Mohon tunggu...
Budi Setiawan
Budi Setiawan Mohon Tunggu... -

Hanya seorang pria sederhana yang selalu berupaya keras membahagiakan keluarganya tercinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dosen Sebagai Role Model Pendidikan Karakter, Mampukah?

27 November 2015   16:32 Diperbarui: 27 November 2015   18:23 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang memiliki kepribadian yang tidak sama satu sama lainnya, apakah tipe kepribadian sanguine (suka berbicara, humoris, responsif), choleric (aktif, ambisius, mandiri), melancholic (analitis, perfeksionis, sensitif), dan phlegmatic (tenang, pendiam, simpatik). Kepribadian merupakan hadiah dari Tuhan kepada manusia ketika dilahirkan dan manusia dapat belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahan yang ada pada kepribadiannya, sehingga memunculkan kebiasaan baru yang positif dan konstruktif. Hal inilah yang dinamakan dengan karakter, yakni ketika misalnya seorang choleric dapat bersikap lebih santun dalam memberi pendapat kepada orang lain, atau ketika seorang sanguine dapat menjadikan dirinya bersikap serius pada situasi yang membutuhkan ketenangan dan fokus. Manusia harus membangun dan mengembangkan karakter dengan penuh kesadaran dan kesungguhan, melalui serangkaian proses panjang dan berkesinambungan.

Pendidikan karakter merupakan sebuah proses sistematis pembentukan karakter manusia, mencakup semua domain dari pembelajaran yang dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom yakni kognitif (intelektualitas), afektif (emosi/perasaan) dan psikomotorik (fisik/kinesthetic). Orang tua merupakan pendidik yang membentuk karakter seseorang di dalam lingkungan keluarga, sedangkan guru maupun dosen merupakan pendidik yang membentuk karakter seseorang di dalam lingkungan institusi pendidikan. Dengan demikian upaya pembentukan karakter yang baik, secara formal dapat dimulai sejak jenjang pendidikan usia dini hingga jenjang pendidikan tinggi, melalui program pendidikan karakter.


Pentingnya Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi sebagai satuan pendidikan penyelengara pendidikan tinggi harus mengambil peranan secara aktif dalam upaya pembentukan karakter SDM bangsa. Upaya tersebut menjadi sebuah kebijakan yang sangat penting dan strategis untuk diimplementasikan. Paradigma pemikirannya adalah mahasiswa tidak hanya dituntut untuk pandai, berpengetahuan dan memiliki keterampilan secara hard skills, namun juga memiliki keterampilan soft skills yakni berkarakter.

Pendidikan karakter di perguruan tinggi memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya menciptakan lulusan yang mampu menghadapi berbagai dinamika tantangan kehidupan yang semakin rumit dan menantang, dengan tetap mengutamakan akhlak atau budipekerti yang luhur. Mahasiswa merupakan peserta didik di tingkat perguruan tinggi yang merupakan calon pemimpin bangsa di masa depan. Apabila sistem pendidikan yang diimplementasikan oleh perguruan tinggi kurang memberikan porsi yang cukup dalam pembentukan karakter, maka dikhawatirkan hanya akan menciptakan sumber daya manusia yang bagus secara hard skills namun buruk secara soft skills, yakni kurang memperhatikan nilai-nilai moral dan akhlak dalam upaya mencapai tujuannya.

Adanya fenomena oknum mahasiswa yang berlaku curang dengan mencontek ketika ujian, menjadi indikator bahwa oknum tersebut mengesampingkan nilai kejujuran demi mendapatkan nilai ujian mata kuliah yang baik. Bayangkan apabila yang bersangkutan kelak menjadi pejabat di negara ini, maka sangat dikhawatirkan ketika yang bersangkutan bersedia melakukan apa saja dengan melanggar peraturan demi memeroleh berbagai keuntungan materi. Selain itu, masih adanya kasus tawuran antarmahasiswa, bullying kepada mahasiswa baru dalam kegiatan ospek, juga dapat menjadi indikator-indikator pentingnya implementasi pendidikan karakter secara sistemik di perguruan tinggi. Hasanah dalam Jurnal Pendidikan Karakter (2013) menyatakan bahwa mengacu pada kajian nilai-nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, maka nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dikategorikan menjadi delapan belas nilai-nilai karakter yakni: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.

Dosen Sebagai Role Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi
Dosen yang merupakan tenaga pendidik professional di perguruan tinggi, memiliki tridharma di bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian pada masyarakat. Dalam melaksanakan tri dharma di bidang pendidikan dan pengajaran, dosen dituntut tidak hanya mampu mentransfer keilmuannya kepada para peserta didik (mahasiswa) dengan baik, namun juga harus dapat menjadi model panutan (role model) kepada mahasiswa dalam hal karakter. Dosen menjadi ujung tombak terdepan dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di perguruan tinggi, karena dosen senantiasa berinteraksi secara berkesinambungan dengan mahasiswa dalam proses belajar mengajar.

Nilai-nilai karakter relatif tidak sulit untuk dipelajari dan dipahami teorinya lalu kemudian diajarkan dosen kepada para mahasiswa. Tantangannya adalah pada kemampuan dosen terkait nilai-nilai karakter yang diajarkan telah benar-benar diimplementasikan pada dirinya sendiri, selaras antara ucapan dengan perbuatan. Pendidikan karakter tidak cukup apabila hanya disampaikan dosen secara teoritis dengan metode ceramah maupun diskusi kepada para mahasiswa. Dosen dituntut untuk mampu menjadi role model, yakni berperan sebagai panutan dalam arti apa yang diajarkan telah benar-benar telah diimplementasikan pada dirinya sendiri.

Nilai karakter jujur misalnya, secara teori dosen dapat mengajarkan kepada para mahasiswanya sebagai sebuah perilaku yang mengacu pada kebenaran, berupaya menjadikan dirinya sendiri dapat dipercaya, selaras antara ucapan dan perbuatan. Dosen harus mampu menjadikan dirinya sendiri sebagai panutan dalam implementasi kejujuran. Misalnya dengan menyebutkan sumber ketika menyampaikan sebuah definisi teori yang disitasi dari orang lan, tidak mengakui definisi tersebut adalah buah pemikirannya sendiri. Ketika dosen mampu berperilaku jujur terkait sitasi, maka diharapkan dapat menjadi teladan bagi mahasiswa untuk pula jujur dalam menulis skripsi, misalnya. Implikasi yang diharapkan di antaranya adalah tidak ada lagi plagiarisme, dengan mengakui hasil karya orang lain sebagai hasil karyanya sendiri secara copy paste. Dosen harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan langsung bagi mahasiswa dalam proses pembentukan karakter di perguruan tinggi. Ketika misalnya seorang dosen mengajarkan akan kedisiplinan namun dirinya sendiri kerap datang terlambat dalam memulai perkuliahan di kelas, maka pembentukan karakter disiplin berpotensi mengalami kegagalan.

Pembentukan karakter membutuhkan sebuah proses yang tidak instant dan berkesinambungan. Perguruan tinggi harus mengambil peran aktif dalam upaya pembentukan karakter bangsa dalam sebuah program sistemik pendidikan karakter. Dosen sebagai tenaga pendidik professional di perguruan tinggi, merupakan ujung tombak dalam implementasi nilai-nilai karakter bangsa. Tantangan terbesarnya adalah dosen harus mampu menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh, terkait nilai-nilai karakter yang diajarkan. Mampukah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun