiplin menjaga daerah pertahanannya, Argentina seperti berhadapan dengan Tembok Berlin yang sesungguhnya. Bola dari mereka mental dan mereka nyaris tak pernah mendapatkan chance untuk menembak bola ke gawang Jerman. Upaya yang berkali-kali gagal karena membentur Tembok Berlin, membuat mereka frustasi dan akhirnya lengah dibobol 4 kali oleh Jerman. Pertahanan Argentina kali ini memang tak terlalu kuat, sebab mereka sendiri mengusung konsep seperti Brasil masa lalu, yakni memenangkan pertandingan dengan jalan mencetak gol sebanyak-banyaknya dan bukan mencegah gol ke gawang sendiri. Itulah suratan nasib mereka, dan Maradona pun mungkin "gembira" juga karena tak perlu berlari telanjang di Buenos Aires, nazarnya andaikan Argentina menjadi kampiun.

Jerman kali ini bermain sangat sangat luar biasa dan sempurna. Mereka dalah tim termuda ketiga dari sisi umur. Banyak yang memperkirakan bahwa Jerman akan pulang lebih awal, apalagi sang kapten, Ballack absen dan penggantinya adalah para pemain muda. Joachim Loew, sang pelatih sendiri, awalnya tidak yakin dan memprediksi tim mudanya baru akan matang 2-4 tahun ke depan. Tapi nyatanya, mereka matang sangat cepat. Adakah sesuatu yang membuat mereka menjadi begitu sempurna? Jawabnya ada 2. Yang pertama adalah kegeniusan dan kebrilyanan seorang Joachim Loew, yang memang seorang ahli strategi. Pelatih muda ini adalah tipikal pelatih modern, yang memanfaatkan jasa teknologi dan strategi untuk menerapkan taktik di lapangan. Dia memiliki 38 staf yang siap membantunya menganalisa lawan, mencari taktik terbaik untuk meredam lawan dan melumat musuh-musuhnya. Sampai-sampai dia memiliki seorang staf yang khusus bertugas sebagai inteljen, dengan mematai-matai langsung pertandingan calon lawan, lalu menemukan kelemahan calon lawan dan akhirnya membantu memebrikan saran atas taktik di lapangan nantinya. Tentunya dia juga memiliki staf pelatih khusus untuk kiper, kebugaran dll. Taktik Jerman memang sangat sempurna. Bertahan secara kokoh, lalu tiba-tiba menusuk dengan cepat melalui kecepatan para pemain mudanya, untuk langsung menusuk menghunjam jantung pertahanan lawannya sebelum sang lawan bersiap untuk diserang.

Jerman menang karena mereka benar-benar siap bertempur, jauh lebih siap dari tim lainnya. Jadi jangan heran, kalau bukan karena nasib sial, Jerman bakal menjadi kampiun kali ini. Yang kedua adalah bibit unggul para pemain muda. Asal tau saja, Jerman adalah Juara Eropa untuk kategori U-16, U-18 dan U-20. Mesut Oziel, Thomas Mueller adalah anggota tim Juara Eropa U-20. Bibit mereka memang bagus, buah dari pembinaan di klub yang dimulai di pertengahan dekade 1990-an, saat klub Jerman "jatuh miskin" karena TV yang membayar banyak royalti ke mereka telah bangkrut. Akibatnya mereka tidak punya uang untuk jor-joran membeli pemain mahal. Dengan dipimpin sendiri oleh pihak otoritas di Jerman, akhirnya klub-klub disarankan memiliki akademi sepakbola sendiri. Dengan demikian mereka bisa mensuplai diri mereka sendiri dengan pemain binaan mereka dan bukan pemain karbitan yang terkenal dan berharga mahal. Barcelona dan Ajax Amsterdam sudah terkenal sekali dengan akademi sepakbolanya yang banyak menghasilkan pemain terbaik di dunia, dan tak perlu repot-repot mencari pemain asing. Jadi, sepakbola Jerman itu maju karena ada Proses dan Tahapan. Beda dengan apa yang dilakukan dan dialami Inggris. Di Inggris, talenta muda mereka sulit untuk bersaing merebut posisi starting eleven di klub. Malah tak jarang, klub seperti Arsenal tidak memasukkan satu pun pmain Inggris ke starting eleven mereka. Buat pendukung, pengurus, pelatih klub dll, yang penting mereka menang. Tapi efek negatifnya, hasil instan itu berimbas pada keseluruhan prestasi timnas mereka yang memang tak pernah mencapai puncak sampai kapan pun, kecuali turnamen diselenggarakan di negeri mereka sendiri.

Spanyol kini sedang menuju pencapaian puncaknya dengan bermaterikan pemain terbaik mereka sepanjang masa. Di level klub, telah sejak lama mereka berhasil menakulukkan Eropa dan dunia. Real Madrid adalah klub yang merebut gelar Champions League terbanyak dengan torehan sembilan kali. Barcelona adalah satu-satunya klub di dunia yang pernah memenangkan 6 piala dalam satu musim. Sepakbola Barcelona adalah sepakbola yang tak perlu didiskusikan lagi, demikian ungkapan kedahsyatan sepakbola Spanyol. Tapi mengapa Spanyol tak pernah menjadi kampiun di level negara? Dulu adalah masalah mental. Mereka selalu hancur saat bersatu di tim nasional. Namun mitos itu berhasil mereka patahkan melalui pencapaian di Euro cup 2008. Akankah generasi emas mereka mampu melangkah lebih jauh dengan merebut Piala Dunia? Kalau tidak sekarang, rasanya Spanyol tidak akan pernah lagi merebut gelar Juara Dunia. Kalau kali ini gagal, maka mungkin perlu belasan tahun lagi bagi mereka untuk menemukan generasi emas yang baru. It is now or never, Spanyol. Tim Matador ini sangat kuat di lapangan tenagh, karena mereka adalah tim yang mengusung konsep dominant football. Dengan possesion ball yang dominan, mereka yakin bisa memenangi pertandingan. Dominasi bola oleh Spanyol selalu lebih di atas 55%. Mereka memang memiliki barisan gelandang terbaik di dunia, yakni Xavi Hernandez, Andreas Iniesta, David Silva, Xabi Alonso, Cesc Fabregas dll. Sayang sekali, Marcos Sena tidak dipanggil, sehingga daya gedor Spanyol agak kurang, karena mereka terbagi untuk konsentrasi ke pertahanan, suatu tanggung jawab yang dulu cukup dipercayakan kepada gelandang bertahan nomor wahid, Marcos Sena.

Lalu bagaimana dengan Uruguay? Uruguay adalah tim yang tak diduga-duga kemoncerannya karena kualitas pemain mereka yang nyaris tak terdengar, kecuali Diego Forlan yang bermian di Atletico Madrid. Mereka sendiri lolos ke putaran final ini dengan susah payah setelah melalui babak playy off melawan Costa Rica. Tapi jangan salah, sebenarnya Uruguay dulunya adalah kekuatan raksasa sepakbola. Mereka lah negara pertama yang menjuarai Piala Dunia, yakni di tahun 1930, lalu menjadi kampiun kembali di tahun 1950. Di era 1920-an mereka 2 kali menjadi juara Olimpiade, sehingga dihadiahi menjadi tuan rumah pertama Piala Dunia. Di level klub, beberapa kali klub mereka sempat menjuarai Piala Libertadores maupun Piala Dunia Antar Klub. Sebut saja misalnya Nacional Montevideo. Di ajang Piala Amerika, mereka sebenarnya negeri terbanyak yang menjadi kampiun di sana. Namun memang dasawarsa belakangan ini mereka tak memiliki timnas yang tangguh maupun pemain yang mumpuni. Kini hanya tersisa Diego Forlan, yang sejauh ini namanya dikenal oleh dunia. Dengan pencapaian masuk semifinal saja, para pemain Uruguay akan banyak diburu oleh para klub-klub Eropa. Uruguay pada dasarnya adalah penganut sepakbola bertahan. Namun di tangan pelatih Marcelo Bielsa, kini Uruguay pun sanggup memainkan sepakbola menyerang yang ciamik. Apalagi kini mereka menjadi benteng penjaga kehormatan sepakbola Amerika Latin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun