Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

RSBI: Rintisan Sekolah Bertarif Internasional

26 Mei 2010   03:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:58 3942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak zaman dahulu kala, di jajaran sekolah negeri (sekolah milik negara) sudah dikenal adanya sekolah yang oleh masyarakat dilabeli sebagai sekolah favorit.

Label sebagai sekolah favorit itu lantaran masyarakat menganggap mutu dan kualitas pelajaran serta guru dan lulusannya berada diatas sekolah-sekolah lain yang tidak dilabeli dan dikategorikan sebagai favorit.

Anggapan masyarakat itu tak seratus prosen salah, mengingat pemerintah pun sepertinya memang terlihat memberikan perhatian lebih kepada sekolah yang dilabeli dan dikategorikan oleh masyarakat sebagai sekolah favorit itu.

Biasanya jajaran guru dan kepala sekolahnya pun dipilihkan oleh pemerintah dari jajaran pengajar yang telah terbukti berprestasi.

Bisa jadi hal itu akan dibantah oleh sementara pihak, namun faktanya sebagian kalangan masyarakat yang pernah bersekolah di zaman itu merasakan hal tersebut.

Memang tidak ada jaminan bahwa dengan bersekolah di sekolah favorit itu maka lulusannya pasti 100% akan meraih keberhasilan prestasi di jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta pasti 100% akan menjadi orang sekses yang berhasil meraih sukses dalam karier dan di ranah kehidupannya.

Banyak juga lulusan sekolah favorit yang gagal dan drop out di jenjang pendidikan lanjutannya, bahkan menjadi orang gagal dalam karier dan di ranah kehidupannya.

Sebaliknya justru lulusan sekolah yang tidak dilabeli sebagai sekolah favorit malahan berhasil menjadi orang terkenal dan sukses dalam karier dan di ranah kehidupannya.

Namun tak dapat dipungkiri, pada waktu itu dapat dikatakan bahwa secara statistik (pada jenjang sekolah setingkat SMA sebagai misalnya) jumlah dari lulusan sekolah-sekolah favorit itu mayoritas berhasil lolos dalam tesnya di Skalu, Sipenmaru, sehingga dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri atau univertisa negeri atau institut negeri yang dikategorikan favorit.

Tentu tak semua akan sependat dengan itu, namun memang tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar tentang dikotomi sekolah favorit dengan fakta mutu lulusannya maupun keberhasilan para alumninya.

Hal tersebut diatas itu hanyalah prolog untuk pengantar bahwa sejak zaman dahulu pun sudah dikenal dan terdapat fakta nyata adanya sekolah favorit dan sekolah non favorit.

Maka dapat dibilang bahwa program pemerintah di zaman ini berkait dengan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) pada satu sisi boleh dibilang bukanlah sesuatu hal yang 100% baru. Boleh dibilang itu hanyalah merupakan formalisasi dari sekolah favorit, atau suatu bentuk formalisasi dari suatu kenyataan yang sudah ada di zaman dahulu dan terus berlangsung sampai hari ini.

Tentu tak bisa dibilang juga 100% tak ada yang baru, paling tidak dalam program sekolah berstatus RSBI itu ada materi-materi muatan baru yang menjadi pembeda dari sekolah yang bukan RSBI.

RSBI sebagai sesuatu yang 100% baru itu yang paling jelas adalah disoal di soal jumlah nominal dari uang pangkal dan biaya pendidikan serta biaya lain-lainnya yang harus dibayar oleh siswa dan orang tuanya.

Pada zaman dahulu, antara sekolah negeri favorit (yang sekarang dilabeli RSBI itu) dengan sekolah negeri non favorit (yang sekarang tidak berlabel RSBI) itu boleh dikatakan hampir tidak ada perbedaan dalam biaya yang dibayar oleh oleh siswa dan orang tuanya.

Memang pada zaman dahulu pun besarnya SPP antara sekolah negeri dengan sekolah swasta itu berbeda. Tapi antar sekolah yang sama-sama sekolah negeri tak ada bedanya.

Jadi pada zaman dahulu, antara sekolah favorit dengan non favorit itu kalau pun berbeda biaya paling-paling di soal uang iuran untuk program lain-lain dan eskul saja, bukan pada besaran uang pangkal dan SPP-nya.

Inilah yang sekarang terjadi pada program RSBI, sehingga muncul plesetan akronim RSBI menjadi Rintisan Sekolah Bertarif Internasional.

Hal itu boleh saja akan mendapatkan bantahan dari beberapa kalangan. Namun pejabat Kementrian Pendidikan justru ternyata malahan mengamini hal itu.

Sekarang ini muncul suara sumbang dari berbagai tempat. Bahkan, RSBI dipelesetkan menjadi rintisan sekolah bertarif internasional. Kesannya RSBI itu sekolah mahal, padahal awalnya konsep RSBI itu bagaimana meningkatkan mutu pendidikan”, kata Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, Hamid Muhammad.

Demikian menurut berita di harian Kompas pada berita bertajuk “RSBI akan Dievaluasi.

Memang tak ada yang salah dengan keinginan pemerintah agar sekolah-sekolah negeri di Indonesia itu menjadi bertaraf internasional.

Hal yang sungguh teramat mulia dan sangat bisa jadi akan berpahala dunia akhirat seperti halnya pahala amal jariyah.

Dan sangat pasti itu tentunya akan membuat biaya penyelengaraan dari sekolah-sekolah itu akan menjadi lebih mahal.

Namun, apakah untuk itu harus berkonsekuensi dalam biaya dan SPP dari sekolah-sekolah negeri itu menjadi bertaraf internasional pula ?.

Jika sekolah negeri yang berstatus RSBI saja sudah sedemikian mahal biaya dan SPP yang harus dibayar oleh siswa dan orangtuanya (bagi kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi yang rata-rata) maka dapat dibayangkan akan menjadi seberapa lebih mahal lagi andai sekolah negeri RSBI meningkat menjadi sekolah negeri yang status SBI (Sekolah Bertaraf Internasional).

Akhirulkalam, situasi yang demikian itu menjadikan tak salah jika ada kalangan yang mempunyai pendapat bahwa semua desain pendidikan di Indonesia itu pada hakikatnya diarahkan untuk menghilangkan dikotomi antara sekolah negeri dan sekolah swasta.

Dalam arti kata, pemerintah tak boleh membedakan antara sekolah negeri dengan sekolah swasta, sebab murid yang bersekolah di sekolah negeri dan sekolah swasta itu sama-sama bersatatus sebagai rakyat Indonesia.

Sehingga ujung akhirnya, jika pemerintah mengeluarkan uang negara (APBN) yang diperuntukkan bagi sekolah negeri maka pihak sekolah swasta (pengelola dan yayasannya) pun juga harus mendapatkan bagian jatah uang APBN yang sama dan serupa serta sebanding.

Seperti halnya yang sudah terjadi dan terlaksana di program uang BOS (Biaya Operasi Sekolah).

Benarkah demikian ?.

Wallahualambishshwab.

*

Catatan Kaki :

  • Foto ilustrasi dari siniyang dicopy paste dari sini .

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun