Mohon tunggu...
Boedijono Tanimartoyo
Boedijono Tanimartoyo Mohon Tunggu... -

membaca tidak mudah, apalagi menulis, sebaiknya ku mulai saja

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sark: Pulau Berlangit Gelap Pertama di Dunia

28 Februari 2011   22:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:11 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitulah judul sebuah artikeldiwww.Epochtimes.co.id  Sabtu, 26 Febuari 2011. Setiaptahunnya, pulau ini telah menarik 40.000 wisatawan untuk belajar tentang sejarah dan budaya, dimana pengalaman seperti itu terasa bagaikan melangkah mundur ke masa jauh lampau. Begitu yang di tulis di bagian akhir artikel ini. Setelah membaca artikel itu aku matikan semua lampu di rumahku. Lalu aku membayangkan suasana di pulau berlangit gelap itu. Ternyata, aku bahkan dapat melihat banyak hal yang selama ini tidak aku perhatikan.

Aku kira siapapun setuju, kata ‘gelap’ punya beberapa konotasi sesuai dengan konteksnya. Tetapi sayang umumnya lebih banyak konotasi negatifnya. Misalnya, ‘anak itu menangis karena takut di kegelapan’. Atau, ‘sayang anak yang datang dari keluarga baik-baik terjerumus di dunia gelap’. Atau, ‘mengapa gajinya sudah besar kok masih menggelapkan uang rakyat?’. Banyak lagi contoh yang mengkonotasikan ‘gelap’ pada hal-hal yang negatif. Mengapa di tempat yang gelap ini malah membuatku melihat kehidupan ini menjadi semakin terang? Ada konotasi positip yang aku rasakan.

Aku sengaja mengingat-ingat ketika aku di tempat terang beberapa jam yang baru lalu. Ketika aku melewati sebuah taman kota yang terang benderang, dan terhenti karena lampu lalu lintas menyala merah, kulihat sepasang remaja (mungkin lebih tepat: anak-anak) berpacaran di tempat yang sedemikian terang seolah di tempat yang gelap. Dianggapnya orang yang lalu lalang di depannya buta semua, mungkin. Aku berani bertaruh semua yang sempat melihatnya – termasuk aku, dan yang pura-pura tidak melihat – sedang berjalan menuju kegelapan.

Aku juga bertanya lagi tanpa jawaban tentunya, ketika ingat di warnet sudut perempatan itu berbondong-bondong anak-anak di usia sekolah saling berebut tempat bermain di ruang-ruang bersekat itu. Konon banyak halkurang baik – selain yang baik - mereka lakukan di tempat-tempat seperti itu. Sisi terang dan gelap seperti wajah sekeping uang logam, yang keduanya tak dapat dipisahkan.

Kemudian, aku nyalakan lagi lampu dan televisi.

Kebetulan acara di tv itu pas acara diskusi interaktif kalangan terhormat yang hidupnya berstatus terang benderang, karena ekonominya yang mapan, pendidikannya yang tinggi, statusnya yang ‘pasti’, bahkan posisinya di pemerintahan yang sangat ‘menentukan’. Tetapi betapa sangat mengecewakan. Mereka saling tunjuk seperti di pasar ikan. Bahkan mengucapkan kata-kata yang saling ‘menggelapkan’ satu sama lain. Tentu hal ini membuatku seperti masuk dalam ‘kegelapan’ yang mereka sajikan. Karena diskusinya sama sekali tidak membuat ‘terang’ terhadap masalah ‘gelap’ yang seharusnya mereka buat ‘terang’.

Saat itu aku tidak mengerti dimana aku berada, di tempat yang terangkah atau gelapkah.

Kembali aku ingat pulau Sark yang dibuat gelap. Mengapa 40.000 wisatawan itu belajar di tempat yang gelap? Apakah yang mereka dapat dari belajar di sana? Belajar budaya di tempat yang gelap. Apakah di tempat yang terang tidak memberi jawaban budaya yang mereka butuhkan? Budaya di tempat gelap dan budaya di tempat terang? Mungkinkah mereka ingin kembali ke tempat yang gelap? Ah …. Lucu. Aku sangat berharap Koran mingguan ini akan memperoleh jawaban untuk pertanyaanku ini. Dan mungkin anda juga bisa bertanya diantara gelap dan terang, yang manakah yang merupakan sebuah kemajuan? Ataukah aku sedang mengada-ada dengan membenturkan kata ‘gelap’ dan ‘terang’. Tetapi memang bagiku keduanya semakin tidak jelas, sekalipun aku mencoba melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda.

Sda, 28 Pebruari 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun