Mohon tunggu...
Budi Santoso
Budi Santoso Mohon Tunggu... karyawan swasta -

zonafiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Sudut Braga

24 Februari 2015   21:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:34 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja kala itu kita masih saling bertatap mata. Cakrawala jingga saat itu jadi saksi kita bertukar senyum sapa. Dan segala yang ada lima tahun lalu meyakinkan kita akan bersama selamanya. Aku dan kamu melangkah di jalan yang sama, melalui masa demi masa dengan asa. Tapi itu lima tahun lalu sedangkan kini hidupku dan hidupmu menikung di jalan berbeda.

"Dia tak akan pernah memaafkanmu Grey".

Aku mengangguk dalam bisu. Di tempat ini, senja di sudut Braga, aku dan kamu bersua untuk terakhir kalinya. Kau meminta sedikit rasa cinta yang tersisa antara kita. Hanya ada sedikit sisa rasa sebab aku terlalu buta untuk melihat seberapa besar kamu berharap. Aku begitu tuli sehingga tak mampu mendengar kalimat kalimat santun yang kamu suarakan. Hanya sedikit yang kamu minta tapi aku menampikmu dengan tega. Aku lupa bahwa kamulah penyembuh luka. Aku khilaf atas seluruh warna cinta yang sesungguhnya paling membuatku merasa bahagia. Aku berpaling muka darimu. Aku bermain api tanpa peduli kita masih di satukan oleh rasa saling memiliki. Aku memutuskan semua ikatan itu. Dan kamu berjuang sangat keras mengembalikanku ke jalur yang benar. Betapa kala itu aku kukuh dengan keputusan mengakhiri tiga tahun kebersamaan kita. Keputusan yang kamu anggap salah tapi benar dalam pandanganku. Nyata kamu selalu benar dan aku selalu salah. Ketika penyesalan itu datang, kamu sudah terlanjur menghapus jejakmu. Masih lekat dalam pandanganku sosokmu berjalan meninggalkan sudut jalan ini. Selalu terngiang lonceng stasiun dan deru kereta membawamu sejauh jauhnya pergi dari hadapanku. Senja kala itu aku teramat tega mematahkan hati seorang pria. Dan senja kali ini seorang pria dengan kejam mematahkan hatiku. Pria kejam itu bukan kamu. Pria itu yang membutakan aku dari seluruh ketulusan hatimu.

"Jika kamu masih berharap Reihan kembali, belajarlah dari awal lagi Grey".

Laras benar. Reihan, jujur aku sangat berharap besar kamu kembali. Kalaupun kamu kembali bukan untukku, setidaknya aku bisa menemukan wujudmu lagi di kota ini. Karma telah mengajariku. Aku akan terus belajar menghadirkanmu lagi di dalam setiap denyut kehidupanku.

"Sudah petang. Ayo kita pulang".

Ya, aku harus pulang. Terlalu berat untuk terus berada di sudut jalan ini. Lompatan lompatan memori tak akan sanggup aku hadapi. Seperti aku rasanya takkan sanggup lagi berhadapan denganmu. Aku hanya sanggup berdiri dan berjalan bersama Laras, saksi atas seluruh masa yang pernah kita jalani.

"Apa lagi yang kamu tunggu ? Dimas ? Reihan ? Mereka tidak akan pernah lagi bersamamu".

Keras ucapan Laras menghantam ulu hati. Tapi aku harus memberi pembenaran. Dimas tidak akan pernah lagi bersamaku. Lima tahun waktu terbuang sia sia hanya untuk menjalani cinta semu belaka. Tidak seperti cinta yang tiga tahun kujalani bersamamu dengan nuansa bahagia.

"Kita ini aktor di sebuah panggung raksasa Grey".

"Kamu benar La. Kamu selalu benar".

Dunia bukan panggung sandiwara. Dunia adalah panggung kehidupan yang nyata. Suka duka, tawa tangis, canda airmata, dan banyak peristiwa yang meramaikan pertunjukan. Manusia menjadi pemeran utama.

Langit senja masih biru walau di bayangi mendung kelabu. Pelangi membias di batas cakrawala. Mentari sudah enggan melanjutkan tugasnya dan perlahan meninggalkan angkasa. Semilir angin mengantar kepergian burung burung yang kembali ke sarangnya. Itulah suasana senja yang tersisa sebelum redup, tergantikan remang petang.

"Di sini aku pernah merasakan senja yang paling indah La".

"Aku tahu semua tentangmu. Aku juga tahu kapan keindahan itu berlalu darimu".

"Tak pernah ada lagi keindahan mulai hari ini".

"Dimas lelaki pilihanmu".

Aku terdiam. Dimas memang lelaki pilihanku. Aku mempercayakan hati dan cinta pada seorang pria yang menjadi idola para wanita. Ada kebanggaan saat berhasil menaklukkan Dimas di saat wanita lain jatuh bangun berjuang demi mendapatkan perhatian dari Dimas. Tapi kebanggaan itu hanya sesaat hadir. Aku sadar telah salah memilih tempat berlabuh karena dermaga yang aku singgahi ternyata sangat rapuh. Dimas terlalu angkuh. Dimas bisa dengan mudah mendepak siapa saja yang tak lagi berkenan di hatinya. Sejak awal aku sudah mendapat peringatan. Kini peringatan itu menjadi kenyataan.

"Anggaplah ini semua hukum alam. Luka akan berbalas luka. Sakit berbalas sakit".

"Sekarang aku butuh waktu untuk mengobati luka hatiku".

"Obat itu ada dalam hatimu sendiri. Aku cuma mencoba ada saat kamu butuh teman bicara. Sudah menjelang malam. Ayo kita pulang".

Senja di sudut Braga redup dengan sempurna, sama seperti diriku yang sempurna mengalami kegagalan. Dulu kamu selalu bilang aku tak akan mampu sendiri tanpamu. Seakan kamu sudah meramalkan kehancuranku. Reihan, aku memang hancur tanpamu. Tapi aku percaya kamu tidak akan mentertawakan kegagalanku.

"Di mana aku bisa menemukannya La?".

"Kamu tidak perlu ke mana mana. Dia pasti kembali ke kota ini".

"Kapan?".

"Kamu lebih tahu kapan kira kira dia kembali".

"Lima tahun terlalu lama".

"Kamu bukan satu satunya yang berharap dia kembali Grey".

"Reihan bukan kembali untukku? Lalu untuk siapa?".

"Sudah kamu terima undangan dari Gina?".

Gina. Harusnya aku tidak melupakan nama itu. Bahkan undangan ulang tahun darinya masih ada di dashboard mobil. Besok malam perayaan ulang tahun Gina. Aku bukan satu satunya yang pernah memilikimu. Ada wanita selain diriku yang juga pernah merasakan kemurnian hati dan kehangatan cintamu. Gina lebih dulu memilikimu. Gina sanggup menjadi wanita pertama yang jeli melihat sesuatu tersembunyi dalam dirimu. Gina paham kamu punya pesona seterang matahari. Kamu punya kesetiaan yang sangat teruji.

Taburan bintang berkelip menemani pancaran rembulan. Permulaan malam yang semestinya menjadi momen untuk mencoba memulihkan jiwa yang terluka. Tapi luka tak akan bias pulih seperti sedia kala. Aku hanya duduk diam sambil sesekali menghela napas lalu mengusap wajah. Kamu tak bisa di samakan dengan Dimas. Kalian dua pria dengan latar belakang dan sepak terjang berbeda. Siapapun tahu tentangmu. Seorang lelaki sederhana bersahaja. Lelaki yang tidak banyak di perhitungkan oleh sebagian besar wanita. Kamu bukan bintang yang bersinar terang. Tapi kamu adalah mentari yang senantiasa terbit dan tenggelam sesuai masanya. Mungkin Laras benar. Butuh perjuangan dan pengorbanan sedikit keras untuk bisa membuat segalanya menjadi mudah. Sekarang masih sangat sulit.

"Haruskah aku menjadi seperti Gina?".

"Kamu tidak harus menjadi Gina. Kamu adalah dirimu dan Gina adalah dirinya. Kalian berbeda".

"Mungkin Reihan memang masih mencintai Gina. Tapi itu sudah lama berlalu".

"Waktu tak bisa membatasi cinta. Sekalipun sudah lama hubungan mereka bubar aku masih seratus persen yakin Reihan tak bisa melupakan Gina".

"Tidak adakah persamaan antara aku dan Gina?".

"Ada. Kamu dan dia sama sama wanita".

“kamu yakin dia pasti kembali ?”.

‘bukan aku yang harus meyakinkanmu Grey”.

Aku memang bodoh. Bahkan untuk meyakinkan diri sendiripun aku tak mampu. Dulu kamu yang paling tahu cara menguatkan keyakinanku. Bersamamu aku yakin atas semua yang akan aku hadapi. Dan aku sempat berpikir bukan cuma kamu yang mampu. Akupun yakin mampu saat memutuskan meninggalkanmu dan berpaling pada pria yang lebih baik dalam pandanganku. Tidak ada yang lebih baik darimu. Aku menelan ludah dan setengah mati berharap kamu kembali. Aku memandang pria selain dirimu dengan mata kepala. Tapi untukmu aku akan pandang dengan mata hati.

"Sembuhkan hatimu. Jangan sampai aku melihat wajah kusutmu besok".

“Terima kasih La. Selamat malam”.

Perjalanan telah berakhir tapi bukan berarti berhenti untuk berpikir tentang lima tahun tanpamu. Dengan Dimas aku sempat berhasil melupakanmu. Bersama Dimas aku tenggelamkan kamu di dasar kalbu. Dimas membuat kamu seakan tak pernah ada dalam kehidupanku. Dan aku terjebak di kubangan paling keruh sepanjang perjalanan cintaku. Ketika aku mampu keluar dari semua fatamorgana itu, sudah tidak ada kamu yang paling sanggup menjernihkan kesadaranku. Malam ini, aku sepenuhnya sadar sangat membutuhkanmu.

***

Masih kamu yang menjadi hantu di otakku. Tak peduli hari berganti wujudmu tetap bergentayangan di ilusi. Betapa hari hari yang aku jalani mulai kehilangan gairah. Padam semangat jiwa. Semua karena tidak ada kamu. Ada banyak pria tapi cuma kamu yang menggetarkan asa. Satu satunya. Lalu aku seperti biasa mengilas balik apapun yang berkaitan denganmu. Senja di sudut jalan ini aku kembali seorang diri. Sengaja tidak aku ajak Laras sebab aku benar benar ingin sendiri melamunkan kamu.

Aku dan kamu. Kita yang awalnya di pertemukan oleh waktu. Masih kuingat masa belasan tahun silam ketika kita adalah bocah bocah lugu. Ya. Aku dan kamu sudah kenal sejak masih berseragam putih biru.

Siang saat itu. Di halte depan sekolah seorang anak lelaki berdiri sambil menawarkan roti kepada setiap pejalan kaki. Hanya satu dua orang yang membeli sementara sebagian besar tak peduli. Tapi bocah itu tak menyerah, tidak menampakkan keletihan sama sekali. Aku sendiri kala itu duduk di halte menanti jemputan. Sampai bocah penjual roti berjalan mendekat lalu duduk di halte yang sama namun ada jarak. Sempat saling pandang beberapa kali sampai bocah itu menawarkan dagangannya.

"Emmm...kamu mau roti?", tanya anak itu ragu dan malu malu.

"Iya aku mau. Berapa harganya?".

"Limaratus. Kalau beli seribu dapat tiga".

"Iya aku beli seribu".

Transaksi yang singkat. Bukan berarti semua berakhir. Bocah itu sibuk menghitung uang dan membagi di saku kanan dan saku kiri. Baru aku sadar di dalam tas ransel ada seragam putih biru.

"Kamu masih sekolah ya?".

"Iya. Namaku Reihan. Aku kelas satu SMP di situ".

"Namaku Greysa. Sekolahku di depan sekolahanmu".

Perkenalan terjadi begitu saja. Jemputan datang. Ada kesan pertama yang membuatnya enggan meninggalkan halte. Bocah penjual roti itu adalah kamu. Dan itu bukan pertemuan terakhir. Hari ke hari aku tetap bisa melihatmu menjajakan roti tiap pagi dan siang. Juga sesekali bercakap cakap. Dari masih bocah kamu sudah mengetuk hatiku. Seiring perjalanan waktu persahabatan semakin lekat. Kamu tetap menjual roti sampai kuliah. Bersamamu aku mengalami pasang surut. Canda tawa, tangis, amarah, emosi, egoisme kerap menjadi warna. Sampai aku akui kamu pantas untuk di cintai. Kamu punya segalanya untuk menjadi lelaki sempurna. Tidak seratus persen sempurna karena kamu juga manusia yang memiliki kekurangan dan keterbatasan. Kita bersahabat sebelum cinta mengikat. Dan aku kini berpikir lebih baik kita tetap bersahabat agar kamu selalu ada. Cinta yang membuat aku harus kehilanganmu.

“Apa yang kamu tunggu di sini Grey ?”.

Suara yang aku kenal. Ternyata aku tidak sendiri di sudut jalan ini. Aku berpaling dan mendapati seseorang yang lama tidak ada di sampingku. Gina. Dia juga ada di sini. Aku coba meraba untuk apa dia berdiri di tempat yang sama denganku. Bukankah seharusnya dia ada di rumah mewahnya dan mempersiapkan diri untuk pesta ulang tahunnya. Jujur keberadaannya mulai membunuh anganku tentangmu.

“Greysa, apakah kita menunggu orang yang sama ?”.

“Jadi dia benar benar kembali ?”, aku tidak perlu sembunyi dari apa yang bisa Gina ketahui.

“Dia kembali Grey. Kereta yang membawanya sudah masuk Bandung”.

“Dia kembali untukmu kan ?”.

“Reihan kembali untuk kita semua”.

“Dan kamu akan meraihnya lagi ?”.

Gina tersenyum. Aku mengerti arti senyuman itu. Lima tahun lalu aku yang melepasmu di stasiun itu. Kini bukan cuma aku yang menyambut kembalimu. Bahkan aku adalah pecundang yang tak punya malu. Aku harusnya malu pada Gina. Aku malu karena tidak bisa menjaga apa yang pernah dia percayakan padaku. Ketika dia dan kamu masih bersama aku selalu ada di antara kalian berdua. Aku menjadi orang ketiga sampai dia yang harus mengalah. Aku yang membuatnya kehilangan dirimu. Tapi aku malah sengaja menghilangkanmu. Kini aku dan dia sama sama menunggumu. Senja masih perkasa di sudut Braga.

"Aku tak pernah berhenti mencintai dia Grey".

"Aku tahu Na. Kita punya cinta yang sama untuk dia".

"Tidak Grey. Cinta kita berbeda. Aku paham siapa kamu Grey".

Ya Tuhan. Kenapa aku harus bertemu dia yang mulai mengadili kesalahanku. Tentu saja Gina paham siapa aku dan seperti apa cintaku. Dia bersama Laras adalah sahabat sahabatku. Ketika aku dan Laras masih bersahabat hingga kini, aku dan dia sudah tak lagi dekat sejak aku merenggutmu darinya.

"Seberapa besar cintamu padanya Grey?".

"Lebih besar dari saat aku pertama mencintai dia".

"Bagaimana hubunganmu dengan Dimas? Kenapa tiba tiba kamu bernafsu menginginkan Reihan kembali ?".

"Aku dan Dimas putus. Dia lebih memilih untuk mencintai Farah".

"Dan Reihan akan kamu jadikan pelarian dari kegagalanmu bersama Dimas? Seperti saat kamu jadikan Reihan pelarian ketika putus dengan Angga?".

"Aku tidak sedang lari dari apapun. Angga dan Dimas memang bukan lelaki yang pantas untuk kucintai".

"Dan kamu merasa pantas mencintai Reihan?".

Gina benar benar menjadi hakim yang menguliti satu demi satu kesalahanku. Gina selalu tega menyudutkan aku di pojok paling gelap. Gina tidak seperti Laras yang tahu kapan harus keras dan kapan harus lunak. Gina selalu menghantamku dengan keras. Tapi dia benar dengan segala yang dia ketahui tentang diriku.

Reihan, masih pantaskah aku mencintaimu ? Aku malu untuk menjawab pertanyaan itu. Sebelum ada kamu dan Dimas, ada satu nama yang lebih dulu memberikan warna cinta. Angga yang pertama mengajari arti satu rasa. Tapi Angga sama seperti Dimas yang cuma sesaat hadir. Mereka dengan mudah menyingkirkan aku. Seakan aku di takdirkan untuk kalah. Dan selalu kamu yang memenangkan hatiku. Angga pergi dan aku rela menjadi pihak yang terluka sebab ada kamu yang punya seribu obat penyembuh luka. Kini masih pantaskah aku berharap kamu menyembuhkan luka yang lagi lagi menggores jiwa? Masih layakkah aku menantimu di sudut jalan ini ?.

"Sekarang kamu bisa melihat bahwa tak ada yang benar benar setia Grey".

"Gina, aku bersumpah akan setia jika dia kembali untukku".

"Reihan kembali bukan untukmu. Juga bukan untukku".

"Untuk siapa dia kembali Na?".

"Buka matamu lebar lebar dan siapkan hatimu. Lihat di ujung sana Grey".

Aku mengikuti telunjuk Gina, melihat ujung lain dari jalan penuh kenangan ini. Dan aku melihatmu. Aku saksikan kamu benar kembali ke kota ini. Tapi kamu tidak sendiri. Inikah maksud Gina memintaku menguatkan hati ?.

"Percaya dengan apa yang kamu lihat Grey. Ini bukan tipuan senja. Ini nyata".

"Laras".

Setelah itu tidak ada suara lagi. Hening. Aku memaku bisu. Aku berharap ini semua fatamorgana. Tapi Gina memastikan yang aku lihat dan saksikan adalah nyata. Di depan sana, tak seberapa jauh dari tempat kami berdiri tampak dua sosok manusia berjalan beriringan. Wujud wujud yang aku harap adalah fana.

"Tidak! Ini tidak mungkin!".

"Kamu buta Grey. Kamu terlalu buta dengan dunia di sekitarmu".

Jelas salah satu sosok yang berjalan di sana itu adalah kamu. Dan yang berjalan di sampingmu bukan hantu. Itu Laras yang senja kemarin menemaniku mengilas balik semua tentangmu. Apa yang kalian lakukan berdua? Apakah itu sebuah kebetulan? Ataukah aku yang terlalu buta?, ada seribu pertanyaan dan seribu perasaan berkecamuk.Aku bertanya tanya pada diri sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang tersembunyi di balik setiap peristiwa hari ini. Jika kemarin senja tidak sudi bersahabat, ada pertanda hari ini juga tidak mau berkawan denganku.Mungkinkah Laras menelikung di belakangku?.

"Sekarang kamu tahu siapa kawan siapa lawan. Tidak ada yang benar benar abadi Grey".

"Aku masih berharap ini mimpi buruk Na".

"Lebih baik begitu. Saat terbangun dari mimpi buruk kita bisa menatap kenyataan lebih baik".

"Jadi kita bukan pilihan yang pantas baginya saat kembali ke kota ini?".

"Terlalu banyak pria yang membuat kita menderita. Tidakkah kamu ingin akhiri semua itu Grey?".

"Dan mengawali seperti dulu ?".

"Aku yang paling peduli padamu. Kita tidak pernah jauh. Kita masih tetap satu Grey".

"Terima kasih Gina. Selamat Ulang Tahun".

Aku dan dia. Dua wanita yang mencintai satu pria. Greysa dan Regina yang sesungguhnya sejak lama di satukan oleh rasa. Kami yang yakin tidak akan pernah lagi menghadirkan pria dalam kehidupan nyata. Senja di sudut Braga aku dan dia kembali berjalan bergandengan tangan, kembali bersama untuk selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun