Para pejabat negara dan birokrat pemerintahan berpenampilan perlente dalam balutan busana jas dengan leher terikat dasi, mungkin bukan sesuatu pemandangan yang menakjubkan.
Sesuatu pemandangan rutin di halaman Istana Merdeka pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Hal biasa yang terjadi secara kontinyu di setiap acara-acara di gedung DPR-MPR.
Tak mengejutkan juga jika para abdi negara itu, termasuk para pimpinan tertinggi negara, didalam pidato dan wejangan petatah petitihnya menggunakan idiom-idiom berbahasa Inggris yang fasih seperti layaknya para ndoro tuan londo bule.
Lumrah dan biasa saja jika publik mendengarkan berita-berita di layar televisi dalam bahasa asing lainnya, bahasa Mandarin sebagai salah satu misalnya.
Segala hal yang bernuansa budaya manca negara itu memang sudahlah jamak berlaku dan memasyarakat di negeri ini, pada zaman sekarang ini.
Malahan mungkin agak terasa ganjil juga kalau melihat para birokrat dan abdi negara serta aparat pelayan masyarakat itu berjejer rapi dalam suatu apel atau upacara bendera dalam balutan busana adat Jawa.
Aneh dan geli juga rasanya jika mendengar pidato yang diutarakan oleh Inspektur Upacara juga menggunakan bahasa Jawa.
Namun hal yang aneh bin ajaib serta ganjil itu ternyata masih bisa ditemui juga di negeri ini.
Pada saat upacara HUT (Hari Ulang Tahun) kota Solo yang diadakan di halaman Balaikota, semua aparat negara yang mengikuti upacara itu menggunakan pakaian adat Jawa lengkap dengan segala ubo rampenya, seperti blangkon dan keris.
Pidato dan aba-aba yang digunakan dalam upacara itu juga mempergunakan bahasa Jawa. Bahkan iringan musiknya pun menggunakan gending-gending Jawa.
Hal yang demikian itu ternyata tak hanya pernah terjadi saat kemarin lusa itu saja. Semenjak Walikota Solo dijabat oleh Joko Widodo, sudah rutin diadakan setiap tanggal 17 Februari yang bertepatan dengan HUT kota Solo.
Hal tak jamak itu juga termasuk diterapkannya aturan di kalangan para pegawai Pemkot (Pemerintahan Kota) Solo yang diwajibkan menggunakan Bahasa Jawa lengkap dengan ungga-ungguhnya, pada setiap hari Jumat.
Tak ketinggalan pula, pada setiap hari Jumat itu otomatis segala hal yang menyangkut protokoler dan wawacancara dengan wartawan, juga diwajibkan menggunakan Bahasa Jawa.
Akan tetapi, walaupun aturan ini diberlakukannya di wilayah Solo, yang bersama dengan Yogyakarta dikenal sebagai pusat budaya Jawa, ternyata aturan tersebut tak berarti berjalan dengann mulus dan lancar.
Para birokrat itu merasa kikuk dan kesulitan dalam menemukan pilihan kata yang tepat dalam berkomunikasi dengan kolega-koleganya, maupun saat diwawancarai oleh wartawan.
Hal yang demikian itu juga diakui oleh Sekda (Sekretaris Daerah) Pemkot Solo, Boeddi Soeharto, “Sejatosipun kulo piyambak dereng saged ngginakaken boso Jawi kanti leres lan sae”.
Sesuatu yang wajar dan lumrah, mengingat budaya dan bahasa Jawa sudah jarang digunakan di acara-acara resmi pemerintahan.
Apalagi dalam bahasa Jawa dikenal ada tiga tingkat tataran penggunaan bahasa, yaitu ngoko, dan kromo madyo, serta kromo inggil.
Dan, ternyata beberapa kalangan memberikan apresiasi negatif terhadap penerapan aturan itu. Bahkan ada yang mengkritiknya sebagai gerakan kembali ke budaya feodal, dan sesuatu yang kontra produktif karena tak sejalan dengan semangat zaman di era globalisasi dan perdagangan bebas.
Namun ada juga yang mendukung dan memberikan apresiasi positif, dengan argumen RR China dan Jepang yang kemajuan teknologi maupun ekonominya telah jauh meninggalkan negara kita pun ternyata masih bangga menggunakan bahasa dan budaya negaranya.
Sebenarnya juga tak ada salahnya jika televisi nasional yang saat ini sudah menyediakan slot untuk berita-berita dalam bahasa Inggris dan bahasa Mandarin, juga mau menyediakan slot serupa untuk yang mempergunakan bahasa daerah di Indonesia, termasuk bahasa Jawa.
Kembali ke soal aturan Pemkot Solo yang tadi, alangkah bagusnya jika para pamong praja di setiap hari Jumat itu tak hanya diwajibkan menggunakan bahasa Jawa. Akan tetapi juga diwajibkan memakai busana Jawa.
Penggunaan busana Jawa, yang tentunya juga menggunakan bahan kain batik itu, tentulah selaras dan sejalan dengan semangat dan spirit yang telah ditetapkan oleh Presiden SBY dalam penggunaan busana batik.
Rak inggih mekaten tho poro sederek ?.
*
Catatan Kaki :
Artikel-artikel terkait yang lainnya, antara lain berjudul “Politik dan Budaya serta Pelayanan Publik” dapat dibaca dengan mengklik di sini, dan yang berjudul “Mengangkat Bahasa Daerah” dapat dibaca dengan mengklik di sini , serta yang berjudul “Indonesia Tercengkeram” dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang berjudul “Obyek Globalisasi : Bahasa dan Sastra” dapat dibaca dengan mengklik di sini .
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H