Ide menulis tulisan ini, tiba-tiba saja terlintas di benak saya ketika membuka media sosial dan membaca banyaknya ajakan untuk memboikot produk-produk Israel. Sebuah situs yang kerap dijadikan rujukan di media sosial adalah situs ini (http://boycottisraeltoday.wordpress.com/boycott-israel/). Tulisan ini tidak berfokus pada konten situs tersebut, namun mencoba membahasnya dari perspektif manajemen pemasaran - perilaku konsumen.
[caption id="attachment_350860" align="aligncenter" width="484" caption="Produk-produk Israel (Sumber:http://boycottisraeltoday.wordpress.com/boycott-israel/)"][/caption]
Substitusi... pilihan kata itulah yang saya gunakan, dibandingkan menggunakan kata "boikot". Pada berbagai kesempatan di kelas... pada pembahasan tentang Permintaan dan Penawaran, tiada bosan saya men-sosialisasi-kan dan memberikan himbauan ini.
Jika permintaan turun sedangkan pasokan tetap/bertambah maka harga akan turun. Itu dampak jangka pendek. Jika kondisi penurunan permintaan berlangsung secara massive dan kontiniu, maka dalam jangka panjang tentu saja produk tersebut akan declining.
Mayoritas produk2 ini sudah banyak substitusinya... sehingga ketergantungan konsumen terhadap produk2 tersebut mestinya sudah sangat jauh berkurang. Namun demikian, mindset bahwa mengkonsumsi produk2 ini adalah keren, rupanya masih melekat erat. Buktinya? sebagian dari kita betapa BANGGANYA NARSIS foto di tempat2 tsb lalu uplot ke socmed. Konsumen lebih membeli gengsi dibandingkan fungsi.
Jika kita kompak, niscaya akan terjadi penurunan permintaan yang signifikan dalam mengganggu kestabilan bisnis dari perusahaan2 ini, dikarenakan konsumen beralih pada produk pesaing.
Apakah sesederhana itu? Satu hal yang mesti diingat, produk-produk tersebut diproduksi oleh perusahaan global yang sangat kuat dalam bidang permodalan, teknologi, distribusi dan pemasaran. Mereka tentu saja tidak akan tinggal diam. Banyak cara untuk meredam "gejolak" yang ada di masyarakat. Beberapa di antaranya adalah:
1. Melakukan repositioning
Masih ada yang ingat tagline ini? "Oli sintetik... asli Amrik", atau "America's number one donuts"?. Ketika beredar dan berkembang di masyarakat stigma Anti Amrik, maka perusahaan ini merespon-nya dengan mengganti slogan "berbau Amrik" tersebut.
2. Memperkuat citra positif melalui CSR
Masih ingat program 1 liter xxx = 10 liter air bersih?. Program CSR memang memiliki tujuan utama untuk membentuk dan memperkuat citra positif dari produk, merek dan perusahaan itu sendiri di benak masyarakat.
3. Melakukan promosi penjualan
Ketika volume penjualan dirasa menurun secara signifikan, maka atas dasar asumsi elastisitas, produsen dapat menurunkan harga jual di level tertentu. Buy 1 get 1? Discount up to 70% + 30%? Beli 1 dus, free piring dan gelas cantik? Tentu menggoda bukan?
4. Meningkatkan intensitas periklanan
Membujuk, menginformasikan segala keunggulan dibanding pesaing, mengingatkan, tentu saja menjadi pilihan yang strategis.
5. Strategi bauran produk, perluasan merek maupun perluasan lini produk
Anggap saja merek "A**a" ditinggalkan oleh para pelanggan, setelah 4 langkah di atas dilakukan namun tetap tidak berhasil, maka membuat brand baru maupun varian produk baru, akan sangat strategis meski berbiaya mahal.
Pada akhirnya, konsumen memang harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya tentang produsen utama dari merek2 produk perusahaan global ini. Pada sistem ekonomi pasar bebas ini, kita relatif tidak bisa mencegah perusahaan-perusahaan global untuk berbisnis di Indonesia. Meskipun ada barriers, namun tak dapat dipungkiri betapa kuatnya mereka di berbagai aspek.
Mari kita mulai dari diri kita sendiri dan orang-orang terdekat di sekitar kita. Didik anak2 kita untuk tidak bangga merayakan ulangtahun di sebuah resto fast food LN. Didik keluarga kita untuk tidak perlu bangga bisa menikmati secangkir kopi mahal dari kedai kopi LN (kopi kita dibeli murah, dijual lagi muaahhal). Tak perlu pula bangga berfoto dan bernarsis ria, update status "@restoxxx nih, maksi ma temen2". Dari kabar berita di internet saya membaca bahwa orang2 Amrik bahkan mulai meninggalkan konsumsi makanan cepat saji dan beralih pada makanan2 yang lebih sehat.
Entahlah... rasanya ajakan ini hanya ramai ketika ada peristiwa tragedi kemanusiaan seperti ketika Israel melakukan agresinya di Gaza. Setelah itu, biasanya lenyap ditelan sunyi.
Sebagai penutup tulisan ini, saya kutip sebuah tagline "Cintailah Produk-produk Indonesia"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H