Rentetan kasus HKBP yang terjadi di Ciketing Bekasi ini terasa berbeda dengan kasus-kasus serupa yang pernah terjadi sebelumnya.
Di kasus ini, terasakan ada nuansa bahwa ada beberapa pihak tertentu yang sedang mendesain suatu peristiwa agar dapat terjadi benturan antara umat Islam dengan umat Nasrani.
Benturan itu diharapkan dapat menjadi awal berkobarnya api perang agama, di wilayah yang berdempetan dengan Jakarta sebagai ibukota negara.
Sikap penolakan dari pihak HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) atas Surat Keputusan Wali Kota Bekasi Nomor 452/1948 A-Kesos/IX/ 2010 dan penolakan atas tawaran dua alternatif solusi atas kasus ini, sangat bisa jadi akan menjadi pemacu tekanan tensi masing-masing pihak menjadi makin meninggi hingga ke garis tapal batasnya.
Apalagi jika keukeuhnya sikap penolakan itu akan ditegaskannya dengan mempertunjukan tekad tak mau undur surut selangkah pun, sehingga di hari Minggu tanggal 19 September ini jamaah mereka akan tetap dikerahkan untuk berjalan berarakan menuju Ciketing.
Pada posisi seperti itu, sedikit gesekan lagi maka garis itu akan terlewati.
Jika sudah begitu maka berkobarnya api perang antara agama bukan tak mungkin akan segera mewujud.
Betapa tidak, saat ini sebagian besar dari umat Nasrani di seputaran ibukota sedang dalam tingkat kepercayaan diri yang cukup tinggi.
Seakan disaat sekarang ini, mereka itu tak lagi jeri andai perang antar agama memang harus terjadi di wilayah seputaran ibukota negeri ini.
Tantangan perang secara terbuka sudah dilontarkan oleh mereka melalui website yang menurut pengakuannya adalah website miliknya Yayasan Perguruan Santo Bellarminus yang beralamat di Jl. Kemangsari IV No. 97, Jatibening Baru, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
‘Habisi Islam di Indonesia’, sebagai tajuk pekik peperangan mereka itu seakan menantang yang menguji dan menguji batas nyali umat Islam.
Namun dibalik tantangannya itu tersimpan dibelakangnya sebuah jebakan yang bagaikan buah simalakama.
Jika umat Islam salah melangkah dengan bergerak menyerang lebih dulu maka ‘Habisi Islam di Indonesia’ akan mencapai hasilnya lantaran itu akan dijadikan alat untuk memungkinkan terjadinya bentrokan antara umat Islam dengan aparat TNI dan Polisi.
Islam akan dibenturkan dengan TNI dan Polri, sehingga keinginan mereka dalam agenda ‘Habisi Islam di Indonesia’ pun akan mewujud dan menjadi terlaksana dengan cara meminjam tangannya TNI dan Polri.
Namun jika umat Islam diam tak bergerak dalam menjawab tantangan perang itu, maka hal itu akan menjadi preseden dan jurisprudensi untuk masa mendatang.
Jika di beberapa hari sebelumnya di depan masjid Agung Bekasi serombongan besar para kasatria templar pasukan Nasrani secara demontratif telah memamerkan keberanian dan kekuatannya dengan melakukan simulasi dari sebuah bentuk gelar ‘Formasi Pedang Salib’.
Maka berdasarkan preseden dan jurisprudensi menjadikan mungkin tak hanya simulasi saja yang akan dilakukan oleh umat Nasrani, namun gelar kekuatan penuh dari pasukan kesatria Pedang Salib yang akan dilakukan oleh mereka.
Sungguh buah simalakama yang tak mudah disikapi oleh umat Islam di saat ini.
Akan tetapi juga bukan hal yang mudah bagi HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) mengingatetnis Batak itu terkenal dan dikenal sebagai etnis di Indonesia yang mempunyai nyali keberaniannya diatas rata-rata etnis lainnya dan mempunyai semangat pejuang yang pantang mundur serta tak mengenal rasa takut.
Sikap menerima Surat Keputusan Wali Kota yang berarti pada hari Minggu tanggal 19 September 2010 dimana mereka tak akan berani berdatang ke Ciketing dapat diartikan sebagai tanda lunturnya nyali keberanian mereka.
Tentu tanda lunturnya nyali keberanian mereka itu akan menodai harga diri dan juga merusak kebanggaan diri mereka atas terkenalnya etnis Batak yang nyali keberanian serta kemampuan tempur dan berkelahinya berada setingkat diatas etnis-etnis lainnya yang ada di Indonesia.
Akankah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) tak punya keberanian nyali sehingga tak akan berani berdatang ke Ciketing ?.
Ataukah mereka tunjukkan keberaniannya, lalu umat Islam di Ciketing pun akan surut langkah dan keder nyalinya ?.
Ataukah perang antara Formasi Pedang Salib berhadapan dengan Formasi Pedang Bulan Sabit akan berkobar di Ciketing ?.
Maka sungguh menjadi sangat menarik menanti datangnya hari Minggu itu.
Andai di hari itu, Ciketing akan menjadi awal dari perang Ambon yang kedua, maka apakah tujuan dari para desainernya ?.
Keadaan perang seperti yang pernah terjadi di Ambon pada tempo lalu, sehingga keadaan chaos itu dapat menjadi pemicu peristiwa yang menyerupai kerusuhan tahun 1998 yang telah lalu.
Dampak lanjutnya, Presiden SBY pun terpaksa harus lengser sebelum habis masa jabatannya.
Setelah itu, mungkin pemilu presiden akan diajukan.
Mungkin juga mekanismenya akan mencontoh suksesi yang pernah terjadi di tahun 1998 yang lalu, dimana Wapres (Boediono) menggantikannya sebagai Presiden sampai dilaksanakan pemilu presiden yang dipercepat itu.
Mungkinkah masyarakat dapat diprovokasi ?.
Bisajadi tidak, mengingat trauma masyarakat yang pernah mengalami pahit getirnya peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan trauma bahwa ternyata selama dua belas tahun ini keadaan tetap tak kunjung membaik seperti yang dijanji-janjikan oleh para politisi parpol-parpol.
Namun bisajadi juga bisa, mengingat keresahan dan ketidak puasan telah terjadi cukup meluas di masyarakat.
Peristiwa-peristiwa yang cukup menonjol semisal bentrokan Priok, disusul bentrokan Batam, lalu bentrokan Buol, dan bentrokan-bentrokan yang lainnya itu telah cukup menjadi bukti yang menunjukkan bahwa potensi masyarakat dapat tersulut dan terprovokasi itu masih nyata ada.
Apakah jika Ciketing ini bisa diredam maka masalahnya Presiden SBY menjadi sudah selesai ?.
Sepertinya belum, karena ada kelompok yang lainnya lagi yang mempunyai agenda penting lainnya dengan menjadikan kasus Ciketing ini sebagai wahana untuk mencapai agendanya.
Agenda apakah itu ?.
Agenda pencabutan SKB 3 Menteri yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah.
Saat ini bersamaan dengan munculnya kasus Ciketing ini menyusul muncul pula tuntutan agar Presiden mencabut SKB ini.
Seperti diketahui, pada saat pemilu presiden tahun 2004 yang telah lalu itu, konon katanya Megawati Soekarnoputri menandatangani perjanjian kesepahaman dengan PDS (Partai Damai Sejahtera) yang berisikan janji Megawati yang akan mencabut SKB 3 Menteri ini jika memenangkan pemilu presiden tahun 2004.
Sebagaimana diketahui, Megawati Soekarnoputri walaupun berpasangan dengan Ketua Umum PBNU akhirnya dapat dikalahkan oleh pasangan SBY dan Jusuf Kalla.
Konon, kesepakatan Megawati dengan PDS perihal pencabutan SKB 3 Menteri ini memberikan kontribusi sehingga timbul resistensi terhadapnya dan selanjutnya hal itu berandil kepada kekalahannya.
Saat ini, enam tahun sesudahnya ternyata tuntutan itu muncul lagi.
Dilema yang tak mudah bagi Presiden SBY, bagaikan terjepit ditengah dua tekanan.
Tak menuruti tuntutan itu berarti Presiden SBY akan terus menghadapi goyangan dan rongrongan dari pihak satunya, menurutinya berarti Presiden SBY akan menghadapi akselerasi peningkatan ketidak puasan dan resistensi terhadap dirinya dari pihak yang satunya lagi.
Entah bagaimana Presiden SBY akan mengatasi dan mencarikan solusinya.
Bisa jadi Presiden SBY akan memerintahkan kepada para menteri yang terkait untuk tidak mencabutnya, akan tetapi merevisinya dengan suatu revisi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Solusi yang secara normatif tampaknya akan menyelesaikan masalahnya. Namun secara kenyataan tak akan bisa semudah itu.
Perbedaan cara pandang terhadap SKB itu bagaikan dua kutub yang saling berlawanan.
Hampir mustahil mempertemukan perbedaannya, mengingat pihak yang menuntut tak akan puas jika solusinya bukan dicabut namun hanya direvisi saja.
Mungkin saja revisi itu bisa diterima, namun haruslah suatu revisi total yang secara hakikatnya sama saja dengan mencabutnya.
Barangkali keadaan itu dapat dipersamakan dengan perbedaan dalam cara pandang terhadap aturan pornografi dan pornoaksi dalam peristiwa penyusunan UU Anti Pornografi.
Jika dalam soal disetujuinya adanya aturan tentang pornografi dan pornoaksi itu hanya berbuah ancaman propinsi Bali yang akan memisahkan diri dari NKRI, maka dalam soal mempertahankan SKB 3 Menteri ini bisa jadi akan berbuah ancaman perang agama dan pelengseran atas jabatannya Presiden SBY sebelum habis masa jabatannya.
Begitukah keadaannya ?.
Wallahualambishshawab.
*
Catatan Kaki :
- Artikel dengan tema terkait dapat dibaca di : ‘Jangan Remehkan Priok’ , ‘Indonesia Hamil Tua’ , ‘Rakyat Tuyul dan Pemimpin Pencuri’ , ‘Yahudi Bertawaf’ , ‘Wapres Boediono dan George Soros serta Musdah Mulia’ .
- Artikel dengan tema lainnya dapat dibaca di : ‘Sejarah Kutang-nya Cut Tari’ , ‘Kolonel Kutu Kupret’ , ‘Malaysia berguru ajar ke Indonesia’ , ‘Miss Serambi Mekkah sebagai Maskot Perekat Antar Peradaban Dunia’ , ‘Toba menyusul Sinabung’ .
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H