Mohon tunggu...
Boedi Santosa, S.Pd.I
Boedi Santosa, S.Pd.I Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang guru madrasah pembelajar yang bercita-cita mulia menjadikan Indonesia lebih baik, dengan membekali ilmu dan teknologi dibarengi penanaman akhlak mulia di setiap diri peserta didik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perang! Anak-anak Kita Vs Lingkungan Sekitar

26 Maret 2012   15:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:27 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332776225843795839

Bagi para anak yang berusia dini sangat membutuhkan pendidikan, bagi mereka pendidikan merupakan langkah dan cermin pada setiap tingkah lakunya, karena setiap anak yang masih berusia dini mempunyai sifat imitasi atau suka meniru segala sesuatu yang ada disekitarnya, dan hal tersebut akan membentuk sebuah karakter anak itu sampai ia dewasa. Oleh karena itu perlu adanya pengawasan pendidikan pada setiap anak yang masih berusia dini, karena baik buruk pendidikan di usia dini akan terbawa sampai ia dewasa. Dari hal tersebut di atas saya akan menguraikan fakta yang kami temukan mengenai pengaruh-pengaruh lingkungan pendidikan terhadap perkembangan anak pada usia dini, dalam hal ini ialah anak yang berusia tiga sampai tujuh tahun.

Untuk seorang anak yang masih berusia dini, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pengaruh inti dari pendidikan, setelah itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Dalam bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan. Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya. Ia dinamis dan memiliki sejarah “perjuangan, nilai-nilai, adat istiadat” yang turun temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak tersadari). Sebagaian ahli menyebutnya dbahwa Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh konflik, tidak bahagia, tidak solid antara nilai dan praktek, serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak.

Lingkungan kedua adalah lingkungan masyarakat, atau lingkungan pergaulan anak. Biasanya adalah teman-teman sebaya di lingkungan terdekat. Secara umum anak-anak Indonesia merupakan anak “kampung”yang selalu punya “konco dolanan”.

Secara umum masyarakat Jawa hidup dalam norma masyarakat yang relatif masih baik, meskipun pergeseran-pergeserannya ke arah rapuh semakin kuat. Lingkungan burukyang sering terjadi di sekitar anak, misalnya: kelompok pengangguran, judi yang di”terima”, perkataan jorok dan kasar, “yang-yangan” remaja yang dianggap lumrah, dan dunia hiburan yang tidak mendidik.

Sebenarnya masih banyak pengaruh positif yang dapat diserap oleh anak-anak kita di wilayah budaya masyarakat Jawa, seperti: tutur kata bahasa Jawa yang kromo inggil ataupun berbagai peraturan hidup yang tumbuh di dalam budaya Jawa. Masalahnya adalah bagaiamana mengelaborasi nilai-nilai tersebut agar cocok dengan nilai-nilai modernitas dan Islam.

Namun pada masa kini pengaruh sesungguhnya mana yang buruk dan bukan menjadi serba relatif dan kadang tidak dapat dirunut lagi. Banyak anak yang mengalami kesulitan menghadapi anak bukan karena keluarga mereka tidak memberikan kebiasaan yang baik. Demikian juga banyak anak yang tetap dapat menjadi baik justru tumbuh di keluarga yang kurang baik.

Meskipun demikian secara umum berdasarkan penelitian kami, bahwa anak-anak akan selalu menyalahkan kondisi keluarga manakala mereka menghadapi masalah apa saja, apakah karena keluarganyatelah melakukan yang benar apalagi kalau buruk.

Indikasi pengaruh negatif

Sulit untuk dipisahkan apakah karena kondisi keluarga atau lingkungan sebaya dan pergaulan. Namun sebaiknya orang tua perlu meng-antisipasi beberapa indikasi negatif berikut ini:

1.Ketika acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan pengamatan saya bahwa anak-anak usia sekolah dasar pedesaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV dan 30 % untuk bermain pada jam-jam belajar.

2.Anak mulai menyukai kegiatan luar rumah pada jam-jam belajar di rumah dan mengalih-kan pada kegiatan non-belajar, seperti: jajan, play station, dan tempat nongkrong lain. Berdasarkan fakta yang ada, anak berusia dini sekarang ini mengalami penurunan greget belajar karena memperoleh alternatif mengalihkan perhatian dari belajar pada (acara TV, hiburan luar ruang, dan jalan-jalan).

3.Anak-anak merasa kesulitan menghafal atau mengerjakan PR secara terus menerus tetapi merasa ketagihan untuk melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan kecerdasan. Menurunnya minat belajar disertai tidak berminatnya pada kegiatan lain yang mencerdaskan anak bukti berhasilnya sistem hiburan secara massal terhadap anak-anak Indonesia dan dunia belajar anak yang gagal sehingga menurunya SDM ketika beranjak dewasa.

Dengan beberapa pengaruh lingkungan seperti sekarang ini, cukup sulit bagi keluarga jaman ini untuk menekankan pendidikan di salah satu lini saja. Sehebat apapun keluarga menyusun sistem pertahanan diri, anak-anak tetap akan menajdi sasaran dunia yang serba modern. Menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah juga bukan segala-galanya. Jaman ini amat sulit mencari pendidikan yang “kaffah lahir dan bathin” serta terjangkau biayanya oleh kebanyakan orang tua.

Namun dari berbagai kekhawatiran tersebut, kini mulai muncul berbagai pendidikan trobosan yang diyakini dapat dipilih. Namun tetap harus menekankan bahwa pendidikan keluarga adalah inti dan sekolah adalah komplemen pelengkap. Beberapa pilihan tersebut dapat berbentuk :

1.Sekolah fullday yang meningkatkan pendidikan agama dan pendidikan umu dalam lingkungan terkontrol dan terarah dengan nilai-nilai modern dan islami.

2.Sekolah biasa yang bermutu dengan kontrol yang ketat dalam masalah akhlak dan perilaku dengan penguatan berupa kursus-kursus dan materi tambahan yang dapat memberikan arah terdidiknya seorang anak yang berusia dini.

3.Sekolah pesantren yang kesehariannya dipenuhi kegiatan islami dan segala aktifitas yang telah ditata rapi dua puluh empat jam dengan menambah penguatan pada aspek budi pekerti dan ketrampilan.

Bagaimanapun ujung dari pendidikan adalah tanggung jawab orang tua, yang berbasis rumah tangga. Masalahnya adalah apakah setiap orang tua kita memiliki kecerdasan yang memadai untuk menjalankan fungsi besar ini? Itulah fungsi besar orang tua sebagai pendidik terhadat seorang anak yang suka meniru pada lingkungan (imitasi).

Nampaknya orang tua perlu dicerdaskan melalui pendidikan non sekolah. Bahkan di jaman ini para orang tua yang sibuk memasuki dunia kerja, maka para pembantu rumah tangga kita perlu menjadi seorang yang cerdik pandai seperti Halimah di jaman Nabi yang mampu mengajarkan bahasa Arab dengan kualifikasi terbaik, Yukabad di Jaman Fir’aun yang mampu mengajari Musa bagaimana menjadi pemuda tangguh.

Perlunya kewaspadaan khusu dari setiap orang tua terhadap pergaulan anak, karena tidak mustahil anak tersebut bergaul teman sebayanya yang mempunyi kebiasaan buruk, karena setiap orang yang terdekat dengan kita akan menjadi musuh dan bias menjerumuskan anak kecuali adanya pondasi agama apad dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun