Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Kok TKW ?

18 November 2010   17:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:30 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus yang menimpa Sumiati dan Haryatin serta Keken Nurjanah, para TKW (Tenaga Kerja Wanita) Indonesia yang bekerja di luar negeri telah menambah deretan panjang cerita kelam diseputar perlakuan yang dialami oleh para pekerja migran asal Indonesia.

Cerita kelam dengan segala bentuk variannya. Mulai dari tingkatan yang ringan semisal dalam soal ketidaknyamanan, sampai yang berat semisal penyiksaan dan penganiayaan. Bahkan juga hingga yang tingkatannya sudah berkategori super berat semisal soal pelecehan seksual dengan berbagai tingkatannya, termasuk tindakan pemerkosaan disertai dengan penganiayaan.

Publik pun sebenarnya juga hanya tahu sebagian kecil saja dari cerita kelam yang mengenaskan itu, yang ibarat gunung es maka cerita-cerita itu hanyalah puncuknya saja.

Hal itu dikarenakan tidak semua peristiwa itu terpantau dan dilaporkan, juga tak semuanya terkover oleh liputan media massa.

Belum lagi jika bicara soal ekses dan dampak secara tak langsungnya. Semisal di soal-soal yang menimpa anggota keluarga yang ditinggalkannya, mulai dari suami yang kesepian sehingga mempunyai istri atau simpanan lagi.

Juga soal anak-anak yang tak terurus lantaran ibu kandungnya tak ada disisinya di saat masa tumbuh kembang dan masa pendidikannya.

Tak terkecuali juga soal anak-anak yang lahir lantaran terjadi ketergelinciran dan kekhilafan yang dilakukannya bersama dengan sesama pekerja migran selama tinggal dan bekerja di negeri orang, serta juga mereka yang dipaksa berhubungan seksual oleh para majikannya.

Semua itu seakan merupakan mimpi buruk yang tak pernah mampu ditangani oleh pemerintah negeri ini, lantaran kekusutan dan keruwetan yang belit membelit antara kebutuhan dan desakan ekonomi yang memaksanya bekerja di negeri orang, berkait dengan rendahnya perlindungan yang didapatkannya dari aparat negara.

Sesungguhnya memang benang ruwet yang kusut itu sudah ruwet sejak awal asal muasal pertama kalinya digalakkan program pengiriman TKW ke luar negeri.

Pada masa awal dimulainya pengiriman massif TKW ini dimulai saat Menteri yang mengurusi tenaga kerja -kalau tidak salah- dijabat oleh Sudomo.

Masa itu untuk pengiriman TKI –maksudnya adalah Tenaga Kerja Pria- sudah mengalami sedikit perlambatan, lantaran salah satunya disebabkan perusahaan kontraktor bangunan dari Indonesia itu jatah porsi pekerjaannya di negara jazirah Arab mulai digeser perannya oleh perusahaan dari negara lain, semisal Korea Selatan.

Awal pengiriman TKW ini, beberapa kalangan ulama Islam ada yang menyatakan dan menyuarakan keberatannya.

Keberatannya itu dilandasi oleh adanya dalil fiqih agama dan argumen logika soal perlindungan terhadap para wanita yang dikirim jauh dari negara asalnya.

Sebagaimana diketahui, dalam ajaran Islam dikenal adanya ajaran yang tidak memperbolehkan wanita untuk melakukan perjalanan jauh jika tanpa disertai dengan muhrim atau suaminya.

Memang, suara para ulama ini yang kental nuansa doktrin keagamaan ini diartikan oleh banyak kalangan sebagai sebuah cara fikir yang konservatif dan menghambat kemajuan dari gerakan emansipasi kaum wanita.

Padahal jika dikaji secara jenih, muara dari ajarannya itu juga ketemu dengan cita-cita gerakan emansipasi wanita yang seharusnya juga mengutamakan juga kesetaraan yang sesuai dengan fitrah kodratnya, yang disertai dengan adanya perlindungan terhadap keselamatan dan kehormatan serta harga dirinya sebagai wanita.

Lantaran tak tercapai sebuah dialog yang jernih antara beberapa pihak yang saling sepakat untuk tidak bersepakat itulah, pengiriman TKW berjalan terus dengan akselarasi kecepatan yang penuh. Namun disisi lain, antisipasi langkah dan tindakan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan dan kehormatan serta harga dirinya sebagai wanita, menjadi tertinggal yang nyaris seperti tak terurus.

Ujungnya, mimpi buruk itu pun terjadi yang susul menyusul tak berkesudahan, lantaran jika sebuah program nasional itu sudah cacat bawaan sejak lahirnya maka pembenahan dikemudian harinya memang akan menjadi pr yang sungguh bukan pekerjaan rumah yang mudah.

Memang, negara kita yang sudah kita sepakati merupakan negara sekuler itu tak harus mengadopsi secara total apa yang menjadi prinsip dasar dari ajaran Islam.Namun, apa salahnya jika spirit dan jiwa dari prinsip dari spiritnya itu dapat dipertimbangkan sebagai landasan dasarnya ?.

Sebenarnya pada tahun 2000 yang telah silam, MUI (Majelis Ulama Indonesia) pernah mengeluarkan fatwa ‘haram’ untuk pengiriman TKW ini, sepanjang pemerintah dan lembaga serta pihak terkait lainnya itu tidak bisa menjamin adanya perlindungan yang memadai terhadap keamanan dan kehormatannya TKW tersebut.

Didalam fatwa MUI itu, secara garis besarnya ada 4 (empat) poin yang menjadi konsideran dan isinya, yaitu :

Pertama, perempuan yang meninggalkan keluarga untuk bekerja ke luar kota atau ke luar negeri pada prinsipnya ‘boleh’ sepanjang disertai mahram atau keluarga atau lembaga atau niswah tsiqah yaitu kelompok perempuan yang terpercaya.

Kedua, jika tidak disertai mahram atau niswah tsiqah, hukumnya ‘haram’ kecuali dalam keadaan darurat yang kedaruratannya benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara syar'i yang berlandaskan hukum agama, qanuniy (peraturan perundangan), dan adiy (adat istiadat) dimana situasinya dapat menjamin keamanan dan kehormatan TKW tersebut. Ketiga, hukum ‘haram’ berlaku kepada pihak-pihak atau lembaga atau perorangan yang mengirimkan atau yang terlibat dengan pengiriman TKW tersebut. Demikian juga berlaku pada pihak yang menerimanya. Keempat, oleh karena itu me-‘wajib’-kan kepada Pemerintah dan lembaga serta pihak terkait lainnya untuk menjamin dan melindungi keamanan serta kehormatan TKW tersebut dengan membentuk kelompok atau lembaga perlindungan hukum atau kelompok niswah tsiqah di setiap negara tujuan pengirimannya dengan maksud untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap keamanan serta kehormatan TKW.

Memang, jika fatwa itu dibaca dengan bingkai kacamata yang phobia terhadap pemberlakuan atau pengadopsian hukum agama atas peri kehidupan pemeluknya, maka memang terasakan menyeramkan dan bernuansa memasung kebebasan individu pemeluknya.

Namun, jika dibaca dalam semangat menggali spirit yang terkandung didalamnya maka sesungguhnya terasa logis dan sesuai dengan prinsip-prinsip universalisme termasuk tak terkecuali prinsip kesetaraan gender, dimana tentu dalam prinsip itu yang namanya jaminan perlindungan terhadap keamanan serta kehormatan TKW juga termaktub didalamnya.

Lalu, mengapa yang namanya jaminan perlindungan terhadap keamanan serta kehormatan terhadap TKW itu tak jua kunjung mewujud ?.

Ada soal mendasar yang membuatnya sulit terwujud secara memadai. Misalnya saja diantaranya adalah soal tingkat pendidikan TKW terkait dengan jenis pekerjaan yang dibutuhkan di negara tujuan pengirimannya. Lalu juga soal wilayah negara penempatannya itu ada diluar yuridiksi hukum yang dapat terjangkau oleh negara.

Dan yang paling mendasar tapi enatah sengaja dilupakan atau apa, yang jelas tak ada upaya yang berarti untuk mewujudkan secara memadai hal-hal yang dapat memenuhi rambu-rambu dasarnya dalam soal mahram atau niswah tsiqah.

Persoalan yang berkait dengan soal mahram atau niswah tsiqah ini memang sangat penting –tanpa mengurangi respek atas gerakan emansipasi wanita- soal TKW ini pertama-tama menyangkut obyeknya adalah wanita yang secara fitrah dan kodratnya memang bukanlah pria.

Dimana hal itu tentunya membuat ada hal-hal mendasar secara ekstra lebih dalam soal memberikan jaminan perlindungan terhadap keamanan serta kehormatannya.

Jika begitu, maka sesungguhnya ada hal mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi kusutnya persoalan yang melingkupi TKW ini, yaitu soal lapangan pekerjaan di dalam negeri.

Jika lapangan pekerjaan di dalam negeri tersedia secara memadai bagi para wanitanya, maka sesungguhnya persoalan yang menyangkut pengiriman TKW ke luar negeri ini akan sedikit terkurangi.

Akhirulkalam, setujukah anda jika ada yang mengatakan bahwasanya harus berhati-hati dalam soal wanita, karena kesentosaan sebuah bangsa ditentukan oleh bagaimana keadaan wanitanya, dimana hal itu tergantung dari bagaimana bangsa itu menempatkan dan mengurus serta memperlakukan dan melindungi kaum wanitanya ?.

Wallahualambishshawab.

*

  • Foto ilustrasi merupakan copypaste dari  sini dan  sini serta  sini dan  sini .

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun