Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Malaysia Berguru Ajar ke Indonesia

6 September 2010   17:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:24 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua belas tahun yang lalu, reformasi yang dicetuskan oleh Amien Rais telah mencapai hasil yang diharapkannya.

Rezim pemerintahan pimpinan Presiden Soeharto, yang kemudian dipersepsikan sebagai telah diwariskan selama satu setengah tahun kepada BJ Habibie, telah berhasil dilengserkan dan digulingkan oleh gerakan reformasi yang dipimpin oleh Amien Rais.

Dua belas tahun bukanlah waktu yang pendek. Jika seorang bayi lahir di saat itu, saat Amien Rais mencanangkan gerakan reformasinya, maka di hari ini si jabang bayi itu tentunya sudah sekolah, yang barangkali saja ia sudah duduk di bangku kelas 1 di sebuah sekolahan SMP (Sekolah Menengah Pertama).

Bahkan jika ada seorang anak yang waktu itu baru saja lulus dari SD (Sekolah Dasar) maka sangat bisa jadi hari ini ia sudah lulus menjadi sarjana dari bangku kuliahnya di perguruan tinggi.

Lalu di hari ini, ia kemungkinan lagi kebingungan dalam upayanya mencari tempat untuk bekerja dan mencari nafkah bagi kehidupan dirinya.

Dua belas tahun, juga mungkin merupakan kurun waktu yang sudah mencukupi untuk seorang meniti kariernya, dari jenjang kepangkatan perwira menengah (pamen) dengan jabatan Kapolresta atau Dandim untuk kemudian naik ke kepangkatan perwira tinggi (pati) dengan jabatan Kapolda atau Pangdam.

Selanjutnya, setengah dari kurun masa dua belas tahun yang telah berjalan hingga hari ini, yaitu lebih kurangnya sekitar enam tahun terakhir ini, reformasi itu telah berhasil menghasilkan sebuah rezim pemerintahan dibawah kepemimpinan Presiden SBY.

Enam tahun bukanlah waktu yang panjang, walaupun jika saat itu, saat Presiden SBY pertama kali dilantik menjadi Presiden di kala itu, ada seorang bayi lahir, maka di hari ini si jabang bayi itu sangat bisa jadi sudah mulai memasuki masa sekolahnya yang pertama di bangku kelas satu SD (Sekolah Dasar).

Enam tahun itu tentunya juga merupakan jangka waktu yang cukup memadai untuk seorang lulusan SMA (Sekolah Menengah Atas) dalam menamatkan kuliahnya di perguruan tinggi hingga lulus menjadi sarjana.

Selama kurun waktu itu pulalah hasil dari reformasi telah dinikmati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia.

Tentunya tak semua bisa sepakat dan sepemahaman tentang bagaimana skor dan nilai dari hasil yang diperoleh dari reformasi itu. Sama tak mungkin sepakatnya dalam menilai kinerja hasil yang telah dicapai oleh Presiden SBY selama enam tahun berkuasa dan memimpin pemerintahan negara. Sangat beragam pendapat dan opini dalam memandang kinerja hasilnya itu.

Tapi tak kurang pula yang berpendapat bahwa reformasi yang telah berjalan selama dua belas tahun itu ternyata tak lebih dari hanya sekedar menghasilkan keadaan peri kehidupan rakyat yang ‘repot nasi’ saja.

Tak lebih tak kurang, hanya menghasilkan rezim pemerintahan dalam bentuk baru yang tercitrakan lebih santun namun berhakikat jiwa yang masih sama dalam soal budaya penyelengaraan pemerintahan dan politik negara yang masih saja dipenuhi dengan warna dan nuansa yang kental berbau KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme).

Pengelolaan sumber daya alam yang masih tak menjadikan kesejahteraan kehidupan rakyatnya sebagai prioritas utama, kebijakan penyediaan sumber energi yang tak ramah harga bagi rakyatnya.

Goyah dan tak kukuh dalam pergaulan antar bangsa, termasuk juga dalam menjaga martabat dan kedaulatan serta harga diri negaranya.

Disisi lain, dalam kurun waktu yang nyaris bersamaan di salah satu negara jiran kita, Malaysia, juga mempunyai ikon model pemerintahan yang mungkin hampir sama.

Di belahan sisi negara Indonesia ada Soeharto, maka di negara Malaysia juga ada Mahathir Muhammad yang seringkali dijuluki oleh sebagian kalangan dengan sebutan ‘Little Soekarno’.

Jika Soeharto dikenal publik sebagai pemimpin yang represif dan terkenal dengan nuansa model pembangunan ekonomi yang kental per-kroni-annya, maka Mahathir pun dikenalkan dengan persepsi yang nyaris tak beda.

Represif dengan aturan keamanan nasionalnya yang ketat dan kaku, juga ditengarai mengembangkan model pembangunan per-kroni-an.

Bahkan tak hanya itu, Mahthir juga dikenal kental dengan persepsi per-kroni-an model Ali-Baba yang memberikan hak istimewa bagi kalangan bumiputera yang etnis Melayu.

Khusus dalam hal ekonomi model Ali Baba ini, ada kalangan yang masih mendukungnya dengan alasan bahwa dengan model Ali-Baba maka masih memungkinkan ada Ali-nya. Sedangkan jika tidak ada model itu maka yang ada hanyalah si Baba semuanya, tanpa ada sisa tempat yang dapat diperuntukan bagi si Ali sedikitpun.

Entahlah, apakah argumentasi itu benar faktanya demikian itu, tapi tak ada salahnya jika ada yang mau memperbandingkan dalam komposisi dan porporsionalitas antara si Ali dan si Baba dalam dunia bisnis di negara Malaysia dan di negara Indonesia pada saat ini.

Terlepas dari soal Ali-Baba itu, pendek kata, nyaris sama antara gayanya Mahthir dengan gaya modelnya Soeharto.

Dalam hal ini, ada kalangan yang mengatakan bahwa pada dasarnya Mahathir itu berguru kepada Soeharto.

Disamping itu, jika di Indonesia dikenal ada Amien Rais, sang motor dan motivator gerakan reformasi, maka di Malaysia pun dikenal pula adanya ikon yang mungkin bisa dipersamakan, yaitu Datuk Anwar Ibrahim.

Keduanya mengusung ide dan jargon yang hampir sama, reformasi dan pembaharuan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Namun nasib Datuk Anwar Ibrahim ternyata tidaklah semanis dan semulus koleganya di Indonesia, ia tidaklah sesukses Amien Rais, ia belum berhasil menggulingkan dan melengserkan rezim pemerintahan yang lama.

Sampai saat ini, rezim pemerintahan di Malaysia masihlah bisa dipersepsikan sebagai rezim warisannya Datuk Mahathir Muhammad.

Apakah itu dikarenakan rakyat Malaysia berguru ajar ke Indonesia sehingga mereka menjadi gamang dan ragu ?.

Dimana mereka gamang dengan bayangan hasil yang akan dicapai oleh gerakan reformasinya Datuk Anwar Ibrahim di Malaysia itu hanyalah akan sama dengan kenyataan hasil yang telah berhasil dicapai oleh warisan gerakan reformasinya Amien Rais di Indonesia ?.

Wallahualambishshawab.

*

Daftar referensi & artikel bacaan :

Gambar ilustrasi merupakan hasil copy paste tanpa ijin dari : sini , sini , sini , sini , sini.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun